Sabtu, 16 Januari 2016

Penolakan Lapindo dan Problem Analisis Risiko

Penolakan Lapindo dan Problem Analisis Risiko

Abdul Rohim Tualeka  ;   Mengajar Higiene Industri Kimia Minyak dan Gas Bumi di FKM Unair; Penulis Buku ”Analisis Risiko di Lingkungan Kerja”
                                                      JAWA POS, 11 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SEBENARNYA, bila PT Lapindo Brantas memahami langkah-langkah analisis risiko sebelum pelaksanaan pengeboran, kasus penolakan pengeboran lagi oleh Dirjen Migas, SKK Migas, gubernur Jatim, dan masyarakat sekitar area pengeboran tidak akan terjadi. Sebab, analisis risiko merupakan upaya menilai risiko yang akan terjadi saat pengeboran, diikuti manajemen risiko untuk melakukan pengendalian terhadap risiko-risiko yang muncul serta komunikasi risiko.

Analisis risiko, meliputi risk assessment, risk management, dan risk communication, sesungguhnya merupakan keharusan dilakukan semua industri yang memiliki dampak besar dan penting. Itu mengacu pada Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009. Dalam konteks risk assessment terhadap semua aktivitas pengeboran oleh Lapindo di Sidoarjo, tingkat risiko yang diperoleh masuk kategori tinggi (10) yang berasal dari peluang/likelihood jarang (2) dan konsekuensi berat (5).

Peluang terulangnya kasus lumpur seperti pada 2006 yang menyembur sampai kini jarang, bahkan sangat jarang, terjadi sehingga nilainya rendah. Sedangkan konsekuensi akibat kejadian 2006 adalah berat karena banyak kerugian yang diderita masyarakat. Baik moril maupun materiil.

Karena tingginya risiko pengeboran oleh Lapindo disebabkan konsekuensi, dalam melakukan manajemen risiko, sasaran utamanya adalah konsekuensi yang bisa dilakukan dengan cara mitigasi. Tujuannya adalah menurunkan konsekuensi besar menjadi konsekuensi kecil.

Secara teori terdapat beberapa upaya mitigasi. Yaitu dengan diversifikasi (menempatkan aset di beberapa tempat sehingga ketika salah satu tempat terkena musibah tidak akan menghabiskan semua aset yang dimiliki), penggabungan (merger), serta pengalihan risiko (dengan asuransi dan outsourcing).

Diversifikasi bisa saja dilakukan Lapindo. Sebab, aset lokasi untuk pengeboran tersebar di hampir semua pantura (pantai utara) Jawa Timur setelah Surabaya. Namun, belajar dari hasil riset kami pada 2010 terhadap PT Petrojava yang memiliki lokasi pengeboran di utara Kangean, Madura, di mana lebih dari 90 persen warga menolak adanya pengeboran dengan alasan terbanyak karena khawatir kasusnya sama dengan semburan lumpur di Porong, aset-aset Lapindo di berbagai lokasi di luar Sidoarjo juga berisiko besar mengalami penolakan warga. Juga bakal sulit mendapatkan perusahaan asuransi yang bersedia meng- cover dalam pelaksanaan pengeboran ini karena sudah tahu risiko gagalnya tinggi.

Dari semua alternatif mitigasi, yang paling pas, walaupun juga mengandung konsekuensi berat, adalah outsourcing. Yaitu, asesmen dan pengeboran dilakukan industri pengeboran asing yang memiliki reputasi internasional.
Pola tersebut pernah ditekankan kepada Lapindo di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), persisnya sekitar 2011. Waktu itu pemerintah memberikan rekomendasi kepada para ahli dari Rusia untuk melakukan asesmen atau penilaian titik-titik yang perlu dibor Lapindo.

Namun, perkembangan selanjutnya tidak diketahui, termasuk pengeborannya. Tapi, dengan kejadian akan ada pengeboran lagi yang mendapat protes masyarakat sekarang, indikasinya kuat bahwa pola yang diajukan pemerintahan SBY tersebut tidak jalan.

Tentu semua langkah komunikasi risiko harus dilakukan mereka yang mendapat kepercayaan tinggi dari masyarakat, misalnya tokoh-tokoh masyarakat. Berdasar hasil riset Kolluru (2000), dokter, kelompok lingkungan, dan teman/sederajat merupakan sumber informasi yang paling dipercaya. Mereka dapat menjadi komunikator risiko yang baik untuk mengubah persepsi masyarakat dari menolak menjadi setuju.

Seperti diketahui, penolakan hampir semua masyarakat Sidoarjo terhadap Lapindo untuk mengebor lagi dilandasi trauma. Trauma itu adalah ”luka” di bawah sadar sehingga penyembuhannya butuh waktu lama.

Dari sini akhirnya Lapindo harus menata ulang strategi pengeboran yang bisa dilakukan dengan menggunakan strategi diversifikasi, dipadukan dengan strategi outsourcing. Jika dibandingkan dengan lokasi lain, tentu risikonya tidak setinggi di Sidoarjo. Sehingga komunikasi risiko juga tidak sesulit seperti pada masyarakat sekitar lokasi pengeboran pertama yang kadung trauma.

Agar lebih berfokus pada analisis risiko, sudah waktunya Lapindo membuat perencanaan pengadaan manajemen baru, yaitu manajer risiko. Di luar negeri seperti Amerika Serikat, manajer risiko di perusahaan-perusahaan besar sudah jamak ditemukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar