Ibu
kota Baru Berbasis ”Smart City” Henny Warsilah ; Profesor Riset di Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia |
KOMPAS,
05 April
2021
Pro-kontra pemindahan ibu kota sudah
bermula sejak Presiden Joko Widodo menunjuk Kabupaten Penajam Paser Utara dan
sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai ibukota negara (IKN) baru pada
tahun 2019 lalu. Gagasan memindahkan ibukota dan menjadikan
Pulau Kalimantan yang terletak di tengah Negara Kepulauan Indonesia sebagai
ibukota NKRI sebenarnya telah dikemukakan sejak era Soekarno. Namun baru
sekarang betul-betul ada langkah pasti. Digagasnya pemindahan IKN ke Provinsi
Kalimantan Timur diawali dari adanya ketimpangan antara Jawa dan luar Jawa
dalam beberapa aspek. Dari aspek populasi, jumlah penduduk di Pulau Jawa
mencapai 56,56 persen dari total penduduk Indonesia. Sementara jumlah
penduduk yang menempati wilayah selain Pulau Jawa hanya berada di bawah angka
10 persen (kecuali penduduk Sumatera sebesar 21,78 persen). Dari aspek ekonomi, sebesar 58,88 persen
kontribusi Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) nasional disumbang oleh
Pulau Jawa, di mana wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya menyumbang sebesar
20,85 persen. Ironisnya, di wilayah lain hanya 20 daerah yang mampu
berkontribusi kurang dari separuh kontribusi PDRB dari Pulau Jawa. Kontribusi
ini juga berbanding lurus dengan laju pertumbuhan ekonomi, di mana Pulau Jawa
mencatat angka 6,43 persen pada 2019 (Bappenas, 26 Juni 2019). Besarnya populasi di Jawa — yang dihuni 141
juta penduduk atau 56,56 persen dari total penduduk Indonesia— menyebabkan
daya dukung Pulau Jawa semakin menurun, terutama dalam hal penyediaan lahan
dan air bersih. Khusus DKI Jakarta, ibukota negara ini selalu mengalami kemacetan,
polusi udara dan kurangnya akses transportasi publik yang menyebabkan
kerugian ekonomi sebesar Rp 56 triliun per tahun (Bappenas, 26 Juni 2019). Tahun 2018, Jakarta berada pada posisi
pertama dalam indeks kualitas udara terburuk di dunia. Sumber utama polusi
udara di Jakarta adalah polutan atau emisi yang dihasilkan oleh transportasi
darat yang hilir-mudik di ibukota dan adanya emisi tidak bergerak yang datang
dari daerah lintas batas dengan Jakarta. Selain persoalan polusi, kerugian akibat
bencana kebakaran yang kerap melanda kota Jakarta sepanjang tahun 2019
mencapai angka Rp 137,8 miliar (Tempo.co, 2019). Untuk dampak kerugian
banjir, kerugian yang menimpa masyarakat mencapai 25,8 persen dari total
alokasi dana desa 2019 atau senilai Rp 70 triliun (Kompas.com, 2019). Angka-angka di atas menunjukkan bahwa
Jakarta tak lagi memiliki daya dukung kuat sebagai ibukota negara. Hanya saja, pemilihan IKN di Kalimantan
Timur juga masih menyisakan beragam masalah, terutama bencana banjir dan
bencana gempa bumi. Daryono, Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami
BMKG, menjelaskan ada tiga sesar yang terdeteksi di wilayah Kalimantan Timur,
yaitu Sesar Maratua, Sesar Mangkalihat, dan Sesar Paternostes (Kompas.com,
23/8/2019). Selain masalah gempa, daerah yang hendak
dijadikan IKN itu merupakan daerah bekas pertambangan batubara dengan sekitar
94 lubang bekas tambang batu bara di sana (Walhi.or.id, 2019). Pembangunan
berbasis "smart city" Terlepas dari kontroversi di atas,
pembangunan IKN baru perlu dikaitkan dengan paradigma pembangunan yang tidak
lagi mengejar pertumbuhan ekonomi semata, tetapi bertumpu pada pembangunan
sosial yang bertujuan menyejahterakan masyarakat. Pembangunan yang dimaknai sebagai upaya
menyejahterakan masyarakat, bukan lagi mengandalkan hal-hal yang bersifat
fisik saja, tapi lebih dari itu diartikan sebagai upaya meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat. Pendekatan ini diistilahkan sebagai
pembangunan sosial berkelanjutan. Konsep tersebut menitikberatkan pada tiga
kata kunci, yaitu equity (persamaan), sense of community (rasa berkomunitas),
dan urbanity (kekotaan yang dekat dengan aspek ekonomi). Salah satu cara untuk mewujudkan kota
berkelanjutan adalah melalui implementasi konsep kota cerdas atau smart city.
Gagasan kota cerdas lahir di era teknologi informasi dan seiring pertumbuhan
penduduk perkotaan yang semakin tinggi. Pada umumnya, konsep yang ditawarkan oleh
kota cerdas adalah penggunaan teknologi digital yang terintegrasi untuk
mendorong kinerja pemerintah kota dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat
kota. Target utama dari konsep kota cerdas adalah menghasilkan kota yang
layak huni, kemudahan akses pelayanan, dan nyaman baik secara sosial maupun
lingkungan (Giffinger, 2007). Konsep smart city ditujukan untuk mengubah
tata kelola kota, mencerdaskan dan untuk menyejahterakan penduduk kota,
terutama dari aspek pelayanan kepada masyarakat. Misalnya, dengan menumbuhkan
ekonomi kreatif di kampung-kampung kota. Ini sebetulnya sejalan dengan apa yang
telah dikonsepkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dalam
implementasi smart city. Pertama, bisa menjadi katalis untuk pertumbuhan
berbagai platform bisnis. Kedua, bisa membuka peluang usaha karena
perkembangan teknologi digital telah mengubah berbagai bisnis model, salah
satunya sharing economy yang dapat meningkatkan nilai ekonomi dengan
pemanfaatan aset secara bersama. Ketiga, meningkatkan kesejahteraan
(Kementerian Kominfo: "Smart City Dorong Pertumbuhan Ekonomi Kota",
2019). Maka dari itu, tata kelola kota ini membutuhkan lingkungan yang cerdas
dan aspek sosial berupa sumber daya manusia (SDM) yang cerdas pula. Sebagai ibukota baru (yang tidak hanya akan
mendukung fungsinya sebagai pusat administrasi pemerintahan), pusat
perkembangan ekonomi dan penduduk, IKN juga akan bersinggungan dengan fungsi
lingkungan. Karena jumlah penduduk kota tersebut dipastikan nantinya akan
meningkat, di sekitar wilayah ibukota akan tumbuh berbagai macam kegiatan
ekonomi, permukiman dan perindustrian yang terus berkembang serta akan
mendorong terjadinya urbanisasi. Urbanisasi ini akan memberi implikasi
terhadap beragam permasalahan kota. Semakin banyak penduduk yang tinggal di
kota dan meluasnya kawasan perkotaan secara spasial akan meningkatkan
kegiatan ekonomi, tetapi kota tentu mengalami berbagai masalah terkait
kenyamanan tinggal atau livability. Kota juga akan berhadapan dengan
kebencanaan, seperti: banjir, pasokan air bersih, masalah lingkungan
(pemanasan global, polusi, perubahan iklim, gempa bumi), sosial (eksklusi
sosial, ketidakadilan sosial), dan ekonomi (kemiskinan, kelangkaan sumber
daya, serta minimnya kesempatan kerja), dan masalah kemacetan transportasi
kota serta menumpuknya sampah plastik. IKN yang berbasis smart city harus mampu
menjawab permasalahan itu dan melindungi generasi mendatang. "Smart
people" dalam IKN cerdas Meski IKN baru nantinya didesain dengan
menggunakan konsep smart city, pada praktiknya permasalahan perkotaan tidak
bisa cukup diselesaikan dengan kehadiran teknologi digital saja. Penerapan smart city pada banyak kota di
dunia melalui kecanggihan teknologi digital telah sukses meningkatkan
kesejahteraan penduduknya melalui peningkatan pelayanan kota kepada
masyarakat. Tetapi, penerapan konsep ini pada beberapa kota di dunia dianggap
telah gagal membawa cara kehidupan yang baru, untuk lebih 'cerdas' dan lebih
berkelanjutan. Kota-kota itu telah dipandang gagal untuk
melahirkan lingkungan yang diinginkan masyarakat untuk tinggal nyaman dan
bekerja di dalam kota. Hal ini karena smart city terlalu menekankan pada
solusi rekayasa dan teknologi dan tidak cukup memberi perhatian kepada
dinamika sosial masyarakat. Intinya sebetulnya adalah bahwa sebuah kota
pintar harus menyatukan teknologi, pemerintah dan masyarakat. Karena itu,
penerapan kota cerdas harus mencakup tiga agenda. Yakni, menunjang kota di
dalam dimensi sosial (terkait dengan masalah keamanan), dimensi ekonomi
(menumbuhkan daya saing), dan daya dukung lingkungan (yang memberi
kenyamanan). Kondisi ini yang disyaratkan oleh PBB, di
mana tujuan diterapkannya kota cerdas adalah untuk membentuk kota yang
berkelanjutan (sustainable) secara sosial, ekonomi dan lingkungan (PBB:
Laporan Sidang Umum Tahun 2014). Belajar dari kegagalan kota pintar di
beberapa negara lain, hendaknya IKN menerapkan konsep smart city berbasis
smart people, karena tanpa masyarakat yang cerdas maka kota itu akan menjadi
kota yang mati atau kota bunuh diri. Seperti dikatakan oleh Dameri (2013),
masyarakat (people) dalam diskursus pengembangan kota cerdas dapat ditempatkan
sebagai obyek (penikmat/penerima hasil pembangunan) maupun sebagai subyek
(aktor yang turut berperan serta dalam proses pembangunan). Posisi people
acapkali dilihat dengan lensa kualitas pendidikannya, diversitas,
keterbukaan, keahlian, partisipasinya yang secara agregat dianggap
merepresentasikan ‘smart’ dalam konteks people (Kourtit et al, 2012). ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar