Teror ISIS di Jakarta dan Asia Tenggara
M Bambang Pranowo ; Guru Besar UIN Jakarta;
Rektor Universitas Mathla 'ul
Anwar Banten
|
REPUBLIKA,
16 Januari 2016
Lima teroris Negara
Islam di Irak dan Suriah (ISIS) akhirnya membuktikan ancamannya, Kamis
(14/1). Tiga orang meledakkan
diri (bom bunuh diri) di pos polisi di Jalan Thamrin, Jakarta, dan tiga lainnya baku tembak
dengan polisi. Kelimanya tewas. Aksi terorisme ISIS di Jakarta ini sebetulnya sudah lama
diprediksi. Karena, Jakarta merupakan "point" penting untuk
"menguasai" Asia Tenggara.
Wakil Menteri Dalam
Negeri Malaysia Datuk Nur Jazlan pada September lalu menyatakan, Asia
Tenggara telah menjadi target teroris ISIS. Enam bulan lalu, misalnya, Polisi
Malaysia berhasil mengungkap rencana peledakan bom di kawasan pariwisata
Bukit Bintang dan rencana penyerangan markas Angkatan Darat di Kuala Lumpur.
"Saya pikir
serangan ISIS gaya Paris bisa terjadi di Asia Tenggara. Ini terjadi karena
kawasan Asia Tenggara menjadi lahan subur perekrutan anggota ISIS," ujar
Datuk Nur Jazlan.
Kuala Lumpur khawatir,
militan Malaysia yang bersembunyi di Filipina Selatan membentuk jaringan ISIS
di Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Juni tahun lalu, seorang yang diduga
anggota ISIS ditangkap Polisi Filipina. Warga Australia itu diduga tengah
merekrut warga Filipina Selatan untuk berangkat ke wilayah konflik di Irak
dan Suriah.
Media lokal mengutip
pernyataan polisi Senior Superintenden Conrad Capa yang menyatakan, Musa
Cerantonio, warga negara Australia berdarah Filipina itu ditangkap di Kota
Lapu Lapu, Provinsi Cebu. Musa Cerantonio dianggap sebagai salah satu
pendukung ISIS paling berpengaruh di Asia Tenggara. Ia diduga menggunakan media
sosial untuk merekrut pendukung ISIS dan berhasil mengajak kelompok radikal
Islam di Filipina (Mindanao) berjihad melawan Barat.
Pertengahan November
lalu, kelompok Santoso di Poso menyebarkan ancaman melalui video (internet)
terhadap Kepolisian RI dan Pemerintah Indonesia. Meski kekuatan kelompok
Santoso ini kecil dibandingkan ISIS, tapi ancaman teroris bersenjata tetap
harus diwaspadai. Apalagi, kelompok Santoso ini jauh sebelumnya sudah
berbaiat kepada Abu Bakar Al-Baghdadi, pimpinan ISIS.
Sydney Jones, direktur
Institute for Policy Analysis of Conflict, mengatakan, ada keinginan kuat
dari para pendukung ISIS di Indonesia dan Filipina untuk mendirikan semacam
provinsi ISIS di Asia Tenggara, yang meliputi Indonesia, Filipina, Malaysia,
dan Singapura.
Dari gambaran ini,
aksi terorisme di Jakarta memang sudah diprediksi. Kepala Badan Intelijen
Negara (BIN) Sutiyoso pun mengakui, aksi terorisme ISIS memang telah lama
diduga akan terjadi di Indonesia. Tapi kapan? Itulah kesulitannya, kata
Sutiyoso.
Itulah sebabnya,
Wakapolri Komjen Budi Gunawan yakin betul aksi terorisme Jakarta itu
didalangi Bahrun Naim --salah seorang warga Indonesia yang telah menjadi
anggota ISIS dan berambisi untuk menjadi pimpinan ISIS di Asia Tenggara.
Lingkaran Survei
Indonesia (LSI) dalam laporan surveinya pada 19 November 2015 menyatakan,
86,11 persen rakyat Indonesia mengaku khawatir jaringan ISIS menjadikan
Indonesia sebagai target serangan berikutnya setelah Paris. Empat alasan
mendasari kekhawatiran itu.
Pertama, gencarnya
berita terorisme oleh ISIS di Indonesia yang dikaitkan dengan gerakan Islam
radikal setempat. Kedua, sebelum ini peristiwa terorisme sudah kerap terjadi
di Indonesia dan pemerintah belum berhasil membasmi hingga ke akar-akarnya.
Ketiga, faktor ekonomi
yang labil dan memburuk yang menyebakan banyak orang Indonesia frustrasi dan
akibatnya bergabung dengan ISIS melakukan aksi terorisme. Faktor ketiga ini,
menurut LSI, diyakini 83,78 persen responden. Keempat, fenomena menguatnya
radikalisme dan sektarianisme di Indonesia belakangan ini.
Ada 59,62 persen
responden khawatir menguatnya radikalisme dan sektarianisme ini bisa memicu
aksi terorisme. Meski jumlah respondennya hanya 600 orang, tapi survei
tersebut cukup memberikan gambaran tentang "sikap dan perasaan"
bangsa Indonesia terhadap ISIS.
Empat alasan di atas
mungkin masih bisa diperdebatkan, tapi kekhawatiran terhadap ancaman ISIS di
Indonesia tetap sulit dinihilkan. Kekhawatiran ancaman ISIS bila ditarik ke
belakang serupa dengan kekhawatiran masyarakat terhadap ancaman DI/NII (Darul
Islam/Negara Islam Indonesia) zaman Kartosoewirjo dan kelompok Mujahidin
(Afghanistan). DI/NII pernah menimbulkan aksi perampokan dan pembunuhan di
Malangbong, Garut, pada 1960-an, kemudian pembunuhan wakil rektor UNS di Solo
pada 1979.
Selanjutnya, aksi-aksi
terorisme oleh kelompok Mujahidin (yang berafiliasi dengan gerakan NII)
menjelang dan awal 2000-an. Kelompok Mujahidin dengan tokoh-tokohnya Abu
Bakar Ba'asyir, Imam Samudera, Amrozi, Umar Patek, Dulmatin, baik secara
langsung maupun tidak langsung, terlibat aksi terorisme di Bali, Kedutaan
Australia, Hotel JW Marriott, Hotel Ritz Carlton, dan sejumlah pengeboman
gereja.
Kelompok Mujahidin ini
sebagian di antaranya alumni perang Afghanistan. Jumlah mereka, menurut
catatan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Lakip), Jakarta, sekitar 600
orang. Dengan jumlah 600 orang saja, kelompok ini bisa menimbulkan kecemasan
di mana-mana, mulai di ibu kota sampai kota-kota kecil di luar Jawa.
Jika aksi 600
mujahidin (alumni Afghanistan) saja menimbulkan kecemasan luar biasa,
bagaimana dengan ribuan alumni ISIS yang pernah terlibat perang langsung di
Irak dan Suriah jika mereka kembali ke Indonesia? Dari gambaran itu,
kecemasan masyarakat terhadap ancaman ISIS seperti dilansir survei LSI sangat
beralasan. Apalagi, kehadiran ISIS membawa harapan kemunculan kembali sistem
khilafah yang selama ini diidam-idamkan oleh kelompok radikal Islam di
seluruh dunia.
Itulah sebabnya,
dukungan terhadap ISIS terus membesar. Baiat dan dukungan terhadap khalifah
Abu Bakar al-Baghdadi datang dari tokoh-tokoh Alqaidah, seperti Syaikh Anas
Ali Al-Naswan (Dewan Syariah Alqaidah Afghanistan), Syaikh Abdullah Osman
(Dewan Syariah Alqaidah Islamiyah Maghrib (AQIM), dan kelompok Jabhah Nushrah
wilayah Damaskus.
Dukungan juga datang
dari kelompok radikal di Yaman, Mindanao di Filipina Selatan, Boko Haram di
Afrika, dan as-Shabab di Somalia.
Di Indonesia, dukungan
datang dari Khilafatul Muslimin yang dipimpin Abdul Kadir Baraja, kelompok
Bima, kelompok Sulawesi Selatan, kelompok Tangerang, Malang, Bekasi, Serpong,
Solo, dan narapidana teroris di Pulau Nusa Kambangan (Mufid, 2015).
Peristiwa Jakarta
hendaknya menyadarkan pemerintah bahwa terorisme masih terus mengancam kita.
Program deradikalisasi yang selama ini dilakukan tampaknya perlu diperdalam
lagi materinya --terutama yang terkait ayat-ayat peperangan dengan
kemanusiaan dalam Alquran dan sunah Rasul. Ini karena bagaimana pun, aksi
terorisme ISIS bukan sekadar ambisi kekuasaan, tapi juga ideologis.
Karena itu, di samping
pemberantasan terorisme dengan instrumen fisik (senjata), penting pula
pemberantasan terorisme dengan instrumen ideologis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar