Hari
Antikorupsi di Indonesia
Romli Atmasasmita ; Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran
|
KORAN
SINDO, 10 Desember 2014
|
Penetapan 9 Desember sebagai Hari Antikorupsi Sedunia dicetuskan pada
konferensi negosiasi draf teks Konvensi PBB Antikorupsi pada 2002 di Wina
(Austria). Penulis ketika itu sebagai alternate ketua delegasi RI. Hasilnya
kemudian diadopsi pada Konferensi Diplomatik Pengesahan Draf teks tersebut di
Merida, Meksiko pada 2003. Yusril Ihza Mahendra selaku ketua delegasi RI
ketika itu. Tanggal 9 Desember merupakan tanggal keramat pemberantasan
korupsi oleh masyarakat internasional termasuk Indonesia.
Pasti pada hari tersebut berbagai cerita sukses diberitakan secara luas
kepada masyarakat, tidak termasuk kegagalan tentunya. Selang beberapa hari
sebelumnya KPK berhasil menangkap/menahan bupati Bangkalan karena menerima
uang (suap/gratifikasi) terkait proyek migas; sekaligus membuktikan bahwa
efek jera sebatas kata-kata karena semakin banyak penyelenggara negara
terlibat korupsi.
Peristiwa tersebut berbanding terbalik dengan pernyataan Wapres JK di
hadapan peserta Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi yang digagas KPK
yang penulis baca. JK mengeluhkan sambil meminta
pimpinan KPK mempertimbangkan agar kebijakan pejabat pemerintah jangan dibawa
ke ranah pidana/korupsi dengan alasan menimbulkan kekhawatiran penyelenggara
negara di dalam menjalankan program-program pembangunan sehingga berdampak
kelambanan implementasinya.
Imbauan Wapres JK seharusnya ditujukan kepada
pemerintah cq Menkumham dan DPR RI agar mengkaji kembali UU Tipikor 1999 yang
diubah dengan UU Tipikor pada 2001. KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri hanya
pelaksana atas mandat dari UU tersebut.
Memang ketika penyusunan UU tersebut diupayakan agar undang-undang ini
dapat menjangkau setiap perbuatan penyelenggara negara yang terbukti melawan
hukum yang sering dalam praktik ditafsirkan secara luas atau sempit,
bergantung penafsiran subjektif penyidik dan penuntut bahkan hakim.
Sekalipun telah ada putusan MKRI yang telah membatasi pengertian
istilah melawan hukum, namun dalam praktik kepatuhan aparatur penegak hukum
(APH) termasuk hakim terhadap putusan MKR RI sangat rendah. Jika APH
konsisten pada UU RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang
bersih dan bebas KKN, telah dirumuskan tindak pidana kolusi dan tindak pidana
nepotisme selain tindak pidana korupsi yang telah diatur dalam UU Tipikor.
Jika dua tindak pidana aquo
disosialisasikan kepada penyelenggara negara, peranan fungsi pencegahan
korupsi akan berjalan efektif dan mengurangi penindakan mungkin lebih
signifikan ketimbang menghukum semata-mata. Dua jenis tindak pidana tersebut
belum pernah didakwakan dan dituntut di hadapan pengadilan tipikor, namun
tentu APH harus sangat berhati-hati dalam implementasinya.
Selama kurang lebih sebelas tahun sejak pembentukan KPK, sinyalemen
Wapres JK, yang muncul adalah ketakutan di kalangan penyelenggara negara
untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, bukan kepatuhan untuk tetap
bekerja di dalam koridor yang telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Perlu dipertanyakan mengapa terjadi? Masalah utama dalam
penyelenggaraan pemerintahan adalah sikap amanah dan ikhlas memperjuangkan
amanat konstitusi UUD 1945 yaitu menciptakan kesejahteraan rakyat terlepas
dari berbagai kepentingan pribadi, kelompok, politik, dan lain-lain.
Kepentingan satu-satunya bagi setiap penyelenggara negara adalah
mewujudkan pemerintahan yang baik dan benar (good governance) yang hanya dapat dicapai jika penyelenggara
negara bersikap jujur, amanah, dan memiliki sikap profesional dan
berintegritas.
Pemerintahan Jokowi-JK telah diisi oleh para menteri yang dianggap
telah memenuhi persyaratan tersebut apalagi telah ”terseleksi” dengan baik
oleh KPK, tentunya masyarakat kini menunggu kinerjanya yang seharusnya tidak
”terjebak” dalam KKN. Keberhasilan pemberantasan korupsi tidak hanya
ditentukan KPK, tetapi juga oleh Polri dan kejaksaan.
Jika kewenangan luas yang kini dimiliki KPK juga diberikan oleh UU
kepada Polri dan kejaksaan, sudah tentu akan meningkatkan keberhasilan
pemberantasan korupsi secara signifikan terutama upaya penyelamatan kerugian
keuangan negara. Namun, ekses-ekses negatif dari kewenangan yang superior
tidak akan terhindarkan karena Lord Acton telah memperingatkan, ”power tend
to corrupt, absolute power tend to corrupt
absolutely”; atau saya katakan, ”power
tend to abuse, absolute power tend to abuse absolutely”.
Keadaan ini hanya berlaku jika tidak ada mekanisme checks and balances atau ”penyeimbang” terhadap kewenangan yang
luas tersebut. Atas dasar ini, saya mengusulkan agar seperti terhadap Polri
dan kejaksaan dengan adanya Kompolnas dan Komjak; terhadap KPK sekalipun
lembaga independen diperlukan ”penyeimbang” atau lembaga pengawas.
Lembaga itu nanti dapat ditempatkan sebagai bagian organisasi KPK dan
diisi oleh orang yang memiliki integritas, kredibilitas, senioritas dalam
hukum pidana dan manajemen, serta memiliki akuntabilitas tinggi. Kekhawatiran
Wapres JK tentu akan terhapuskan dengan keberadaan dewan pengawas di KPK.
Hari Antikorupsi di Indonesia memiliki dua prospek yang sama
pentingnya. Pertama, sebagai upaya introspeksi atas kinerja Polri, kejaksaan,
dan KPK. Kedua, upaya harmonisasi UU Tipikor 1999 jo 2001 terhadap materi
muatan Konvensi PBB Antikorupsi 2003 yang telah diselesaikan pemerintah ke
dalam RUU baru tipikor untuk segera dibahas dan diundangkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar