Inovasi
Digital yang Inklusif
Nyoman Pujawan ; Profesor Bidang Supply Chain Engineering,
Institut Teknologi Sepuluh
Nopember, Surabaya
|
KOMPAS,
17 Februari
2018
Banyak pesan penting dan
menarik dari Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, pada 23-26 Januari lalu.
Hadir dan memberikan
pemikirannya pada forum bergengsi tersebut adalah para pemimpin negara,
pemimpin perusahaan besar, maupun para pemikir terkenal. Salah satu tokoh yang
isi pembicaraannya cukup menarik adalah Perdana Menteri Inggris Theresa May.
Dalam pidatonya, Theresa May sangat lugas membawakan tema tentang bagaimana
Inggris menghadapi inovasi teknologi yang telah mengubah lanskap bisnis,
sosial, politik, maupun pelayanan publik.
Perkembangan teknologi
dewasa ini memang luar biasa. Digitalisasi dan otomasi adalah dua kata yang
mencerminkan perubahan besar yang menyertai kehidupan kita saat ini. Dua hal
tersebut mengubah kehidupan sosial masyarakat, merevolusi model bisnis, serta
mengubah cara pemerintah melayani masyarakat. Inovasi teknologi ini bahkan
juga mengubah politik ekonomi dunia, mengubah cara orang mendapatkan
pendidikan dan mengubah cara pengobatan terhadap berbagai penyakit.
Berbagai inovasi ini
menawarkan kemudahan sekaligus memunculkan tantangan. Di bidang otomasi,
berbagai teknologi baru mulai digunakan untuk kegiatan produksi,
transportasi, dan pergudangan. Sebagai contoh, perusahaan daring (online) Amazon dan
perusahaan logistik DHL telah menggunakan drone untuk mengangkut barang pesanan
pelanggan ke alamat mereka. Truk tanpa sopir juga sudah mulai diuji coba oleh
beberapa perusahaan angkutan barang di AS.
Baru-baru ini perusahaan
sepatu Nike dan Adidas merilis rencana mereka menggunakan robot dalam kegiatan
produksinya. Alibaba, raksasa ritel daring di China, telah menggunakan robot
untuk memindahkan barang di dalam gudang. Robot-robot tersebut mampu
mengangkut barang dengan berat 500 kilogram dan memiliki sensor untuk
menghindari tabrakan di area gudang.
Teknologi baru memang
selalu menjanjikan kemudahan. Drone yang
digunakan untuk mengirim barang ke pelanggan mengurangi persoalan kemacetan
jalan. Penggunaan truk tanpa sopir diperkirakan bisa meningkatkan
produktivitas, mengurangi kecelakaan, dan mempercepat pengiriman barang
sampai ke tempat tujuan karena truk tanpa sopir ini tak lagi dibatasi oleh
jam kerja.
Persoalan
Terlepas dari berbagai
keunggulan yang ditawarkan teknologi tersebut, ada banyak sisi lain yang
harus kita waspadai. Salah satu tantangan nyata adalah lapangan pekerjaan.
Otomasi di kegiatan produksi, transportasi, pergudangan, perbankan, serta
digitalisasi perdagangan mengancam begitu banyak lapangan pekerjaan. ILO
(Organisasi Buruh Internasional) bahkan memprediksi bahwa dalam 20 tahun mendatang
sekitar 56 persen dari tenaga kerja di kawasan Asia Tenggara akan terkena
risiko tergantikan oleh mesin sebagai konsekuensi dari otomasi secara
besar-besaran. Senada dengan itu, sebuah tulisan di Dailymail Online, 29
November 2017, menyebutkan bahwa sekitar 800 juta pekerja akan tergantikan
oleh robot pada tahun 2030.
Kalau kita melihat
struktur rantai pasok dari berbagai barang seperti sepatu dan garmen, saat
ini Indonesia memperoleh banyak sekali lapangan kerja akibat kebijakan
subkontrak yang dilakukan perusahaan pemegang merek besar dunia. Ketika robot
makin banyak digunakan, konfigurasi rantai pasok global akan berubah, di mana
produksi tidak lagi harus dilakukan di negara-negara dengan tenaga kerja
murah seperti di Indonesia, tetapi bisa lebih mendekati pasar, termasuk di
negara-negara maju yang biaya tenaga kerjanya mahal.
Perusahaan yang selama ini
bekerja dengan model rantai pasok global karena ingin mencari lokasi produksi
dengan biaya tenaga kerja murah akan mengubah strateginya menjadi apa yang
mereka sebut sebagai nearshoring,
yakni memindahkan fasilitas produksi ke lokasi yang dekat pasar. Tentu bagi
Indonesia hal ini menghadirkan tantangan besar dalam penyediaan lapangan
kerja di masa mendatang.
Penggantian tenaga kerja
oleh mesin juga akan merambah berbagai pekerjaan lain, seperti pekerjaan
kantoran yang sangat berulang, sistematis, dan teknis. Substitusi oleh mesin
sudah dan akan terjadi di pekerjaan restoran cepat saji, sektor perbankan,
agen perjalanan, dan di berbagai sektor lainnya.
Isu tergantikannya
pekerjaan manusia oleh mesin sebenarnya sudah jadi diskusi yang cukup lama.
Tahun 2011, dua profesor dari MIT, Erik Brynjolfsson dan Andrew McAfee,
memublikasikan buku berjudul Race
Against the Machine. Buku ini mengulas bagaimana teknologi
memberikan kemudahan bagi manusia, tetapi juga memunculkan ancaman
berkurangnya lapangan pekerjaan. Lebih lanjut juga dipaparkan data bahwa
kemajuan teknologi tidak memberikan manfaat yang merata bagi semua orang.
Kemajuan teknologi ditengarai justru menciptakan kesenjangan ekonomi yang
lebih tinggi di kalangan masyarakat.
Peran
pemerintah
Kemajuan teknologi memang
tidak bisa dibendung. Perusahaan yang menjalankan bisnis, organisasi
pemerintahan yang melayani masyarakat, ataupun masyarakat secara individu
tidak mungkin mengelak dari perkembangan teknologi karena memang banyak
kemudahan yang ditawarkan dengan memanfaatkan teknologi tersebut.
Kementerian Perindustrian
kabarnya sudah mulai mendorong perusahaan manufaktur besar untuk mengadopsi
teknologi industri 4.0, sebuah inovasi yang menciptakan keterhubungan
informasi dalam kegiatan produksi dan pengiriman barang. Namun, isu utama
yang harus dihadapi pemerintah adalah konsekuensi dari implementasinya, bukan
pada mau tidaknya perusahaan menggunakannya.
Tantangannya justru
bagaimana pemerintah bisa berperan aktif dalam membuat kerangka yang
komprehensif, yang mencakup regulasi, penyiapan SDM, pengurangan ketimpangan,
dan peningkatan inklusivitas dari perkembangan teknologi ini. Pemerintah
harus memiliki peta jalan yang jelas bagaimana menghadapi risiko perubahan
peta lapangan kerja ke depan.
Harus ada tim yang
memformulasikan langkah-langkah strategis dalam mencegah termarjinalkannya
sebagian masyarakat karena tidak cukupnya kesempatan kerja atau tak punya
keahlian memadai untuk mengambil pekerjaan yang ada. Sudah banyak kita dengar
bahwa inovasi teknologi akan memunculkan peluang pekerjaan baru, tetapi
peluang itu butuh keahlian yang baru juga. Implikasinya, perlu ada perubahan
besar di sektor pendidikan dan pelatihan kerja.
Sebagai rujukan, kita bisa
melihat apa yang dilakukan Inggris, misalnya. Dalam pidatonya di Davos, PM
May secara tegas menyatakan sikap dan kebijakan Pemerintah Inggris menghadapi
inovasi teknologi yang sangat pesat itu. Pertama, menyediakan dana sekitar 45
juta pound sterling untuk mencetak para doktor pada bidang kecerdasan buatan.
Kedua, mereka juga membentuk apa yang dinamakan Institute of Coding, sebuah
konsorsium besar yang melibatkan sekitar 25 perguruan tinggi serta perusahaan
besar, seperti IBM, Cisco, Microsoft, dan British Telecom.
Misinya:
menyiapkan tenaga kerja ahli dan terampil yang siap mengambil dan menciptakan
pekerjaan di era ekonomi digital di masa mendatang.
Indonesia sebagai negara
besar dengan ketimpangan ekonomi cukup lebar tentu harus bersiap lebih
serius. Mampukah pemerintah menyiapkan lapangan kerja bagi lulusan
sekolah/perguruan tinggi yang masuk ke dunia kerja maupun mereka yang
pekerjaannya tergantikan oleh mesin? Apakah pemerintah sudah memformulasikan
langkah strategis secara komprehensif, termasuk melibatkan perguruan tinggi
dan industri?
Sudahkah ada mitigasi terhadap risiko melebarnya gap ekonomi
akibat inovasi teknologi dan terpinggirkannya sebagian masyarakat yang tak
mampu mengikuti perkembangan teknologi tersebut?
Kita harus mampu membuat
inovasi teknologi nyaman bagi setiap orang, mampu meningkatkan pemerataan,
merealisasikan ekonomi berkeadilan sosial, dan meningkatkan inklusivitas. Di
era digital dewasa ini, mendengungkan kembali perlunya keadilan sosial dalam
pembangunan ekonomi bahkan menjadi lebih penting dibandingkan dengan di era
sebelumnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar