Ahok
dan Pendidikan Politik
Komaruddin Hidayat ; Guru
Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN SINDO, 02 Desember
2016
SEJAK tiga bulan terakhir nama Ahok menjadi sangat populer di
seantero Nusantara. Agenda pilkada yang paling banyak diberitakan hanyalah
Jakarta. Seakan membuat tenggelam 101 pilkada di daerah lain.
Bahkan pemilihan gubernur Banten, hanya satu jam dari Jakarta,
terasa senyap, tidak jadi berita nasional. Persoalan yang melilit Ahok
membuat orang yang tadinya tidak pernah bicara politik, sekarang ikut-ikutan
bicara politik agar tidak ketinggalan informasi.
Ada semacam dorongan dan kebutuhan, khususnya orang Jakarta dan
sekitarnya, untuk mengikuti berita Pilkada DKI Jakarta. Dalam konteks ini
Ahok seakan jadi figur dan topik sentral yang sangat magnetik, baik yang pro
maupun kontra.
Saya tidak akan membahas posisi Ahok dari sisi hukum maupun
agama, namun hanya ingin memberi komentar dampaknya terhadap pendidikan
politik bagi masyarakat.
Kasus Ahok pasti menarik dijadikan topik tesis master atau
disertasi doktor bagi mahasiswa jurusan politik atau komunikasi. Demonstrasi
4 November dan doa bersama di lapangan Monas 2 Desember 2016 tak bisa
dilepaskan dari sosok Ahok.
Masyarakat dibuatnya ingin tahu apa isi surat Almaidah 51 dan
kepemimpinan umat yang dipolulerkan oleh Ahok. Setelah dia jadi tersangka,
rakyat diajak berpikir tentang fungsi dan posisi hukum dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Bahwa dalam kehidupan bernegara berlaku hukum positif, di atas
hukum agama. Di hadapan negara, kapasitas seseorang adalah sebagai warga
negara apapun agama yang dianutnya. Dalam sebuah negara republik, institusi
kepolisian, kejaksaan dan pengadilan adalah lembaga yang berwenang memproses
dan mengadilinya.
Mungkin saja di antara kita menempatkan kitab suci di atas
segala hukum duniawi. Tetapi dalam bernegara ternyata tidak begitu. Hukum
positif memiliki posisi lebih tinggi.
Aspirasi hukum agama
harus diperjuangkan lebih dulu agar masuk menjadi bagian dari UU dan hukum
positif jika ingin berlaku, sebab Indonesia bukan negara teokrasi. Para
pejuang kemerdekaan dan pendiri bangsa sadar betul bahwa sejak awal yang hendak dibangun
adalah negara berbentuk republik, bukan
negara agama.
Jadi, memperjuangkan negara agama (teokrasi) di Indonesia hanya
akan membuang-buang energi dan menciptakan musuh dengan sesama umat Islam.
Mencermati cagub-cawagub DKI juga mengingatkan para parpol agar
melakukan kaderisasi yang baik. Ini agenda serius dan mendesak agar ke depan
tidak mengalami defisit calon gubernur seperti yang terjadi saat ini.
Jago-jago yang populer bukanlah hasil kaderisasi parpol.
Mencermati proses sosial politik yang berlangsung, semua ini
merupakan proses pendewasaan dan metamorfosis dalam memperkokoh kohesi sosial
dan kebhinekaan. Rakyat sadar akan hak politiknya untuk melakukan demonstrasi
dan mengawal proses hukum yang dijatuhkan terhadap Ahok.
Pemerintah pun mesti menghargai dan melindungi hak rakyatnya.
Maka yang muncul adalah dialog dan kompromi. Itulah politik. Itulah
demokrasi. Itulah musyawarah yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan.
Sungguh mengesankan, semula demo yang dilakukan 2 Desember
dengan mengambil tempat di Jalan MH
Thamrin, lalu disepakati pindah ke Lapangan Monas, dengan nama doa bersama
untuk bangsa. Bahkan dimunculkan juga
istilah demo superdamai.
Diisi dengan dzikir, taushiyah dan salat Jumat. Bahkan umat
beragama lain dipersilakan bergabung, diberi ruang khusus. Pemerintah pun
menyediakan WC umum dan ambulans serta layanan kesehatan. Direncanakan
jajaran polisi juga ikut bergabung berdoa bersama.
Melihat proses sosial politik yang terjadi, inilah salah satu
keunggulan masyarakat Indonesia, di mana dunia lain mesti belajar. Kalaupun
terjadi kerusuhan dan keributan, pasti datang dari pihak pengacau.
Indonesia tidak memerlukan demo dan perubahan politik model Arab
Spring yang berdarah-darah dan korbannya terlalu banyak. Sungguh suatu rahmat
ilahi, Indonesia yang sedemikian besar penduduk dan wilayahnya namun justru
bersatu dalam rumah Indonesia.
Sekian banyak kesultanan rela bergabung dan bernaung di
dalamnya. Indonesia memiliki sejarah dan jalan hidup sendiri. Beda dari
negara-negara Arab meskipun sama-sama muslim. Mari kita jaga warisan dan
amanat para pejuang bangsa.
Bagaimana posisi dan cerita Ahok? Kita kawal saja proses hukum
yang tengah berlaku. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar