Sepak
Bola Kancil
Eddi Elison ; Bekas Pengurus PSSI
|
KORAN
TEMPO, 03 Desember 2014
Pengenalan
terhadap mouse deer football (sepak
bola kancil) pada dasarnya terkait dengan dongeng tentang kancil, si hewan
cerdik yang memiliki insting tipu muslihat luar biasa. Sampai-sampai gajah,
harimau, buaya, atau ular bisa dikalahkannya hanya dengan permainan
"akal-akalan"-nya.
Jika
dikaitkan dengan sepak bola, permainan ala kancil baru bisa dirasakan setelah
melalui pendalaman atas policy yang ditempuh pengurus PSSI dalam menggerakkan
roda organisasi, demi pembinaan dan kemajuan persepakbolaan nasional--seperti
tertera dalam Mukadimah Statuta PSSI. Dari empat alinea itu bisa disimpulkan
bahwa PSSI merupakan alat perjuangan yang mengabdikan diri kepada bangsa dan
negara dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945.
Karena
itu, kegagalan di Hanoi dalam AFF Cup 2014 barusan agaknya pantas
dikategorikan sebagai pendegradasian martabat bangsa. Pelatih Alfred Riedl
(Austria) jelas harus bertanggung jawab, tapi pengurus PSSI tak mungkin lepas
tangan. Riedl hanya bertanggung jawab soal masalah teknik, tapi PSSI bertanggung
jawab atas policy yang justru dominan sebagai penyebab utama kegagalan lima
timnas.
Diawali
oleh timnas U-14 (pelatih Mundari Karya/Piala Asia di Uzbekistan), U-16
(pelatih Sutan Harharah/Piala AFF di Myanmar), U-19 (pelatih Indra
Syafri/Piala Asia di Myanmar), U-23 (pelatih Aji Santoso/AG-XVII di Icheon),
dan timnas senior (pelatih Riedl/AFF Cup di Vietnam), semua gagal. Berarti,
selama kepengurusan Djohar Arifin Husin, tidak ada satu timnas pun yang
berhasil.
Penyebab
utama kegagalan demi kegagalan itu, jika dikaji secara mendalam, jelas
terkait dengan policy yang ditempuh
kepengurusan Djohar Arifin, yakni permainan "sepak bola kancil" di
luar arena. Riedl mengeluhkan fisik pemainnya akibat kompetisi ISL yang
panjang, berarti kompetisi yang selalu disebut-sebut sebagai jantungnya
pembinaan timnas dilaksanakan dengan compang-camping. Terjadinya sepak bola
gajah di Divisi Utama, selain bentrokan antarpendukung, keributan pemain atau
manajer versus wasit, artinya menempatkan kompetisi sebagai "racun"
bagi timnas.
Pola
strategi yang diterapkan PSSI untuk kompetisi ISL/Divisi Utama bagaikan polah
tingkah kancil untuk menyelamatkan dirinya. PSSI lebih cenderung mengacu pada
sepak bola = uang, demi "keselamatan" pengurus, sehingga unsur
pembinaan hanya 25 persen, dikalahkan unsur transaksional 75 persen.
Pembinaan cabang olahraga apa pun memerlukan dana, tapi jika uang yang paling
utama dikibarkan, berarti PSSI hanya memikirkan bagaimana menjual timnas,
terutama hak siar ke televisi swasta, menguber sponsor--yang jelas
bertentangan dengan mukadimah statuta PSSI. Apalagi insan sepak bola sampai
saat ini masih bertanya-tanya tentang transparansi hasil penjualan hak siar
dan sponsor itu.
Dengan mengemukakan secuil kisah "permainan kancil" ala PSSI,
tentunya semakin jelas bahwa jangan hanya Riedl yang dijadikan "kambing
hitam" atas kegagalan di AFF Cup Hanoi. Tapi yang paling harus
bertanggung jawab adalah pengurus PSSI di bawah pimpinan Djohar Arifin Husin,
bersama Wakil Ketua Umum/Ketua BTN La Nyalla Mattalitti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar