Proklamasi
Aksi Marrakesh
Fachruddin M Mangunjaya ; Dosen
Pascasarjana Fakultas Biologi Universitas Nasional; Delegasi Republik
Indonesia dalam COP 22 di Marrakesh
|
KOMPAS, 01 Desember
2016
Setelah Kesepakatan Paris (Paris Agreement) memiliki kekuatan
hukum, ditandatangani 109 negara anggota UNFCCC pada 4 November 2016,
kesepakatan itu lalu diwujudkan menjadi aksi kebijakan yang konkret.
"Semakin praktis diharapkan semakin banyak yang
didapatkan," demikian Sekjen PBB Ban Ki-moon berharap. Konferensi negara
anggota penanda tangan konvensi perubahan iklim (UNFCCC), COP 22, berakhir
dengan semangat penting yang melahirkan butir kesepakatan, yang dalam garis
besarnya disebut Proklamasi Aksi Marrakesh. Intinya, menyambut baik
Kesepakatan Paris agar diadopsi ke bawah konvensi, segera berkekuatan hukum,
dengan target yang ambisius dan semua anggota bersepakat untuk secara penuh
mendukung implementasinya.
Tak dapat dimungkiri, partisipasi aksi perubahan iklim kini
mendapatkan dukungan luas. Juga momentumnya dalam segala topik serta berbagai
kesepahaman dan kesepakatan multilateral. Ini momentum yang tak akan
terulang, di mana gerakan aksi perubahan iklim tak hanya dikendalikan
pemerintah, tetapi juga oleh sains, dunia bisnis, dan lembaga swadaya
masyarakat dalam berbagai bentuk kegiatan mengglobal.
Misalnya di arena COP 22, Marrakesh, lokasi Bab Ighli seluas
300.000 meter persegi itu dibagi jadi dua zona, yaitu zona biru, khusus untuk
para negosiator dan 195 negara anggota pemerintah; dan zona hijau untuk dunia
usaha, inovasi, akademisi, masyarakat adat, dan pegiat lain. Pengusaha memamerkan teknologi
terkini, dari mulai inovasi penangkap embun untuk mengatasi krisis air hingga
mobil listrik yang hemat. Di Green Zone pula diadakan komitmen menarik diri
dari investasi pada energi kotor berbasis fosil menjadi investasi pada energi
terbarukan yang 100 persen zero emission.
Maka, jika dilihat gerakan masif di arena tersebut, pantas
pertemuan kali ini disebut arena aksi. Aksi konkret secara bersamaan untuk
terus maju menurunkan emisi gas rumah kaca serta mewujudkan upaya adaptasi
sekaligus mendukung dan menguntungkan Agenda 2030 untuk pembangunan berkelanjutan dan
target-target pembangunan berkelanjutan (SDGs). Maka, Proklamasi Marrakesh
ini juga menekankan komitmen politik tingkat tinggi dalam upaya menanggulangi
perubahan iklim sebagai prioritas mendesak.
Proklamasi menekankan adanya solidaritas terhadap negara- negara
yang rentan terkena dampak perubahan iklim, dan mengambil peduli untuk
berupaya membantu dalam kapasitas mereka menyesuaikan keadaan, meningkatkan
ketahanan dan menurunkan risiko kerentanan.
Selain itu, ditekankan juga agar semua negara anggota
meningkatkan dukungan untuk menurunkan angka kemiskinan, memastikan
ketersediaan pangan, dan meningkatkan aksi di bidang iklim yang dihadapi
sektor pertanian. Mengusung ambisi untuk meningkatkan kerja sama antarbangsa
dalam upaya mengisi gap pada trayektori emisi dan jalan menuju pada
pemenuhan ukuran temperatur jangka
panjang sesuai Kesepakatan Paris di bawah 1,5 derajat celsius.
Memenuhi hal tersebut, maka proklamasi menekankan pentingnya
menaikkan volume kesempatan finansial yang dapat diakses untuk proyek-proyek
iklim, berbarengan dengan peningkatan kapasitas teknologi dari negara maju dan
negara berkembang. Dalam kaitan ini, negara maju diingatkan kembali tentang
mobilisasi pendanaan 100 miliar dollar AS untuk iklim.
Visi Marrakesh
Perubahan iklim sedang terjadi, sedangkan negara-negara yang
tergabung dalam Climate Vulnerable
Forum (CVF)-forum negara yang rentan, seperti Filipina, Banglades,
Afganistan, Etiopia, dan negara lain yang paling berisiko atas perubahan
iklim- menanggapi aksi secara serius. Negara dengan ekonomi berkembang ini
mengeluarkan komitmen tingkat tinggi yang disebut Visi Marrakesh.
Visi ke depan penanggulangan perubahan iklim adalah sesegera
mungkin, paling tidak pada 2030 hingga 2050. Visi pertama negara-negara ini
adalah untuk menjaga perubahan iklim pada tingkat absolut minimum. Artinya,
dalam setiap aksi haruslah ditujukan pada upaya penyebab bencana dan
kerentanan. Oleh karena itu, maka diperlukan batas peningkatan suhu global
semaksimalnya berada di bawah 1,5 derajat celsius, pada tingkat emisi global
setidaknya 2020. Dalam upaya pencapaian ini, negara anggota diminta mengadakan aksi, antara lain,
memperbarui nationally designated
commitment, kesanggupan kontribusi nasional (NDC), dalam upaya mendukung
target di negara masing masing.
Dalam upaya memaksimalkan capaian tersebut, maka disepakati juga
kerja sama untuk implementasi penuh mengamandemen Protokol Montreal 2016.
Lalu ikut dalam kerja sama dengan organisasi penerbangan Civil Aviation
Organization dan International Maritime Organization. Emisi yang dikeluarkan
oleh transportasi laut dan udara harus masuk dalam kerangka netral karbon dan
emisinya dapat diofset pada upaya reduksi emisi dan energi terbarukan.
Aksi juga didorong pada semua negara anggota untuk beralih pada
capaian 100 persen energi terbarukan secepat mungkin, sejalan dengan upaya
program pemberantasan kemiskinan energi dan melindungi air yang harus
dipertimbangkan sebagai bagian dari upaya nasional.
Adapun aksi yang ketiga adalah untuk perlindungan dari bahaya
kenaikan panas 1,5 derajat celsius, mengentaskan rakyat dari kemiskinan, dan
sebagai negara dengan pendapatan di bawah menengah, maka berbagai upaya harus
dilakukan agar bangsa menjadi kuat dan makmur dalam pertumbuhan
ekonominya.
Indonesia telah memberikan kontribusi nasionalnya (NDC) dengan
menargetkan penurunan 29 persen emisi
pada 2020. Hal ini harus benar-benar dapat terwujud di lapangan melalui
sejumlah dorongan kebijakan dan pengarusutamaan visi iklim ini dalam
kebijakan pembangunan. Tentu saja ditambah oleh mobilisasi pada partisipasi
masyarakat, seperti kampung iklim, gerakan agama dan perubahan iklim dan
seterusnya, yang perlu mendapatkan fasilitasi, sinergi, dan dorongan dari
pemerintah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar