Sabtu, 16 Januari 2016

Risiko di Balik Jatuhnya Harga Minyak

Risiko di Balik Jatuhnya Harga Minyak

Sunarsip  ;   Ekonom The Indonesia Economic Intelligence
                                                      JAWA POS, 11 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

MEMASUKI 2016, harga minyak kembali melanjutkan tren penurunan. Tercatat, pada akhir pekan lalu (8 Januari 2016), harga minyak Brent ditutup di level USD 33,40 per barel, WTI di level USD 33,25 per barel, dan OPEC Basket lebih rendah lagi di level USD 27,85 per barel. Sementara itu, pada akhir 2015, harga minyak WTI dan Brent berada di level USD 35 per barel. Berdasar catatan dari Wall Street Journal (31 Desember 2015), selama 2015 harga minyak Brent dan WTI turun masing-masing 35 persen dan 30 persen.

Terkait dengan kejatuhan harga minyak itu, pada Maret 2015, majalah The Economist membuat analisis berjudul Everything You Want to Know about Falling Oil Prices. Dalam analisis tersebut, The Economist mengatakan, harga minyak berpeluang jatuh ke level USD 20 per barel.

Argumentasinya, pertama, karena OPEC enggan menurunkan produksi. Kedua, pemerintah Amerika Serikat (AS) mungkin akan me- review kembali kebijakan pasokan minyak di dalam negeri.

Tampaknya, analisis The Economist tersebut kini memang terbukti. Sebab, faktanya, pelemahan harga minyak yang terjadi saat ini salah satunya berasal dari faktor OPEC dan perkembangan kebijakan pasokan minyak di AS.

OPEC, misalnya, hingga kini belum mencapai kesepakatan terkait dengan kebijakan pemangkasan produksi dan penetapan batas atas produksi (ceiling production) minyak. Kini OPEC praktis tidak memiliki kontrol untuk mengendalikan produksi minyak anggotanya. 

Arab Saudi, sejak November 2014, secara tegas menyatakan tidak akan memangkas produksinya kecuali Iran, Iraq, dan Rusia juga bersedia melakukan hal yang sama. Alasan penolakan Arab Saudi cukup masuk akal.

Sebab, akibat penetrasi pasar yang dilakukan Iran, Iraq, dan Rusia, kini pangsa pasar Arab Saudi di Asia Pasifik mengalami penurunan, yaitu dari sekitar 26 persen (2006) menjadi 23 persen (2014). Tentu Arab Saudi tidak mau kehilangan pangsa pasar lebih besar lagi akibat pemangkasan produksinya tersebut.

Pada 15 Desember 2015, Kongres AS telah menyetujui untuk mencabut larangan ekspor minyak AS yang telah berlaku selama 40 tahun. Pencabutan larangan ekspor minyak itu diambil untuk mengurangi kerugian yang dialami perusahaan migas AS lantaran jatuhnya harga minyak. Bila ekspor minyak AS itu terealisasi, diperkirakan persaingan pasokan minyak di luar pasar AS akan semakin ramai. Meski kebijakan tersebut tidak mudah direalisasikan, itu sudah menimbulkan kekhawatiran terjadinya oversupply di pasar minyak di luar AS.

Di luar dua faktor yang ditengarai The Economist di atas, kini muncul faktor baru yang juga berpotensi menurunkan harga minyak. Yaitu, berakhirnya sanksi ekonomi Iran yang dijalaninya sejak 2011.

Diperkirakan, sanksi ekonomi Iran itu akan efektif pada kuartal pertama 2016 ini. Seiring dengan pencabutan sanksi ekonomi, Iran akan memanfaatkannya untuk menaikkan produksi minyaknya ke level normal, di atas 3 juta barel per hari (bph).

Dalam laporannya, IMF Executive Board Concludes 2015 Article IV Consultation with Iran yang dikeluarkan pada 21 Desember 2015, IMF memproyeksikan tambahan produksi minyak Iran tersebut akan mendorong pelemahan harga minyak. Dalam laporan itu, IMF memproyeksikan harga minyak dapat menyentuh level USD 5–15 per barel.

IMF tidak menyebutkan bahwa perkiraan tersebut berlaku untuk 2016. Namun, media telanjur menafsirkan proyeksi harga itu berlaku di 2016. Padahal, dalam proyeksinya terhadap ekonomi Iran, laporan IMF tersebut menggunakan asumsi harga minyak USD 50,7 per barel (2015/2016).

Saya melihat bahwa berlanjutnya penurunan harga minyak ini lebih sebagai risiko, meski atas kondisi ini terdapat pula sisi positifnya. Yaitu, penurunan harga minyak akan mengakibatkan harga BBM dan produk minyak lainnya turun pula. Kondisi itu dapat mendorong konsumsi masyarakat dan industri menjadi lebih bergairah.

Bagi Indonesia, mata rantai dari kejatuhan harga minyak tersebut cukup kompleks. Sebab, jatuhnya harga minyak itu dapat berimplikasi luas. Pertama, penurunan harga minyak akan memengaruhi posisi fiskal APBN kita. Pada APBN 2016, asumsi harga minyak ditetapkan USD 50 per barel dan lifting minyak sebesar 830 ribu bph.

Dengan asumsi tersebut, penerimaan dari migas pada APBN 2016 ditargetkan Rp 120 triliun. Dalam analisis sensitivitasnya, APBN 2016 akan diuntungkan bila realisasi ICP lebih tinggi daripada asumsi yang ditetapkan pada APBN 2016.

Sebaliknya, APBN akan dirugikan bila realisasi ICP lebih rendah daripada asumsi yang ditetapkan. Dengan demikian, kalau harga minyak turun, katakanlah ke level USD 20 per barel, pendapatan negara pasti akan menurun signifikan.

Kedua, harga minyak memiliki korelasi yang kuat dengan harga komoditas 
lainnya. Studi McKinsey (2013) menyebutkan bahwa sejak 2000, harga komoditas mulai menunjukan korelasi yang signifikan dengan harga minyak.
Peningkatan korelasi tersebut terutama terjadi sejak 2005. Artinya, kalau harga minyak turun, harga komoditas lainnya juga akan turun. Sebagai negara yang ekspor komoditasnya sangat besar, penurunan harga itu tentu akan berdampak pada menurunnya ekspor. Padahal, kita tahu bahwa booming konsumsi yang kita nikmati di era 2000-an juga disebabkan booming sektor komoditas.

Ketiga, rendahnya harga migas akan mendorong kontraktor hulu migas menurunkan aktivitas produksinya. Dan bila produksi migas turun, pendapatan pemerintah dari sisi migas juga turun.

Tidak berhenti di situ, rendahnya produksi migas mengakibatkan stok bahan baku kilang minyak untuk memproduksi BBM juga berkurang. Akibatnya, kebutuhan BBM di dalam negeri harus dipenuhi dari impor. Kondisi itu dapat menyebabkan kontraktor migas kehilangan gairah berinvestasi, baik untuk kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi migas.

Karena itu, pemerintah tetap perlu menyiapkan berbagai langkah untuk mengantisipasi kemungkinan berlanjutnya penurunan harga minyak tersebut. Salah satu caranya adalah mendorong pertumbuhan sektor hilir (industri dan rumah tangga) pengguna energi untuk mengoptimalkan manfaat positif dari penurunan harga minyak itu.

Penurunan harga minyak harus dimanfaatkan untuk menggenjot sektor industri. Sebagaimana yang dialami AS, penurunan harga minyak juga dimanfaatkan untuk meningkatkan konsumsi masyarakat. Kelebihan biaya energy juga dapat mendorong tabungan (saving) sehingga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan investasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar