Kartu
Sakti Vs Kenaikan Harga BBM
Paulus Mujiran ; Pemerhati Sosial,
Ketua Pelaksana Yayasan Soegijapranata Semarang
|
SINAR
HARAPAN, 19 November 2014
Pemerintahan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dihadapkan pada pilihan pelik menaikkan harga
bahan bakar minyak (BBM). Setelah sempat maju mundur, Jokowi akhirnya
mengumumkan kenaikan BBM bersubsidi, Senin (17/11), untuk jenis Premium dari
Rp 6.500 menjadi Rp 8.500 per liter, sedangkan untuk solar dari Rp 5.500
menjadi Rp 7.500 per liter.
Menurut
skenario tim transisi, pilihannya adalah kenaikan harga dari Rp 500, Rp
1.000, Rp 1.500, hingga Rp 3.000 per liter BBM bersubsidi. Dari kalkulasi
sementara, menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 1.000 saja sudah akan
mengurangi subsidi Rp 48-52 triliun. Jika kenaikan mencapai Rp 3.000 per
liter BBM subsidi, beban subsidi diperkirakan berkurang Rp 100 triliun.
Untuk
mengurangi dampak kenaikan harga BBM bersubsidi, Jokowi sudah meluncurkan
Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP). KIS tak hanya
menyasar masyarakat miskin, tetapi juga golongan rentan miskin. Menurut
perkiraan, kartu ini akan dibagikan kepada 88,1 juta orang, lebih banyak dari
jumlah warga yang terdaftar sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
yang hanya mencakup 86,4 juta orang,
Sementara
itu, program KIP akan menyasar 24 juta siswa kurang mampu yang sebelumnya
terdaftar sebagai penerima Bantuan Siswa Miskin (BSM). Tak hanya itu, peserta
KIP nantinya juga ditambah dari golongan anak-anak miskin tidak sekolah,
dengan harapan, mereka bisa bersekolah lagi. Rincian besaran KIP untuk siswa
SD adalah Rp 225.000 per siswa per semester, SMP sebesar Rp 375.000 per siswa
per semester, dan SMA/SMK sebesar Rp 500.000
per siswa per semester.
Kenaikan
harga BBM selalu berdampak luas, baik dari sisi sosial, politik, dan ekonomi,
terutama bagi hajat hidup orang miskin. Pembengkakan subsidi untuk 2013,
beban subsidi energi dalam anggaran negara sudah mencapai Rp 310 triliun,
terbagi untuk subsidi BBM Rp 210 triliun dan listrik Rp 100 triliun.
Sementara itu, dalam APBN-P 2014, beban subsidi energi sudah membengkak
menjadi Rp 453,3 triliun, terbagi untuk subsidi BBM Rp 350,3 triliun dan
listrik Rp 103 triliun.
Subsidi
BBM dari tahun ke tahun menjadi persoalan pelik karena mengalami lonjakan
yang cukup signifikan. Demi menyelamatkan APBN, pemerintah selalu beralasan
kenaikan harga BBM untuk kesejahteraan rakyat. Kenaikan BBM sering menjadi
pemicu kenaikan harga, terutama sembilan bahan pokok (sembako) dan sektor
transportasi. Kenaikan harga BBM pun akan memicu inflasi 5,5-7,5 persen. Hal
yang menjadi permasalahan sekarang adalah bagaimana skema pemberian
kompensasi BBM agar tepat sasaran dan dinikmati mereka yang berhak.
Pemerintah
telah meluncurkan “kartu sakti” berupa KIS dan KIP. Program KIS dan KIP
memang diharapkan menjadi jaring pengaman sosial agar warga tidak kian
terpuruk dalam kemiskinan. Lebih dari itu, KIP dan KIS tidak pada tempatnya
dijadikan alat politik pemerintah membeli dukungan orang miskin. Namun,
program kompensasi atas kenaikan harga BBM selama ini tidak produktif karena
alokasinya lebih besar untuk bantuan langsung ketimbang tambahan
infrastruktur. Kalangan pengamat ekonomi berpendapat, masyarakat harus diberi
pekerjaan bukan bantuan langsung. Masyarakat harus diberi kail bukan ikan
untuk dikonsumsi secara langsung.
Belajar
dari pemberian bantuan langsung tunai (BLT) tahun 2009, terdapat tiga
kekurangan yang menyebabkan bantuan itu tidak tepat sasaran. Pertama,
pemerintah harus serius dalam mengelola dan menyiapkan data.
Pemerintah
hanya menyandarkan data BPS untuk menentukan warga yang terkategori miskin,
yang sering kali tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Apalagi
verifikasi dilakukan masyarakat sendiri yang sering tawar-menawar mengenai
siapa yang akan diberikan bantuan. Ini akibat lemahnya kriteria siapa
sesungguhnya yang berhak mendapat bantuan langsung.
Tipisnya
batas kriteria menyebabkan semua orang yang merasa diri miskin berhak
menerima kompensasi. Bahkan, banyak warga cenderung memiskinkan diri demi
mendapat bantuan. Munculnya data fiktif, orang yang sudah pindah rumah,
bahkan meninggal dunia, selalu menjadi kelemahan dalam distribusi bantuan.
Data yang tidak akurat sering memicu kecemburuan sosial yang berdampak
langsung kemunculnya konflik horizontal.
Kedua,
bantuan langsung tidak mendidik dan menimbulkan ketergantungan. Saat ini
kultur BLT sudah merusak mental warga miskin. Semua kegiatan masyarakat akan
berjalan kalau ada uang. Masyarakat enggan dikumpulkan untuk penyuluhan dan
pembinaan kalau tidak diberi iming-iming uang. Bantuan langsung pemerintah
tidak akan membawa daya tahan ekonomi warga miskin karena dana-dana itu
justru dipergunakan untuk hal-hal yang kurang produktif.
Bantuan
langsung justru memperkuat perilaku konsumtif masyarakat dengan mengangsur
sepeda motor dan membeli telepon genggam, sedangkan kegiatan ekonomi
produktif masyarakat tidak bergerak. Karena itu, niatan bahwa dana bantuan
akan mengurangi kemiskinan hanyalah utopia karena faktanya tidak tepat
sasaran. Ketiga, distribusi kompensasi BBM harus berkeadilan sosial. Karena
pendataan yang akurat, kriteria yang jelas, target sasaran harus benar-benar
dipahami baik oleh pemerintah dan masyarakat.
Karena
itu, program KIS dan KIP harus
produktif dan subsidi BBM diarahkan membangun infrastruktur yang langsung
menyangga masyarakat paling rentan terkena dampak kenaikan harga BBM,
misalnya dengan padat karya, perbaikan jalan. Dengan membangun infrastruktur
akan tercipta lapangan kerja dan memberi kesempatan pada banyak warga miskin
yang mendapat pekerjaan. Kelompok kelas menengah ke bawah, seperti petani
kecil desa, nelayan, dan buruh pabrik semestinya mendapat prioritas dan
kesempatan mendapat perhatian.
Bagaimanapun program kompensasi BBM harus benar-benar berkeadilan yang
mampu menyentuh kebutuhan warga yang paling miskin. Diharapkan kenaikan harga
BBM ini mampu memicu peralihan kendaraan pribadi ke BBM nonsubsidi. Begitu
juga terjadi peralihan dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum. Tentu saja
ini menjadi tantangan bagi pemerintah agar alokasi kompensasi BBM mampu
menggerakkan ekonomi kerakyatan, bukan sekadar menghibur mereka yang daya
belinya menurun karena kenaikan harga BBM bersubsidi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar