Sekali
Lagi “Sepak Bola Gajah”
Nur Haryanto ; Wartawan
Tempo
|
KORAN
TEMPO, 31 Oktober 2014
Hampir setiap sore, ratusan bocah berlatih sepak bola di
kompleks Sekolah Ragunan, Jakarta Selatan. Dimas, 10 tahun, salah satu siswa
di sana, berlari ke pinggir lapangan saat peluit panjang dibunyikan pelatih.
Sambil mengusap peluh di wajahnya dengan kaus seragam yang terlihat
kedodoran, dia mengambil air minum. "Besok kalau sudah besar mau jadi
pemain sepak bola, ya?" saya menyapa bocah itu. Dia meringis
memperlihatkan giginya sambil menganggukkan kepala, selepas latihan.
Andai saja ada 1.001 anak di Indonesia yang serius berlatih
sepak bola, yang terbagi dalam 100 kesebelasan, dari Aceh sampai Papua, ada
baiknya diadakan model pertandingan yang seru dan bermanfaat. Turnamen
menggunakan sistem setengah kompetisi dan kompetisi penuh hingga bermuara
pada pertemuan antarzona. kalau itu terjadi, akan menjadi kompetisi sepanjang
tahun yang meriah dan diharapkan bisa menjaring pemain-pemain muda bertalenta
untuk mewujudkan mimpi bangsa Indonesia berkiprah dalam Piala Dunia.
Tentu saja tidak sesederhana itu. Maaf, saya hanya larut dalam
kegembiraan melihat semangat bocah-bocah Ibu Kota itu berlatih. Soalnya,
Minggu, 26 Oktober lalu, ada sebuah keanehan luar biasa di dunia sepak bola
kita. Pertandingan antara PSS Sleman dan PSIS Semarang itu telah mencoreng dunia
sepak bola.
Jika Anda melihat tayangannya di YouTube, Anda akan
geleng-geleng kepala. Sulit dipahami, seorang pemain menggiring bola ke
gawang sendiri dan justru dihalang-halangi pemain lawan agar tidak melakukan
gol bunuh diri. Pemain depan lawan berganti posisi menjadi pemain belakang
tim lawannya. Kekonyolan ini benar-benar tak pantas dilakukan di dunia sepak
bola mana pun. Dagelan sepak bola pada akhir kompetisi Divisi Utama itu pun
menjadi buah bibir internasional.
Kemungkinan besar, PSS dan PSIS sengaja tidak mau menang agar
tidak memimpin Grup 1. Posisi ini berimbas ke pertandingan berikutnya, saat
tim yang kalah otomatis tidak akan menghadapi runner-up Grup 2, Pusamania
Borneo FC. Artinya, PSS dan PSIS sama-sama menghindari Pusamania.
"Sepak bola gajah" pernah terjadi waktu kesebelasan
Indonesia melawan Thailand dalam laga terakhir penyisihan grup Piala Tiger
1998. Skor pada menit-menit terakhir masih imbang 2-2, namun Mursyid Effendi
membuat kejutan dengan menyarangkan bola ke gawang sendiri. Asosiasi bola
internasional FIFA memberi hukuman kepada tim Merah Putih dengan denda US$ 40
ribu dan Mursyid terkena hukuman seumur hidup. Ia dilarang tampil dalam
pertandingan internasional.
Komisi Disiplin PSSI pernah memberi hukuman untuk otak di balik
"sepak bola gajah". Dalam laporan majalah Tempo edisi 5 Maret 1994,
Komisi Disiplin PSSI menghukum manajer tim Persebaya Surabaya, Agil H. Ali,
saat itu. Dia dituduh mengotaki pengaturan skor pertandingan dalam Kompetisi
Perserikatan PSSI Wilayah Timur. Agil tidak boleh menjadi ofisial selama
setahun dan membayar denda Rp 500 ribu. Adapun pelatih PSIM Yogya, Berce
Matulapelwa, diskors enam bulan tapi tak didenda.
"Sepak bola gajah" muncul kembali bulan lalu.
Mudah-mudahan, Dimas yang masih belajar sepak bola di Ragunan belum paham
benar kasus ini. Seandainya paham, dia akan berpikir seribu kali sebelum
memutuskan untuk menjadi pemain sepak bola. Wallahu A'lam Bishawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar