Nasib PSC dan Masa
Depan Industri Hulu Migas
M Hakim Nasution ; Managing Partner of Hakim dan Rekan Law Office,
Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 20 November 2014
TIDAK ada yang akan menyangkal
jika Indonesia dikatakan kaya akan sumber daya alam termasuk sumber daya
energi. Namun, untuk mendapatkan manfaat sebesarbesarnya atas kekayaan alam
tersebut, bukanlah pekerjaan gampang. Perlu dilakukan kegiatan-kegiatan
eksplorasi juga produksi minyak dan gas (migas) yang memerlukan dana tidak
sedikit, teknologi yang mahal, serta berisiko tinggi.
Indonesia ditengarai masih
memiliki potensi cadangan migas baru sebesar 43,7 miliar barel. Tentunya,
potensi migas itu masih perlu ditindaklanjuti dengan kegiatan eksplorasi
lanjutan untuk menjadikannya sebagai cadangan migas yang terbukti. Mengingat
bahwa saat ini potensi cadangan migas umumnya terletak di wilayah laut dalam
atau di daerah yang sangat minim infrastruktur. Hal tersebut tentu berdampak
pada tingginya kebutuhan biaya dan teknologi bagi siapa pun yang akan
melakukan kegiatan eksplorasi.
Dalam hal itu, pemerintah
Indonesia tidak mau mengambil risiko yang sedemikian besar itu sendirian.
Oleh karena itu, bermitra dengan pihak swasta baik nasional maupun asing
merupakan satu-satunya pilihan agar pemerintah Indonesia mampu mengembangkan
sumber daya migas dengan risiko yang minim serta memberikan manfaat yang
optimal.
Dalam mengelola sektor migas
pemerintah Indonesia menggunakan sistem kerja sama bagi hasil atau yang
dikenal sebagai Production Sharing
Contract (PSC). Sistem kerja sama ini pertama kali diperke nalkan Ibnu
Sutowo pada 1956, namun PSC baru benar-benar diterapkan pada 1966.
Syarat dan ketentuan PSC
ditetapkan pemerintah semata-mata untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya
bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Model PSC itu telah digunakan lebih dari
72 negara di dunia yang tersebar di Afrika Utara, Asia, Timur Tengah, Amerika
Utara, dan Amerika Selatan.
Kepercayaan perusahaan migas
atau Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan komitmen pemerintah Indonesia
dalam menjalankan PSC secara utuh telah mampu mendorong kegiatan eksplorasi
yang diperlukan untuk menambah cadangan dan produksi nasional selama puluhan
tahun.Meskipun tidak semua kegiatan eksplorasi memberikan hasil yang
diharapkan bahkan menimbulkan kerugian puluhan triliun rupiah bagi KKKS,
namun hal tersebut tidak mengurangi komitmen KKKS untuk menemukan cadangan
migas dan peluang-peluang baru.
Sayangnya, masih banyak masyarakat
yang menduga bahwa pembagian produksi migas berdasarkan PSC telah merugikan
negara. Padahal, selama ini sistem kerja sama PSC telah berhasil memberikan
manfaat yang besar bagi pemerintah Indonesia dalam menunjang pertumbuhan
ekonomi Indonesia.
Dalam PSC, KKKS harus menanggung semua risiko dan biaya
yang dikeluarkan sampai ditemukannya cadangan migas bernilai komersial
menurut pemerintah Indonesia. Apabila dalam proses nantinya tidak ditemukan
cadangan migas yang memiliki nilai komersial, KKKS tidak berhak mendapatkan
pengembalian biaya yang telah dikeluarkannya.
Ketika ditemukan cadangan migas
yang memiliki nilai komersial, maka hasil produksi migas (dalam bentuk minyak
atau gas) akan dibagi antara pemerintah Indonesia dan KKKS dengan kisaran
pembagian minyak bumi 85% untuk pemerintah Indonesia dan KKKS 15%, sementara
untuk gas pemerintah Indonesia menerima 65% ,sedangkan KKKS 35%.
Saat ini kegiatan eksplorasi
migas menjadi sangat relevan untuk dilakukan di tengahtengah kondisi
penurunan cadangan migas Indonesia yang diperkirakan hanya tersisa sekitar
3,9 miliar barel sementara konsumsi harian masyarakat terus meningkat
mencapai 1,5 juta barel. Dengan konsumsi harian sebesar itu cadangan migas
tersebut diperkirakan akan habis dalam kurun waktu beberapa puluh tahun
mendatang sehingga kegiatan eksplorasi harus segera dilakukan.
Selain itu, penerimaan negara
untuk APBN dari sektor migas masih dominan setelah pajak. Bahkan, realisasi
penerimaan migas pada 2013 melebihi target yang ditetapkan, yaitu sebesar Rp305,57
triliun dari target yang ditetapkan sebesar Rp267,12 triliun. Hal itu
memperlihatkan bahwa investasi di sektor hulu migas masih berperan penting
untuk meningkatkan penerimaan negara dan oleh karenanya investasi sektor hulu
migas perlu ditingkatkan.
Terkait dengan hal itu,
pemerintahan Jokowi-JK dan jajarannya perlu memastikan bahwa PSC yang menjadi
komponen utama dalam menarik investasi di sektor hulu migas dapat terus
dijalankan secara utuh dan konsisten. Menurut data Kementerian Energi Sumber
Daya Mineral (ESDM) hingga April 2014, investasi di sektor hulu migas
mencapai US$6,88 miliar, sedangkan target investasi di 2014 sebesar US$25,44
miliar. Tidak mungkin kita berharap investasi di sektor hulu migas akan terus
bertambah jika tidak ada kepastian hukum dan jaminan bagi investor bahwa
kontrak yang telah disepakati akan dihormati sampai berakhirnya jangka waktu
kontrak.
Sayangnya, mendung tebal saat
ini sedang bergelayut di industri hulu migas Indonesia, menyusul keputusan
bersalah dari Mahkamah Agung (MA) atas kasus hukum yang menimpa karyawan dan
kontraktor PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) terkait program bioremediasi. Menurut
kontrak PSC, semestinya setiap isu atau persoalan dalam proyek hulu migas
termasuk bioremediasi itu dapat diselesaikan dengan mekanisme penyelesaian
perdata yang sudah diatur dalam PSC. Putusan MA kepada karyawan CPI
menimbulkan kecemasan bagi KKKS yang merasa tidak adanya kepastian dan
perlindungan serta konsistensi hukum.
Keputusan MA terkait kegiatan bioremediasi
sebetulnya menunjukkan ketidakpahaman aparatur penegak hukum di Indonesia
terhadap PSC. Kekeliruan proses hukum itu pada akhirnya dapat berbuah pahit
bagi rakyat Indonesia karena industri hulu migas merupakan penyumbang APBN
terbesar.
Ketiadaan upaya hukum melawan putusan
kasasi akan melemahkan posisi PSC sebagai dasar dilaksanakannya operasi hulu
migas. Hal itu berarti semakin sulit bagi para investor untuk mengambil
keputusan investasi di sektor hulu migas dan artinya perkembangan industri
hulu migas terancam mengalami kemunduran.
Kini tinggal menunggu langkah
nyata Jokowi-JK untuk meluruskan kembali arah penegakan hukum dan kepatuhan
atas ketentuan PSC dalam industri hulu migas nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar