Selasa, 19 Januari 2016

Pembunuh Itu Bernama Nikotin

Pembunuh Itu Bernama Nikotin

Ahmad Syafii Maarif  ;   Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
                                                       KOMPAS, 19 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sore, 14 Januari 2016, Tara Singh Bham, konsultan tentang tembakau asal Nepal, bersama tim Muhammadiyah Tobacco Control Center menemui saya di Yogyakarta. Tujuan mereka datang untuk meminta bantuan saya agar Pemerintah Indonesia memberikan perhatian khusus tentang bahaya nikotin, terutama bagi rakyat miskin dan anak-anak. Sahabat dari Nepal ini sejak 2009 menjadi konsultan Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC) dan telah berkeliling Nusantara dalam rangka mengumpulkan data tentang bahaya rokok bagi kesehatan manusia. Mereka meminta saya menulis surat kepada Presiden dengan tembusan kepada Wapres. Semua sudah saya laksanakan, dikirim via Syahrul Udjud, Staf Khusus Wakil Presiden, agar disampaikan kepada pemimpin negara kita itu.

Nikotin atau nicotine (bahasa Perancis) adalah zat beracun/narkotik tanpa warna yang terdapat dalam tembakau dan tumbuhan lain. Prijo Sidipratomo, Ketua Umum Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, menulis tentang bahaya rokok ini: ”Jumlah perokok aktif di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun, yang menurut Riset Kesehatan Dasar 2010 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, telah mencapai 34,7 persen dari total penduduk Indonesia. Kenaikan jumlah perokok diiringi dengan tingginya angka kematian yang disebabkan oleh penyakit-penyakit serius akibat rokok.” (Lihat Nanda Fauziy, Kita adalah Korban. Jakarta: Aliansi Masyarakat Korban Rokok Indonesia, 2014, hlm 10)

Peran negara

Tanpa peran negara, nonsens korban rokok ini bisa dikurangi karena sudah demikian masif menjangkiti masyarakat Indonesia. Korban terbesar adalah rakyat miskin dan anak-anak yang telah menobatkan salah satu pengusaha rokok menjadi orang terkaya nomor wahid di Indonesia dengan aset sekitar 15 miliar dollar AS. Apakah negara akan membiarkan rakyat miskin ini terus saja mati bergelimpangan dengan dalih pemasukan devisa dari industri maut ini?

Berdasarkan sumber penelitian yang dikumpulkan Tuan Tara, ternyata Indonesia pasar rokok terbesar ketiga di muka Bumi. Fakta ini telah dimanfaatkan secara maksimal oleh para taipan industri rokok di Indonesia sejak abad lalu tanpa mempertimbangkan efek maut yang menimpa rakyat perokok. Tak kurang Rp 11 triliun dana harus dikeluarkan sebagai biaya kesehatan akibat rokok. Angka statistik ini sungguh mengerikan: 67,4 persen pria dan 6,9 persen perempuan Indonesia saat ini menggunakan tembakau dalam bentuk rokok dan rokok elektrik. Bahaya maut yang diakibatkan rokok ini saban tahun di Indonesia sudah berada pada angka 235.000, jauh melampaui kematian akibat narkoba, HIV/AIDS, dan kecelakaan lalu lintas. Umumnya orang tak sadar karena kematian akibat rokok berlangsung pelan tetapi pasti. Tentu ada perkecualian orang yang memang kebal terhadap rokok, tetapi jumlahnya kecil.

Bagaimana dengan rakyat miskin? Inilah angkanya: sekitar 11,5 persen pendapatan keluarga miskin adalah untuk rokok dan hanya sekitar 4 persen untuk biaya pendidikan. Hampir 80 persen rakyat Indonesia telah mulai merokok sejak umur di bawah 19 tahun. Saya sendiri menyaksikan tak sedikit murid SD di lingkungan Perumahan Nogotirto telah biasa mengepulkan asap rokok itu. Orang tua dan masyarakat seperti tak hirau dengan kepulan asap maut ini. Tidak saja bagi perokok aktif, tetapi juga bagi perokok pasif yang berada di lingkungan perokok itu.

Di lingkungan negara-negara ASEAN dan negara-negara Organisasi Konferensi Islam, Indonesia jauh tertinggal dalam hal pengendalian tembakau. Negara-negara di atas telah menandatangani Framework Convention on Tobacco (FCTC) dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) PBB tentang pengendalian tembakau berdasarkan riset.

Maka, jika negara Indonesia tidak ingin melihat rakyatnya terus saja menjadi korban rokok, perlu langkah berikut: (1) menaikkan cukai rokok sekitar 70 persen dari harga ecer untuk produksi tembakau sejalan dengan standar Bank Dunia dan WHO; (2) membuat regulasi pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok; (3) regulasi lain yang secara berangsur dapat menginsafkan rakyat Indonesia untuk berhenti merokok dan petani tembakau secara berangsur mengalihkan usahanya ke jenis tanaman lain sebagai sumber gizi dan yang berguna bagi kesehatan.

Barangkali tidak seorang pun dari para taipan pemilik pabrik rokok yang menjadi pecandu rokok karena mereka sangat paham tentang efek kematiannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar