Kontra Terorisme dengan Pancasila
Yudi Latif ; Direktur Eksekutif Pusat Studi Pancasila
Universitas Pancasila
|
KOMPAS,
19 Januari 2016
Aksi keji terorisme
kembali meledak di tengah kita. Seperti biasa, pemuka politik dan masyarakat
muncul melancarkan kecaman untuk kemudian tak berkutik hingga teror kembali
terjadi. Sesungguhnya terorisme adalah gejala permukaan dari kelalaian bangsa
ini dalam mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila. Seluruh teori sosial
tentang terorisme bisa diringkas premis-premisnya ke dalam lima prinsip
Pancasila.
Pertama, terorisme itu
mencerminkan kemiskinan kehidupan keagamaan. Semangat ketuhanan dikembangkan
tanpa keadaban nilai-nilai kasih sayang (rahman-rahim) yang jadi kaidah emas
semua agama. Modus beragama yang berhenti sebagai pemujaan eksterioritas
formalisme peribadatan, tanpa kesanggupan menggali interioritas nilai
spiritualitas dan moralitas hanya berselancar di permukaan gelombang bahaya.
Tanpa menyelam di kedalaman pengalaman spiritual, keberagamaan menjadi
mandul, kering, dan keras. Agama yang seharusnya membantu manusia untuk
menyuburkan rasa kesucian, kasih sayang, dan perlindungan justru acap
memantulkan rasa keputusasaan dan kekerasan dalam bentuk terorisme,
permusuhan, dan intoleransi.
Kedua, terorisme
mencerminkan relasi kemanusiaan pada tingkat global yang mengabaikan hak-hak
asasi manusia, rasa keadilan, dan keadaban. Globalisasi, selain memberi
kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan dan relasi antarmanusia, juga menciptakan
ketidakadilan distributif dan tercerabutnya manusia dari akar eksistensinya.
Dalam pandangan
Juergen Habermas, fundamentalisme-terorisme adalah reaksi terhadap kegagalan
sekularisasi dan ekstensifikasi rasionalitas instrumental atas dunia
kehidupan (Lebenswelt), yang membuat banyak komunitas tercerabut dari akar
kehidupan tradisionalnya. Fundamentalisme sebagai basis terorisme bukanlah
gerak kembali yang sederhana kepada cara yang pramodern dalam memahami agama,
melainkan lebih sebagai respons panik dan gagap menghadapi modernitas dan
globalisasi. Kepanikan ini ditandai resistensi diri terhadap prinsip
kehidupan global, yang termanifestasi dalam sikap religius yang menutup
komunikasi dengan dunia kehidupan, yang melahirkan kekerasan dalam wujud
teror.
Ketiga, terorisme itu
mencerminkan pelumpuhan kapasitas kewargaan untuk menjalin persatuan dalam
keragaman. Studi- studi sosiologi agama menunjukkan fundamentalisme sebagai
akar terorisme mudah melanda pribadi-pribadi dengan ruang pergaulan yang
tertutup dan homogen. Isolasi sosial cenderung memandang kebaruan dan
perbedaan sebagai ancaman, yang melahirkan mekanisme defensif melalui
konsolidasi dan politisasi identitas.
Bagi Indonesia,
fundamentalisme ini mencerminkan adanya patologi dalam relasi kebangsaan.
Politisasi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) secara berlebihan di
masa lalu membuat ekspresi dan wacana perbedaan menjadi tabu. Akibatnya,
sebagian besar warga hidup dalam kepompong budaya (SARA) yang relatif seragam
dengan mengembangkan sikap hidup monokultural. Padahal, bangsa Indonesia
sebagai masyarakat plural mestinya mengembangkan sikap hidup multikultural,
yang membudayakan warga untuk mengembangkan penyerbukan silang budaya dan
pergaulan lintas budaya.
Keempat, terorisme itu
mencerminkan penyimpangan dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat. Dalam visi
demokrasi permusyawaratan, demokrasi memperoleh kesejatiannya dalam penguatan
daulat rakyat ketika kebebasan politik berkelindan dengan kesetaraan ekonomi,
yang menghidupkan persaudaraan dalam kerangka ”musyawarah-mufakat”. Dalam
prinsip musyawarah-mufakat, keputusan tidak didikte oleh golongan mayoritas
(mayorokrasi) atau kekuatan minoritas elite politik dan pengusaha
(minorokrasi), tetapi dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan yang memuliakan
daya-daya rasionalitas deliberatif dan kearifan warga.
Dalam praktiknya,
sifat demokrasi permusyawaratan yang bersifat egaliter, imparsial, dan
inklusif itu tersisihkan oleh pengadopsian nilai-nilai demokrasi liberal,
yang membuat banyak komunitas tidak memiliki akses ke dalam proses pengambilan
keputusan formal. Kelompok-kelompok terpinggirkan dari gelanggang politik
resmi inilah yang kemudian menjadi penonton agresif, yang merasa perlu
”berteriak” melalui aksi brutal untuk menarik perhatian publik.
Kelima, terorisme itu
mencerminkan ada persoalan dalam pemenuhan kesejahteraan dan keadilan sosial.
Melebarnya ketidakadilan dan ketimpangan sosial memberikan lahan yang subur
bagi pengembangbiakan radikalisme. Ketimpangan ini warisan diskriminasi
kolonial maupun rezim-rezim pemerintahan pasca kolonial. Sumber ketimpangan
sosial-ekonomi baru adalah konsekuensi dari globalisasi dan penetrasi
kapitalisme.
Di sini, pergeseran ke
arah sistem politik demokratis yang membawa serta gelombang aspirasi
neoliberal dalam perekonomian terjadi ketika tradisi negara kesejahteraan
belum berjejak. Penetrasi kapital dan kebijakan pro pasar di tengah-tengah
perluasan korupsi, serta lemahnya regulasi negara dan pelaku ekonomi
”kebanyakan”, memberi peluang bagi bersimaharajalelanya ”predator- predator”
raksasa, yang cepat memangsa pelaku-pelaku ekonomi menengah dan kecil.
Akibatnya, kekayaan
dikuasai segelintir orang yang meluaskan kesenjangan dan kecemburuan sosial.
Karena dalam masyarakat plural terdapat afinitas antara golongan budaya dan
kelas ekonomi, resistensi atas kesenjangan sosial pun bisa diartikulasikan
lewat bahasa-bahasa perbedaan SARA.
Singkat kata,
terorisme memang harus dikecam, tetapi selebihnya harus menjadi wahana
refleksi diri. Meski aksi teror memang meledak sekarang dan di sini, akarnya menghunjam
dalam dan lebar. Terorisme mencerminkan patologi sosial yang ditimbulkan oleh
ketidaksetiaan kita dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar