Kuasa
Pemerintah dalam Ranah Digital
Irwansyah ; Dosen
Komunikasi Universitas Indonesia
|
MEDIA INDONESIA,
30 November 2016
DISKUSI
ini dimulai dengan pendapat Ithiel de Sola Pool (1983) dalam bukunya
Technologies of Freedom. Beliau mengatakan bahwa dengan sedikit lebih
waspada, kita bisa menyelamatkan kebebasan tradisional kita dari jangkauan
kendali pemerintah. Teknologi itu baru kita sadari ketika memiliki potensi
sebagai ‘teknologi kebebasan’. Dalam konteks yang lebih sederhana, teknologi
dapat menjadi cara untuk memiliki kebebasan dari belenggu pemerintahan yang
berkuasa. Bagi pejuang reformasi, mereka tentu tidak akan lupa dengan gerakan
‘bawah tanah’ yang dimulai dalam mailing list Indonesia-L (Hill & Sen,
2005).
Milis
ini merupakan sarana komunikasi antarpakar, akademisi, profesional, dan
aktivis mahasiswa untuk mendiskusikan problematik dan solusi bangsa yang
telah dikuasai rezim pemerintah lebih dari 32 tahun. Keberhasilan teknologi
komunikasi dan media baru yang belum bisa diawasi, apalagi diatur, oleh rezim
berkontribusi dalam runtuhnya Orde
Baru.
Walaupun Orde Baru berhasil membatasi dan menyensor media massa yang terbit
dan beredar saat itu, teknologi komunikasi media baru menunjukkan
kepiawaiannya dalam membebaskan warga negara dari kendali pemerintah yang
konvensional.
Bila
kita mundur lagi ke sejarah kemerdekaan, pemuda dan pejuang kemerdekaan
berhasil mengetahui bahwa Jepang telah kalah dalam Perang Dunia II karena
berhasil merusak segel radio. Mereka memonitor dengan rahasia setiap
perkembangan internasional dalam takluknya Jepang kepada sekutu. Kemudian,
dengan gerakan yang cepat dan taktis, pemuda yang menjadi tokoh dan pahlawan
nasional saat ini mampu mendesak agar bangsa Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya. Dengan penguasaan stasiun radio Domei, pemuda kita nekat
menyiarkan berita proklamasi ke seluruh dunia sehingga kantor berita Amerika
di San Francisco memberitakan kemerdekaan negara baru di Asia Tenggara
bernama Indonesia yang kemudian diakui negara-negara lain secara bertahap.
Namun,
saat ini kita dihadapkan dengan pengesahan ‘revisi setengah hati’ dari UU No
11/2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE). Revisi dilakukan untuk
memperjelas tafsir, istilah, dan definisi, memperkuat dokumen elektronik
sebagai bukti hukum, pengurangan ancaman pidana masa penahanan dan denda. Itu
termasuk penegasan status delik aduan, penggunaan Kitab Hukum Acara Pidana
(KUHAP), penegasan peran penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), menambahkan
right to be forgotten, dan memperkuat peran pemerintah dalam gangguan dan
penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik.
Hanya
saja, pasal-pasal yang paling kontroversi yang menjerat banyak korban tentang
pencemaran nama baik tetap bertahan. Artinya UU ini lebih populer sebagai UU
untuk menghakimi pelaku pencemaran nama baik melalui media baru seperti
internet jika dibandingkan dengan sebagai perlindungan bagi setiap transaksi
perdagangan elektronik (e-commerce). Malah sebenarnya medianya sendiri
bukanlah milik bangsa yang dikenal dengan over the top (OTT). Jeratan
pencemaran nama baik berlaku bagi tidak hanya pembuat konten, tetapi juga
bagi yang mendistribusikan dan mentransmisikan.
Masalah
pencemaran nama baik yang kembali dipertahankan memperlihatkan bahwa
pemerintah atau bagi pihak yang merasa dirugikan menjadi pihak yang berkuasa.
Padahal, pencemaran nama baik terjadi karena tindakan membuat pernyataan yang
tidak benar yang merusak atau rusaknya reputasi. Jika pernyataan pencemaran
nama baik dicetak atau disiarkan melalui media atau dilakukan secara lisan,
hal tersebut disebut fi tnah. Masyarakat atau publik, para pejabat, atau
calon pejabat yang merasa mendapatkan pencemaran nama baik perlu membuktikan
bahwa hal tersebut dilakukan dan dibuat dengan maksud niat jahat bukan ketidakadilan.
Selama
ini juga pencemaran nama baik harus bisa dibuktikan secara analog. Dalam
konteks hukum artinya harus bisa tercetak dan terdokumentasi. Sebaliknya
dalam konteks teknologi komunikasi, analog harus bisa dibuktikan dengan
pancaindra untuk dilihat (mata), didengar (telinga), dicium (hidung), dicecap
(lidah), dan diraba (kulit). Analog tidak mengenal perasaan atau emosi karena
masih dalam ruang perdebatan yang tidak pernah selesai dalam kajian
kepribadian. Oleh karena itu, pencemaran nama baik yang berada pada ranah
digital bukan masalah perasaan atau emosi, melainkan suatu keadaan yang
dibuktikan dengan kemampuan pancaindra. Masalahnya ruang digital tidak bisa
diukur dengan pancaindra karena bersifat binari, algoritma, menggunakan
listrik atau lain-lainnya yang hanya bisa diukur dengan teknologi tertentu
juga.
Saat
sistem dan penegakan hukum pidana Indonesia mempertimbangkan pendekatan
keadilan restoratif (restorative justice), revisi UU ITE dalam pencemaran
nama baik masih mempertahankan pendekatan konvensional. Apalagi mengacu
kepada KUHAP yang masih mempertimbangkan legalitas formal, belum bersifat
humanistis dan mengarah proses pemulihan kepada ‘penyelesaian di luar
pengadilan’. Jika pendekatan hukum positif, konvensional, dan legalitas
formal masih digunakan, tidak hanya beban keuangan negara dan aktivitas
penegak hukum yang bertambah, tetapi juga semakin dominannya pemerintah dalam
mengatur hak-hak sipil warga negara dan HAM. Padahal, semakin dominannya
pemerintah berarti lebih memperlihatkan akan ketidakmampuan warga negaranya
untuk menyelesaikan masalah kehidupannya dalam berinteraksi dan berkomunikasi
antara satu sama lainnya. Apalagi, masalah pencemaran nama baik lebih banyak
digunakan warga negara yang tidak mau memaafkan dengan lapang dada, ikhlas
dan tanpa dendam.
Oleh
karena itu, kita perlu merenung dan mengevaluasi kembali alasan-alasan yang
secara sukarela (volunterism) dalam menggunakan teknologi. Tidak ada yang
memaksa kita menggunakan teknologi, apalagi media baru. Walaupun banyak yang
berada dalam arus utama bahwa teknologi dan media baru memengaruhi segala
bidang kehidupan, kondisi sosial budaya, fl eksibilitas dalam
menginterpretasikan, dan kelompok yang relevan patut dipertimbangkan.
Sayangnya peran dan kondisi ini lebih diperankan pemerintah dalam memperkuat
dominasinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar