Watak
dan Tingkah Laku Politik
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga
Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 15 Desember 2014
Watak,
sifat, dan tingkah laku itu merupakan tiga unsur penting di dalam kepribadian
manusia. Ketiganya tidak sama persis. Tapi masing-masing memiliki hubungan
erat satu sama lain.
Boleh
jadi tiap unsur tadi saling memperkuat. Dengan begitu, ketiganya tak mungkin
merupakan suatu jalinan makna yang kuat. Watak merupakan ciri utama
kepribadian yang di dalamnya mengandung unsur sifat. Sebaliknya, sifat,
membentuk apa yang disebut watak tadi. Sifat relatif mudah berubah oleh
pengaruh-pengaruh yang datang dari luar. Tetapi watak tidak.
Watak
lebih solid, lebih keras, lebih menggumpal di dalam kepribadian manusia
sehingga sesuatu yang sudah merupakan watak, sangat sukar berubah. Tak
mengherankan orang Jawa memiliki lelucon getir: watuk, yaitu batuk, bisa
berubah, bisa disembuhkan. Tapi watak tidak. Ini ungkapan untuk menyindir
seseorang, yang tingkah lakunya buruk, dan menyimpang dari adat.
Dalam
kearifan Melayu, orang seperti itu dicap tidak tahu adat. Bisa juga disebut
tidak beradat. Bahkan, dalam tingkat yang lebih tinggi, lebih serius, dia
disebut tidak beradab. Alias biadab. Apa lagi yang lebih buruk dari sebutan
ini? Kurang lebih, ini gambaran tentang watak, maksudnya watak buruk, yang
tak beradab atau biadab, yang sama sekali tak bisa disembuhkan oleh ahli
psikologi terkemuka atau psikiater yang paling hebat sekalipun.
Mungkin
ada dukun, saya tidak tahu, yang memiliki tuah sangat besar, yang bisa
menolongnya, dan mengurangi sedikit keburukannya. Tapi dukun pun dugaan saya
tak berdaya mengubahnya secara total.
Bahkan
andaikata dukun dan ahli-ahli rohani terkemuka yang memiliki tuah besar itu
bergabung menjadi satu, dan meruwat orang dengan jenis watak seperti itu,
mungkin mereka pun akan gagal mengubahnya. Ringkasnya, ruwatan itu mungkin
akan menjumpai kegagalan karena telah terlalu buruknya watak itu. Watak buruk
membuat sebutan-sebutan buruk telah menempel pada kepribadiannya.
Apa
yang aneh bila watak buruk itu diberi sebutan buruk? Mereka, dalam adat, yang
memberi sebutan itu hanya menyebut barang yang sudah ada. Dan mereka tidak
mengada-ada. Begitu pula mereka yang melakukan ruwatan tadi. Mereka hanya
prihatin melihat kondisi kejiwaan seseorang, lalu bertindak. Boleh jadi
tindakan mereka itu sebuah sinisme, sikap satire, atau ejekan yang sangat menikam.
Boleh
jadi mereka tak bermaksud menyembuhkannya, dan sama sekali tak terpanggil
untuk melakukannya. Kalau mereka tak terganggu oleh fenomena kepribadian
macam itu, bisa dipastikan mereka tak bakal berbuat apapun. Mereka tak
berniat mengejek, mengusik, atau menyindir orang lain bila di sekitarnya tak
ada orang yang menampilkan diri seperti itu. Atau tak ada jenis tingkah laku
seperti itu. Tingkah laku itu begitu meresahkan orang lain di sekitarnya.
Apa
makna ketokohan seseorang, yang di masa lalu begitu gigih menampilkan diri
agar dikenal sebagai pemimpin umat, tapi kini tampil jenis tingkah laku lain,
yang disebut dengan segenap keburukan tadi? Kita tidak tahu apa maknanya dulu
itu. Dulu kita menyebutnya sebuah kesungguhan dalam sikap yang disebut “fastabikul khairat“, berlomba dalam
kebaikan, bersaing dengan Gus Dur dan Cak Nur, dua tokoh besar dalam
kepemimpinan umat.
Dulu
dia juga ingin ikut besar. Tapi sekarang kedoknya terbuka, bahwa ternyata dia
tak ingin hidup dalam kepemimpinan umat yang sepi itu. Tingkah laku
politiknya tampak begitu partisan. Orientasi nilai utamanya ternyata agak
murahan: hanya kedudukan duniawi yang fana ini. Kepemimpinan umat itu tak
punya apa-apa. Di sana tak ada mobil dinas.
Tak
ada fasilitas megah. Tak ada hura-hura politik yang memberinya kesan glamor.
Dulu pernah menikmati posisi penting di Jakarta, dan kenikmatan itu dirasanya
terlalu cepat berlalu. Sekarang dia haus akan kekuasaan seperti itu. Dulu dia
mengejek Pak Harto, sekarang ejekan itu kembali kepadanya. Dari sumbersumber
gosip politik yang begitu kuat beredar di masa itu, Pak Harto sendiri dengan feeling-nya yang tajam, tak menaruh
percaya sedikit pun padanya.
Pak
Harto kabarnya menyebut namanya saja tak mau. Kecuali itu, beredar pula gosip
serius, yang tak begitu mudah diselidiki kebenarannya, bahwa kabarnya, dalam
tiap salat jamaah, sesudah imam selesai membaca surat “Al Fatihah“, jamaah
menjawab serentak; aamin ... Tapi Pak Harto menyambut dengan ucapan lain: ya,
ya, ya, semata untuk menghindarkan diri dari keharusan menyebut “aamiin“
tadi.
Intinya,
Pak Harto pun tak suka padanya. Tapi nama Cak Nur, di mata beliau, harum. Cak
Nur tak pernah dicurigai sebagai musuh. Dan Gus Dur? Tergantung. Bagi Pak
Harto, aroma politik Gus Dur kadang harum sekali. Tapi tak jarang Gus Dur
dianggap sebagai ancaman serius yang membuat beliau merasa tak berbahagia.
Akhirnya,
tingkah laku para tokoh politik di dalam konteks kepemimpinan umat telah
membuka mata kita siapa yang sungguh-sungguh tulus berusaha mengabdikan diri
untuk memimpin umat, siapa yang palsu, basa-basi dan mencla-mencle. Dua tokoh
dari Jombang, Cak Nur dan Gus Dur, telah pergi, dengan nama harum di mata
umat, dan bangsa Indonesia.
Gus
Dur bahkan pergi dengan mengukuhkan derajat kewaliannya. Pendek kata, kedua
tokoh itu dikukuhkan posisinya sebagai pemimpin umat dan guru bangsa hingga
akhir hayat mereka. Sementara yang satu lagi, yang sejak dulu hanya cemburu pada
keduanya, menjadi jelas pula: dia sedang mengejar posisi keduniaan, dan
gagal. Setiap langkah laku politiknya salah.
Setiap
ucapannya keliru. Wataknya dengan jelas membimbing tingkah laku politiknya
menuju pada apa yang serbasalah itu. Dan orang pun meruwatnya, dengan
sinisme, dengan satire, dan ejekan. Ini sebuah tragedi mengenaskan.
Teman-teman
bisa membantu. Saya sendiri siap melakukannya. Tapi adakah pada dirinya, niat
mengubah watak, dan tingkah laku politiknya? Hanya dia sendiri yang bisa
memutuskannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar