Senin, 22 Desember 2014

Bundaran HI

Bundaran HI

Arswendo Atmowiloto  ;  Budayawan
KORAN JAKARTA,  20 Desember 2014

                                                                                                                       


Bundaran Hotel Indonesia, HI. Minggu ini mencatatkan rekornya. Motor tak boleh melintas. Sebelumnya telah berhasil melarang delman, becak, bemo, oplet. Seakan kendaraan itu menjadi kuno, dan Bundaran HI masih selalu muda, selalu up to date. Saya termasuk yang diuntungkan karena berada di Jakarta saatsaat becak dilarang beroperasi di sekitar bundaran hotel megah yang pertama dibangun di negeri ini. Zaman Bang Ali, gubernur yang legendaris dan membanggakan itu, becak tak serta-merta dilarang.

Pertama kali dilarang timbul demo, perlawanan. Lalu diubah menjadi dilarang melintas sampai jam 22.00 WIB. Di sinilah terjadi pemandangan yang tak bisa diulang. Menjelang jam itu, para penarik becak dari berbagai jurusan - ingat daerah itu pertemuan jalan para pahlawan, MH Thamrin, Imam Bonjol, Sutan Syahrir, juga Sudirman, dan Kebon Kacang, sudah bersiaga. Tepat pukul 22.00 WIB disertai teriakan, potongan besi yang dipukulkan ke becak, semua becak meluncur ke bundaran. Untuk parkir! Menunggu penumpang, yang sebenarnya bisa dilakukan di mulut jalan.

Dinamika aneh, ganjil, tapi sebenarnya sangat filmis ini telah berlalu. Dulu itu, banyak media cetak dengan foto-foto saat penarik becak mendekat ke bundaran. Dan beberapa wartawan menuliskan perubahan pada jam-jam itu. Telah berlalu, dan tak bisa diulang. Juga seliweran motor-motor yang berubah menjadi kuda liar melalap jalanan. Barang kali patung Selamat Datang bisa bercerita lebih banyak.

Patung yang digagas Bung Karno, dibuatkan sketsa rancangan oleh Henk Ngantung diwujudkan oleh Edhi Sunarso - nama-nama besar yang terkait karya seni, mengalami semua. Patung menghadap utara, ke arah Monas, seolah tamu yang datang ke Jakarta melalui stasiun Gambir. Atau lapangan terbang Kemayoran, kalau mau dibilang keren. Patung pasangan yang mengucapkan “Selamat Datang” sambil membawa bunga, Hotel Indonesia, dan kemudian nantinya Stadion Gelora Bung Karno, dan terutama juga jalanan besar beraspal, adalah kisah tahun 1962. Hotel itu tempat official dan atlet menginap, dan stadion tempat atlet bertanding. Transportasi ke sana, bagi umum naik omprengan - mobil pribadi yang digunakan secara umum dengan bayaran.

Suasana yang sulit dibayangkan , suasana menyambut pesta olah raga Asean Games IV yang dilaksanakan di Jakarta. Tahun yang menggerakkan pembangunan serba-pertama kali, termasuk TVRI yang mengudara pertama kali. Dan kini, Bundaran pun telah menjadi bagian kegiatan utama kota - atau negeri ini. Bundaran ini juga berfungsi sebagai alun-alun di zaman kerajaan kuno. Tempat berkumpul, bergiat, sekaligus tempat utama untuk melancarkan protes, demontrasi.

Kini, sekitarnya berdiri bangunan yang bukan hanya hotel, bukan hanya apartemen, bukan hanya pertokoan, bukan hanya tower - nama yang melekat dengan pemiliknya. Kini di sekitarnya makin terang nyala lampunya, makin wangi baunya, makin ketat penjagaannya. Tapi, tak membuat masyarakat kecil tak menikmati, dengan caranya sendiri. Adalah tempat sekitar itu yang dikenal sebagai “Sogo Jongkok”. Nama pedagang kaki lima yang berjualan dengan nama keren, meskipun transaksi jual-beli dilakukan dengan jongkok. Ada satu saat daerah sekitar bundaran menjadi tempat favorit untuk pacaran.

Naik mobil atau motor pun, sambil sesekali melihat kaca spion. Romantis, fantastik, karena melalui kaca spion mereka yang berpacaran seolah berada di hotel yang menjadi latar belakang. Oh. Sungguh Oh. Mereka ini tak kalah yang memiliki apartemen mewah, yang tiap kali bisa melongok ke luar bisa melihat Bundaran paling terkenal seluruh Indonesia. Kini, kalau motor tersingkir, biarlah.
Selama prasarana mengatur ini disiapkan. Motor tersingkir, mungkin jalanan akan dipersempit oleh mobil-mobil yang makin bertumpuk. Sehingga istilah “parkir berjalan” benar-benar nyata.

Kini biarlah lebih tertata, dan selama itu terjadi biarlah masih ada pemandangan orang-orang yang mendengar lambaian selamat datang, yang merapat di air mancur, yang berpotret mesra, yang - ini tetap penting - bisa memesan minuman hangat dan murah yang dijajakan melalui sepeda.

Masih kita temui komunitas yang selalu bisa berada di situ, walau hujan rintik, yang merasakan terus indahnya bundaran, tanpa menunggu saat car free day. Suasana dan pemandangan yang begini tak boleh lenyap, kalaupun motor atau yang lain tak terlihat lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar