Penolakan Lapindo dan Problem Analisis Risiko
Abdul Rohim Tualeka ;
Mengajar Higiene Industri Kimia Minyak dan
Gas Bumi di FKM Unair; Penulis Buku ”Analisis Risiko di Lingkungan Kerja”
|
JAWA
POS, 11 Januari 2016
SEBENARNYA,
bila PT Lapindo Brantas memahami langkah-langkah analisis risiko sebelum
pelaksanaan pengeboran, kasus penolakan pengeboran lagi oleh Dirjen Migas,
SKK Migas, gubernur Jatim, dan masyarakat sekitar area pengeboran tidak akan
terjadi. Sebab, analisis risiko merupakan upaya menilai risiko yang akan
terjadi saat pengeboran, diikuti manajemen risiko untuk melakukan
pengendalian terhadap risiko-risiko yang muncul serta komunikasi risiko.
Analisis
risiko, meliputi risk assessment, risk
management, dan risk communication,
sesungguhnya merupakan keharusan dilakukan semua industri yang memiliki
dampak besar dan penting. Itu mengacu pada Undang-Undang Pengelolaan
Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009. Dalam konteks risk assessment terhadap
semua aktivitas pengeboran oleh Lapindo di Sidoarjo, tingkat risiko yang
diperoleh masuk kategori tinggi (10) yang berasal dari peluang/likelihood jarang (2) dan konsekuensi
berat (5).
Peluang
terulangnya kasus lumpur seperti pada 2006 yang menyembur sampai kini jarang,
bahkan sangat jarang, terjadi sehingga nilainya rendah. Sedangkan konsekuensi
akibat kejadian 2006 adalah berat karena banyak kerugian yang diderita
masyarakat. Baik moril maupun materiil.
Karena
tingginya risiko pengeboran oleh Lapindo disebabkan konsekuensi, dalam
melakukan manajemen risiko, sasaran utamanya adalah konsekuensi yang bisa
dilakukan dengan cara mitigasi. Tujuannya adalah menurunkan konsekuensi besar
menjadi konsekuensi kecil.
Secara teori
terdapat beberapa upaya mitigasi. Yaitu dengan diversifikasi (menempatkan
aset di beberapa tempat sehingga ketika salah satu tempat terkena musibah
tidak akan menghabiskan semua aset yang dimiliki), penggabungan (merger), serta pengalihan risiko
(dengan asuransi dan outsourcing).
Diversifikasi
bisa saja dilakukan Lapindo. Sebab, aset lokasi untuk pengeboran tersebar di
hampir semua pantura (pantai utara) Jawa Timur setelah Surabaya. Namun,
belajar dari hasil riset kami pada 2010 terhadap PT Petrojava yang memiliki
lokasi pengeboran di utara Kangean, Madura, di mana lebih dari 90 persen warga
menolak adanya pengeboran dengan alasan terbanyak karena khawatir kasusnya
sama dengan semburan lumpur di Porong, aset-aset Lapindo di berbagai lokasi
di luar Sidoarjo juga berisiko besar mengalami penolakan warga. Juga bakal
sulit mendapatkan perusahaan asuransi yang bersedia meng- cover dalam
pelaksanaan pengeboran ini karena sudah tahu risiko gagalnya tinggi.
Dari semua
alternatif mitigasi, yang paling pas, walaupun juga mengandung konsekuensi
berat, adalah outsourcing. Yaitu, asesmen dan pengeboran dilakukan industri
pengeboran asing yang memiliki reputasi internasional.
Pola tersebut
pernah ditekankan kepada Lapindo di masa pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY), persisnya sekitar 2011. Waktu itu pemerintah memberikan
rekomendasi kepada para ahli dari Rusia untuk melakukan asesmen atau
penilaian titik-titik yang perlu dibor Lapindo.
Namun,
perkembangan selanjutnya tidak diketahui, termasuk pengeborannya. Tapi,
dengan kejadian akan ada pengeboran lagi yang mendapat protes masyarakat
sekarang, indikasinya kuat bahwa pola yang diajukan pemerintahan SBY tersebut
tidak jalan.
Tentu semua
langkah komunikasi risiko harus dilakukan mereka yang mendapat kepercayaan
tinggi dari masyarakat, misalnya tokoh-tokoh masyarakat. Berdasar hasil riset
Kolluru (2000), dokter, kelompok lingkungan, dan teman/sederajat merupakan
sumber informasi yang paling dipercaya. Mereka dapat menjadi komunikator
risiko yang baik untuk mengubah persepsi masyarakat dari menolak menjadi
setuju.
Seperti
diketahui, penolakan hampir semua masyarakat Sidoarjo terhadap Lapindo untuk
mengebor lagi dilandasi trauma. Trauma itu adalah ”luka” di bawah sadar
sehingga penyembuhannya butuh waktu lama.
Dari sini
akhirnya Lapindo harus menata ulang strategi pengeboran yang bisa dilakukan
dengan menggunakan strategi diversifikasi, dipadukan dengan strategi outsourcing. Jika dibandingkan dengan
lokasi lain, tentu risikonya tidak setinggi di Sidoarjo. Sehingga komunikasi
risiko juga tidak sesulit seperti pada masyarakat sekitar lokasi pengeboran
pertama yang kadung trauma.
Agar lebih berfokus pada
analisis risiko, sudah waktunya Lapindo membuat perencanaan pengadaan
manajemen baru, yaitu manajer risiko. Di luar negeri seperti Amerika Serikat,
manajer risiko di perusahaan-perusahaan besar sudah jamak ditemukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar