Status
Kewarganegaraan Eks Perpres No 101959
Prasetyadji ; Pemerhati Masalah Tionghoa; Tinggal di Jakarta
|
KOMPAS,
22 November 2014
SEKITAR
100.000 pemukim etnis Tionghoa yang sesungguhnya warga negara Indonesia
tetapi tanpa dokumen apa pun sebagai akibat kebijakan Peraturan Presiden
Nomor 10 Tahun 1959, akan segera mendapat kejelasan status kewarganegaraan
Indonesia.
Perpres
No 10/1959 adalah kebijakan tentang larangan bagi orang asing untuk melakukan
kegiatan perdagangan secara formal, terutama pada tingkat pedesaan atau
kecamatan. Namun, dalam praktik di lapangan, terjadi pengusiran terhadap
orang- orang Tionghoa yang umumnya sudah warga negara Indonesia tunggal.
Sebagian kecil mereka pulang ke Tiongkok, sebagian besar menetap di Indonesia
menjadi pemukim tanpa dokumen.
Solusi
penyelesaian ini muncul dari hasil rapat koordinasi Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia dengan Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) di Bogor pada
16-18 November 2014.
Angka
92.350 muncul dari laporan Menteri Dalam Negeri Yogie S Memet kepada Presiden
melalui suratnya dengan Nomor 471.2/2099/SJ Tanggal 21 Juni 1996 bahwa hasil
pendataan ketika itu tercatat 208.820 orang, dan 116.470 di antaranya telah
diselesaikan kewarganegaraannya melalui proses naturalisasi yang dipercepat
berdasar Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1995 jo Instruksi Presiden Nomor 6
Tahun 1995.
”Jika
diasumsikan kelahiran dan kematian mengikuti data Badan Pusat Statistik, pada
tahun 2014 terdapat sekitar 100.000 orang,” kata Slamet Effendy Yusuf MSi,
Ketua Umum IKI.
Kondisi
selama ini sungguh sangat memprihatinkan, berbagai regulasi mengenai masalah
kewarganegaraan dan kependudukan telah dibuat pemerintah dan DPR, seperti UU
No 12/2006 tentang Kewarganegaraan, UU No 23/2006 tentang Administrasi
Kependudukan jo UU No 24/2013 tentang Perubahan UU No 23/2006, dan UU No
25/2009 tentang Pelayanan Publik. Terkait dengan ketiga UU tersebut, terdapat
UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
Secara
regulasi, negara dipandang telah cukup memberikan jaminan pemenuhan hak-hak
kewarganegaraan dan kependudukan. Namun, dalam praktik di lapangan masih
terjadi penafsiran yang berujung pungutan di sana-sini yang membebani rakyat
ketika mengurus hak-haknya.
Masalah
kewarganegaraan dan administrasi kependudukan masih menjadi belenggu yang
mencengkeram bagi sebagian besar penduduk di Indonesia karena untuk
kepentingan tertentu, instansi pemerintah, seperti Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia, selalu mensyaratkan akta kelahiran dan bukti kewarganegaraan bagi
etnis Tionghoa.
Padahal,
kepemilikan akta kelahiran baru mencapai 40 persen dari penduduk di
Indonesia, serta peraturan yang ”mewajibkan” bukti kewarganegaraan (SBKRI)
bagi warga peranakan sudah dicabut seiring terbitnya UU No 12/2006.
Penyelesaian
Dalam
rapat koordinasi yang dipimpin Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum
Harkristuti Harkrisnowo soal kewarganegaraan ini mengerucut pada 3 (tiga)
rekomendasi.
1.
Rekomendasi kepada Menteri Dalam Negeri agar menerbitkan instruksi kepada
pemerintah daerah sampai ke tingkat RT, RW, lurah, supaya tidak ragu dalam
melayani dan menerbitkan dokumen kependudukan bagi pemukim yang sesungguhnya
warga negara Indonesia.
2.
Mendorong Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia agar membuat statement
(kebijakan umum) bahwa pemukim yang lahir dan turun-temurun di Indonesia
adalah warga negara Indonesia dan dilayani sebagai warga negara Indonesia.
3.
Mendorong Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia, untuk memberikan kategori pemukim turun-temurun yang
sesungguhnya warga negara Indonesia.
Muara
dari rekomendasi yang ditawarkan adalah diterbitkannya dokumen kependudukan,
seperti akta kelahiran, KTP, dan KK. Akta kelahiran merupakan dokumen dasar
penduduk yang sangat penting karena di dalam akta itu dijelaskan identitas
diri terkait dengan status keperdataan (hubungan hukum dengan orangtuanya)
dan status kewarganegaraan seseorang.
Hal itu
dijamin oleh Pasal 5 UU No 23/2002 bahwa ”setiap anak berhak atas suatu nama
sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan”. Kemudian di pasal
berikutnya (27) ditegaskan bahwa, ”identitas diri setiap anak, yang dituangkan
dalam akta kelahiran, harus diberikan sejak kelahirannya, pembuatan akta
kelahiran ini menjadi tanggung jawab pemerintah dan tidak dikenai biaya”.
Mulai
hari ini negara tidak perlu ragu dan bimbang dalam memberikan pelayanan yang
dekat dengan masyarakat secara mudah dan gratis. Itu karena sudah begitu
banyak regulasi terkait masalah kewarganegaraan dan kependudukan yang
mewajibkan negara proaktif menjemput bola di tengah-tengah rakyatnya.
Hak anak
adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan
dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Setiap
anak harus diberikan akta kelahiran karena, dengan demikian, ia memiliki
identitas diri dan status kewarganegaraan yang jelas.
Pada awal kepemimpinan Presiden Joko Widodo, rakyat berharap banyak
pemerintah dapat segera menuntaskan masalah ini sehingga pada 2016 tidak ada
lagi orang tanpa akta kelahiran. Mewarisi beban pemerintah yang lalu yang
banyak nilai merahnya, Joko Widodo harus tegas terhadap aparat birokratnya,
terutama jajaran Kementerian Hukum dan HAM dalam hal kejelasan status
kewarganegaraan seseorang, juga Kementerian Dalam Negeri dalam hal pelayanan
pemenuhan hak rakyat di bidang kependudukan dan pencatatan sipil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar