Risiko di Balik Jatuhnya Harga Minyak
Sunarsip ;
Ekonom The Indonesia Economic Intelligence
|
JAWA
POS, 11 Januari 2016
MEMASUKI 2016,
harga minyak kembali melanjutkan tren penurunan. Tercatat, pada akhir pekan
lalu (8 Januari 2016), harga minyak Brent ditutup di level USD 33,40 per
barel, WTI di level USD 33,25 per barel, dan OPEC Basket lebih rendah lagi di
level USD 27,85 per barel. Sementara itu, pada akhir 2015, harga minyak WTI
dan Brent berada di level USD 35 per barel. Berdasar catatan dari Wall Street Journal (31 Desember
2015), selama 2015 harga minyak Brent dan WTI turun masing-masing 35 persen
dan 30 persen.
Terkait dengan
kejatuhan harga minyak itu, pada Maret 2015, majalah The Economist membuat analisis berjudul Everything You Want to Know about Falling Oil Prices. Dalam
analisis tersebut, The Economist mengatakan,
harga minyak berpeluang jatuh ke level USD 20 per barel.
Argumentasinya,
pertama, karena OPEC enggan menurunkan produksi. Kedua, pemerintah Amerika
Serikat (AS) mungkin akan me- review kembali kebijakan pasokan minyak di
dalam negeri.
Tampaknya,
analisis The Economist tersebut
kini memang terbukti. Sebab, faktanya, pelemahan harga minyak yang terjadi
saat ini salah satunya berasal dari faktor OPEC dan perkembangan kebijakan
pasokan minyak di AS.
OPEC,
misalnya, hingga kini belum mencapai kesepakatan terkait dengan kebijakan
pemangkasan produksi dan penetapan batas atas produksi (ceiling production) minyak. Kini OPEC praktis tidak memiliki
kontrol untuk mengendalikan produksi minyak anggotanya.
Arab Saudi,
sejak November 2014, secara tegas menyatakan tidak akan memangkas produksinya
kecuali Iran, Iraq, dan Rusia juga bersedia melakukan hal yang sama. Alasan
penolakan Arab Saudi cukup masuk akal.
Sebab, akibat
penetrasi pasar yang dilakukan Iran, Iraq, dan Rusia, kini pangsa pasar Arab
Saudi di Asia Pasifik mengalami penurunan, yaitu dari sekitar 26 persen
(2006) menjadi 23 persen (2014). Tentu Arab Saudi tidak mau kehilangan pangsa
pasar lebih besar lagi akibat pemangkasan produksinya tersebut.
Pada 15
Desember 2015, Kongres AS telah menyetujui untuk mencabut larangan ekspor
minyak AS yang telah berlaku selama 40 tahun. Pencabutan larangan ekspor
minyak itu diambil untuk mengurangi kerugian yang dialami perusahaan migas AS
lantaran jatuhnya harga minyak. Bila ekspor minyak AS itu terealisasi,
diperkirakan persaingan pasokan minyak di luar pasar AS akan semakin ramai.
Meski kebijakan tersebut tidak mudah direalisasikan,
itu sudah menimbulkan kekhawatiran terjadinya oversupply di pasar minyak di luar
AS.
Di luar dua
faktor yang ditengarai The Economist
di atas, kini muncul faktor baru yang juga berpotensi menurunkan harga
minyak. Yaitu, berakhirnya sanksi ekonomi Iran yang dijalaninya sejak 2011.
Diperkirakan,
sanksi ekonomi Iran itu akan efektif pada kuartal pertama 2016 ini. Seiring
dengan pencabutan sanksi ekonomi, Iran akan memanfaatkannya untuk menaikkan
produksi minyaknya ke level normal, di atas 3 juta barel per hari (bph).
Dalam
laporannya, IMF Executive Board
Concludes 2015 Article IV Consultation with Iran yang dikeluarkan pada 21
Desember 2015, IMF memproyeksikan tambahan produksi minyak Iran tersebut akan
mendorong pelemahan harga minyak. Dalam laporan itu, IMF memproyeksikan harga
minyak dapat menyentuh level USD 5–15 per barel.
IMF tidak
menyebutkan bahwa perkiraan tersebut berlaku untuk 2016. Namun, media
telanjur menafsirkan proyeksi harga itu berlaku di 2016. Padahal, dalam
proyeksinya terhadap ekonomi Iran, laporan IMF tersebut menggunakan asumsi
harga minyak USD 50,7 per barel (2015/2016).
Saya melihat
bahwa berlanjutnya penurunan harga minyak ini lebih sebagai risiko, meski
atas kondisi ini terdapat pula sisi positifnya. Yaitu, penurunan harga minyak
akan mengakibatkan harga BBM dan produk minyak lainnya turun pula. Kondisi
itu dapat mendorong konsumsi masyarakat dan industri menjadi lebih bergairah.
Bagi
Indonesia, mata rantai dari kejatuhan harga minyak tersebut cukup kompleks.
Sebab, jatuhnya harga minyak itu dapat berimplikasi luas. Pertama, penurunan
harga minyak akan memengaruhi posisi fiskal APBN kita. Pada APBN 2016, asumsi
harga minyak ditetapkan USD 50 per barel dan lifting minyak sebesar 830 ribu
bph.
Dengan asumsi
tersebut, penerimaan dari migas pada APBN 2016 ditargetkan Rp 120 triliun.
Dalam analisis sensitivitasnya, APBN 2016 akan diuntungkan bila realisasi ICP
lebih tinggi daripada asumsi yang ditetapkan pada APBN 2016.
Sebaliknya, APBN
akan dirugikan bila realisasi ICP lebih rendah daripada asumsi yang
ditetapkan. Dengan demikian, kalau harga minyak turun, katakanlah ke level
USD 20 per barel, pendapatan negara pasti akan menurun signifikan.
Kedua, harga
minyak memiliki korelasi yang kuat dengan harga komoditas
lainnya. Studi
McKinsey (2013) menyebutkan bahwa sejak 2000, harga komoditas mulai
menunjukan korelasi yang signifikan dengan harga minyak.
Peningkatan
korelasi tersebut terutama terjadi sejak 2005. Artinya, kalau harga minyak turun,
harga komoditas lainnya juga akan turun. Sebagai negara yang ekspor
komoditasnya sangat besar, penurunan harga itu tentu akan berdampak pada
menurunnya ekspor. Padahal, kita tahu bahwa booming konsumsi yang kita
nikmati di era 2000-an juga disebabkan booming sektor komoditas.
Ketiga,
rendahnya harga migas akan mendorong kontraktor hulu migas menurunkan
aktivitas produksinya. Dan bila produksi migas turun, pendapatan pemerintah
dari sisi migas juga turun.
Tidak berhenti
di situ, rendahnya produksi migas mengakibatkan stok bahan baku kilang minyak
untuk memproduksi BBM juga berkurang. Akibatnya, kebutuhan BBM di dalam
negeri harus dipenuhi dari impor. Kondisi itu dapat menyebabkan kontraktor
migas kehilangan gairah berinvestasi, baik untuk kegiatan eksplorasi maupun
eksploitasi migas.
Karena itu,
pemerintah tetap perlu menyiapkan berbagai langkah untuk mengantisipasi
kemungkinan berlanjutnya penurunan harga minyak tersebut. Salah satu caranya
adalah mendorong pertumbuhan sektor hilir (industri dan rumah tangga)
pengguna energi untuk mengoptimalkan manfaat positif dari penurunan harga
minyak itu.
Penurunan harga minyak harus
dimanfaatkan untuk menggenjot sektor industri. Sebagaimana yang dialami AS,
penurunan harga minyak juga dimanfaatkan untuk meningkatkan konsumsi
masyarakat. Kelebihan biaya energy
juga dapat mendorong tabungan (saving)
sehingga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan investasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar