Selasa, 19 Januari 2016

BUMN dan PDI Perjuangan

BUMN dan PDI Perjuangan

Ashadi Siregar  ;   Pengamat Media dan Pengajar Jurnalism; Bermukim di Sleman

                                                       KOMPAS, 18 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

”BUMN memiliki fungsi dan alat untuk meningkatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tapi, berbeda dari yang terjadi saat ini, BUMN hanya diperlakukan seperti korporasi swasta yang mengedepankan bisnis semata,” katanya dalam pidato pembukaan Rapat Kerja Nasional I PDI Perjuangan Tahun 2016 di Jakarta, Minggu (10/1).

Ini pernyataan ketua umum suatu partai, tetapi oleh media difokuskan seperti dalam teras beritanya: Di tengah mencuatnya isu perombakan Kabinet Kerja belakangan ini, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri mengungkit perlunya badan usaha milik negara dikembalikan ke peran pentingnya sesuai konstitusi (Kompas, 11/1/2016, hal 2).

Boleh jadi memang sedang berkembang isu di kalangan publik, atau malah media ini punya agenda set dalam hal perombakan kabinet. Kiranya isu publik atau isu media ini tentumembuat ketar-ketir menteri yang tidak punya tulang-punggung kuat dari partai pendukung pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Tetapi, apa betul pergantian menteri sampai perlu membawa-bawa konstitusi, atau lebih jauh memang menjadi perhatian publik?

Bagi publik, yang penting adalah pemerintahan yang berperhatian pada kepentingan publik (public interest). Media yang diberi napas hidup oleh publiknya tentulah juga akan berorientasi yang sama. Karena itu, yang perlu mendapat perhatian sebenarnya bukan tentang Kementerian BUMN, melainkan berkaitan dengan posisi badan usaha milik negara (BUMN) dalam konteks konstitusi, yaitu Pasal 33 yang berkaitan dengan kemakmuran rakyat, sebagaimana terkandung dalam pidato Ketua Umum PDI-P itu. Urusan kementerian biar hak prerogatif presiden, sebagaimana biasa dapat disitir dari pernyataan sejumlah elite politik yang kepingin menjadi menteri.

Perspektif ideologis dari suatu pidato politik yang disampaikan dalam forum besar PDI-P tentu tak sampai mengurusi aspek teknikalitas dalam penggantian pembantu presiden. Biarlah kader dan anggota partainya, khususnya, dan publik, umumnya, menjadikan wacana dari pernyataan ketua partai itu sebagai bagian diskusi publik. Media pada dasarnya perpanjangan dari wacana yang berkembang di ruang publik. Artinya, bagaimana kemakmuran rakyat yang bertolak dari kepentingan publik dapat menjadi fokus sebagai isu publik bagi media pers.

Pemberitaan BUMN

Bagaimana media memberitakan BUMN selama ini? Setiap fakta, termasuk yang menyangkut BUMN, akan berhadapan dengan birokrasi dalam kerja keredaksian media pers dengan pola kompartemental. Ini sesuai dengan sifat fakta yang diurusnya, dapat dirangkum sebagai fakta politik, ekonomi, dan sosial. Fakta politik melalui interaksi dalam lingkup negara (state) melalui aktor negara ataupun kuasi negara; fakta ekonomi melalui korporasi dan aktor kapitalisme pasar (market capitalism); serta fakta sosial dari kehidupan kewargaan (masyarakat sipil).

Setiap media menetapkan standar kelayakan untuk setiap fakta yang dapat diberitakan. Maka, berita tentang BUMN yang berasal dari entitas politik ditempatkan dalam kerangka politik pula. Memang betul, Menteri BUMN adalah jabatan politik. Tetapi, BUMN adalah entitas yang mencakup ranah pertanian, pertambangan, manufaktur, sampai keuangan. Karena itu, membicarakannya dalam konteks konstitusi, bukan sebatas nasibnya si menteri, melainkan seluruh ranah yang diurus ratusan perusahaan milik negara itu.

Apalagi, jika dipahami bahwa perusahaan BUMN memiliki varian karakteristik yang berbeda berdasarkan kapitalisasinya, mulai dari yang sudah listing sebagai perusahaan terbuka (go public), atau sepenuhnya milik negara, atau pemilikan minoritas negara. Dengan karakteristik semacam ini, pernahkah BUMN dilihat dalam kerangka konstitusi termasuk pada era pemerintahan Megawati? Keberadaan BUMN tidak sederhana untuk mengaitkan dengan perspektif ideologi kemakmuran rakyat mengingat sudah mengguritanya BUMN sebagai perusahaan dengan kewajiban profitabilitasnya.

Dalam kaitan dengan media pers, dinamika BUMN biasa ditemukan dalam rubrik ekonomi. Namun, jika dicermati rubrik ekonomi di berbagai media pers, fakta ekonomi yang diberitakan pada dasarnya menurut standar kelayakan atas signifikansi ranah ini bertolak dari sisi dinamika kapitalisasi. Dengan kata lain, kendati media biasa menabalkan diri sebagai institusi yang berorientasi kepada publik, sudut pandangnya biasa menuruti pendefinisian dunia korporasi.

Bukan salah pers jika pemberitaan tentang BUMN ditempatkan dalam kerangka korporasi yang berorientasi profit. Jabatan chief executive officer (CEO) dari ratusan BUMN yang bergengsi biasanya harus diduduki oleh profesional yang dipandang sukses menjalankan korporasi swasta. Sukses dalam dunia korporasi swasta adalah melalui indikator kapitalisasi dan profitabilitas.

Sejak era Orde Baru sampai sekarang, parameter keberadaan BUMN tidak dalam kerangka UUD, melainkan dalam bahasa ekonomi kapitalisme. Sementara semangat sosialisme pendiri republik Bung Hatta yang diimplementasikan dalam Pasal 33 Konstitusi hanya sayup terdengar. Bahwa ternyata semangat Bung Hatta ini sejalan dengan Marhaenisme yang ingin dihidupkan oleh PDI-P melalui rakernas I PDI-P Tahun 2016, patut disyukuri. Tetapi, ini menjadi persoalan sebab parpol yang menyebut dirinya berorientasi pada wong cilik ini seperti baru tersentak bangun dan kemudian tergeragap melihat kenyataan dunia BUMN, lalu mengigau tentang konstitusi.

Ekonomi konstitusi dan ”public utility”

Sekarang marilah lihat dari sudut pandang publik. Aksi korporasi betapapun besar investasi dan dinamika profitabilitasnya, tidak ada signifikansinya. Dari sisi kepentingan publik, signifikansi suatu fakta ekonomi bertolak dalam kerangka paham utilitarian adalah apa yang bernilai guna baginya, dalam hal ini menyentuh kesejahteraan hidupnya. Untuk itu, ekonomi yang relevan dapat difokuskan pada public utility, sejauh mana negara menaruh peduli urusan ini.

Secara populer, public utility diartikan sebagai penyelenggaraan pelayanan publik (public service) oleh perusahaan atau organisasi bisnis yang beroperasi berdasarkan aturan negara. Jadi, fungsinya di negara kapitalis sekalipun, ada aturan negara yang menjadikan perusahaan tidak berdasarkan dinamika kapitalisasi, tetapi demi kepentingan publik. Pasal 33 UUD pada dasarnya mengatur agar seluruh kekayaan negara digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Sebagai negara kesejahteraan (welfare state), prioritas ekonomi adalah untuk publik. Jika konstitusi menyebut kekayaan negara, dalam praksis ekonomi menuntut adanya usaha yang dijalankan public utility. Sayangnya, definisi kategoris public utility di negeri ini tidak jelas sehingga produk (dan jasa) yang didefinisikan sebagai keluaran usaha ini kabur juga.

Adanya istilah subsidi untuk produk listrik, misalnya, menyebabkan PLN bukan sebagai public utility. Begitu juga penyediaan air bersih diserahkan pada korporasi swasta. Atau gas tidak dialirkan, melainkan dikemas dalam tabung sehingga menjadi komoditas yang dijual secara umum dengan prinsip profitabel, dan secara khusus untuk gas tabung melon yang disubsidi. Pembedaan tajam antara produk/jasa sebagai komoditas korporasi komersial dengan keluaran public utilitiy tidak pernah berkembang sebagai diskusi dalam kehidupan publik sebab media pers tidak menaruh perhatian soal ini.

Dari sini bolehlah PDI-P mulai menggulirkan reformasi pelayanan publik agar dapat diperjuangkan keluaran public utility melalui BUMN. Tentunya dengan memilah mana yang keluarannya yang secara kategoris sebagai public utility, mana yang memang sebagai komoditas yang terikat dengan parameter profitabilitas. Dengan demikian, media pers dapat memberitakan dunia BUMN dengan memberikan prioritas pada fakta ekonomi dalam perspektif kepentingan publiknya, bukan berdasarkan kriteria dunia korporasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar