Merawat
Harapan Bersama
Airlangga Pribadi Kusman ; Pengajar Departemen Politik FISIP
Universitas Airlangga
|
KOMPAS,
24 November 2014
DI dalam
dunia politik, merawat sebuah harapan untuk tumbuh dan berkembang bukanlah
sesuatu yang mudah. Perjalanan pemerintahan Indonesia pasca-Orde Baru
memperlihatkan dengan jelas bagaimana optimisme yang tumbuh seiring dengan
tampilnya pemimpin populer yang didukung secara antusias, tetapi harapan itu
pudar dalam hitungan semusim. Menimbang pengalaman hidup berdemokrasi kita,
semua perlu menyadari bahwa daya tahan dari suatu harapan hanya bisa dirawat
dengan kesadaran akan ruang kesempatan, sekaligus keterbatasan yang tersedia
dari struktur dan proses politik real maupun kapasitas kelembagaan dari ruang
politik yang ada.
Keinsafan
akan kompleksitas batasan sekaligus kesempatan dari ruang politik ini agaknya
penting jadi catatan menyambut pengumuman Kabinet Kerja pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla maupun kebijakan-kebijakan yang akan lahir selanjutnya.
Dengan kesadaran akan keterbatasan maupun kesempatan politik yang tersedia,
kita dapat menumbuhkan atmosfer skeptisisme yang sehat (healthy skepticism) dan menghindari pesimisme yang merusak (corrosive pessimism) dalam kehidupan
berbangsa.
Skeptisisme
yang sehat adalah sebuah sikap yang disadari, baik oleh para elite politik
maupun warga negara, bahwa kritik dan koreksi adalah mutlak bagi kemajuan
politik di masa depan. Namun, kritik dan koreksi itu mesti diniatkan untuk
merehabilitasi tatanan politik, bukan menghancurkannya. Sebuah sikap kritis
yang dilandasi kearifan bahwa dunia politik tidaklah sempurna. Dengan
demikian, kita sebagai warga negara memiliki tanggung jawab untuk
terus-menerus memperbaikinya. Sementara pesimisme yang merusak adalah sikap
yang dilandasi oleh sikap apatisme muram tanpa menyadari realitas proses
politik yang terjal.
Skeptisisme sehat
Untuk
menumbuhkan suasana skeptisisme yang sehat sehingga bermanfaat bagi penguatan
demokrasi, ada baiknya kita membaca karya Matthew Flinders (2012), Defending Politics: Why Democracy Matters
in the Twenty-First Century. Menurut akademisi Inggris yang bersimpati
pada kekuatan politik buruh di Inggris ini, ada dua hal yang perlu dimiliki
untuk merawat sikap skeptisisme yang sehat.
Pertama,
untuk merawat harapan atas kemajuan politik, setiap orang—baik elite politik
maupun warga negara—harus menyadari bahwa kemajuan dapat diraih tidak hanya
dengan tuntutan, tetapi juga dengan keinsafan bahwa baik rakyat maupun elite
politik harus berkorban bersama merasakan pil pahit ketika merealisasikan
tujuan politik yang disepakati bersama.
Kedua,
setiap warga menyadari bahwa sebuah dinamika pembuatan kebijakan publik
tidaklah lahir di ruang hampa kekuasaan. Keberhasilan realisasi bagi
kebijakan yang lebih maju harus dilandasi oleh keseimbangan antara tekanan
politik progresif sekaligus sebuah kesabaran bahwa relasi kuasa yang timpang
sebagai penghambat kemajuan tidak bisa ditundukkan dalam semalam.
Keseimbangan
politik untuk menuntut hak dan kesejahteraan, disertai sikap proporsional
menanggung biaya politik ketika secara spesifik kebijakan tersebut
membutuhkan pengorbanan, adalah kunci bertahannya sebuah harapan. Sayangnya,
ini sering kali kita abaikan. Dalam wacana ideal, kita bersepakat bahwa
pemerataan ekonomi dan penegakan keadilan sosial adalah penting. Namun,
banyak dari kita memprotes ketika jalan yang tersedia untuk itu adalah
mengalokasi subsidi BBM yang begitu besar di tengah keterbatasan APBN untuk
sektor-sektor masyarakat marjinal yang lebih membutuhkan subsidi lebih besar.
Demikian pula kita kerap menuntut pelayanan publik yang lebih baik, tetapi
kita menolak ketika harga yang harus dibayar untuk mewujudkannya adalah pajak
bagi kita harus dinaikkan.
Sementara
kritik pada elite politik terkait dengan hal di atas, sejak masa kampanye
sampai saat ini Presiden Jokowi dalam ekspektasi harapan yang begitu besar
tidak pernah memberikan sinyal bahwa sebuah harapan yang begitu besar jangan
dibiarkan terbang ke langit. Sebab, ia juga harus berjejak di bumi manusia
dengan biaya dan pengorbanan. Harapan itu ibarat sebuah pantun Nusantara:
//berakit-rakit ke hulu/berenang-renang ke tepian/bersakit-sakit
dahulu/bersenang-senang kemudian//. Sebuah pantun yang telah lama diingatkan
oleh Soekarno dalam pidatonya pada 1963 sebagai sebuah jalan untuk menjadi
bangsa yang besar.
Kabinet Kerja
Demikian
pula merawat harapan juga berhubungan dengan kesadaran bahwa arena politik
dan pembuatan kebijakan tidak tumbuh dalam ruang politik yang kedap
kekuasaan. Artinya, upaya untuk memperjuangkannya tidak hanya ditentukan oleh
itikad baik dari pemimpin, mengingat kebijakan adalah buah dari pertarungan
kekuasaan. Dalam kesadaran demikian, kita dapat melihat sebuah inisiatif
membina negara dalam dimensi yang utuh dengan menghormati capaian positif
maupun kelemahan-kelemahannya sebagai negosiasi politik, yang suka atau tidak
suka harus diambil.
Hal ini,
misalnya, dapat kita saksikan dalam perumusan Kabinet Kerja yang jika
dipandang secara proporsional memunculkan profesional brilian di bidangnya.
Mereka adalah teknokrat ataupun aktivis politik berkomitmen tinggi, di
samping beberapa politisi—yang tak bisa dimungkiri—dipilih sebagai hasil dari
kompromi politik elite. Sebuah formasi pemerintahan yang, dalam usaha
maksimalnya, lahir dari tatanan politik reformasi yang belum bisa secara
tuntas melepaskan diri dari warisan langgam kekuasaan Orde Baru.
Di tengah keterbatasan ruang politik, kita masih bisa menyaksikan
beberapa celah harapan, seperti Kabinet Kerja yang memunculkan kehadiran
perempuan cukup tinggi, yakni 8 orang (23 persen). Juga berkualitas baik,
dengan munculnya profesional tangguh seperti Susi Pudjiastuti (Menteri
Kelautan dan Perikanan); diplomat berpengalaman seperti Retno Lestari
Priansari Marsudi sebagai Menteri Luar Negeri perempuan pertama kita; serta
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, srikandi demokrasi Indonesia yang
digembleng sejak era akhir Orde Baru. Benih harapan telah tumbuh di
pekarangan rumah republik kita. Pada era Kabinet Kerja ini, mari kita rawat
harapan ini dengan pupuk kritik, koreksi, dan apresiasi secara sehat agar
harapan dapat berbuah perubahan bagi Indonesia yang lebih hebat di masa
depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar