E-KTP
Dicengkeram Asing
Hemat Dwi Nuryanto ; Lulusan UPS Toulouse, Prancis
|
KORAN
JAKARTA, 19 November 2014
Menteri
Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, untuk sementara menghentikan pembuatan kartu
tanda penduduk elektronik (e-KTP) karena kecerobohan pemerintahan yang lalu.
Diduga proyek e-KTP tersebut sarat penyimpangan. E-KTP bisa dikatakan dalam
cengkeraman pihak asing. Ada sejumlah fakta yang sangat merugikan dan bisa
membahayakan bangsa Indonesia, di antaranya dugaan kuat terjadi korupsi dalam
proyek itu. Server yang digunakan e-KTP ternyata milik negara lain sehingga
database sebagai rahasia negara rentan diakses asing untuk komersial dan
politik yang dapat melemahkan bangsa.
Kemudian,
pihak vendor e-KTP tidak menggunakan perangkat lunak sumber terbuka (open source). Akibatnya Kemendagri
tidak bisa mengembangkan lebih lanjut sistem tersebut. Demikian juga dengan
pemeliharaan yang selalu tergantung vendor asing sepanjang waktu. Masih
banyak kesalahan database terkait kolom isian dalam e-KTP.
Proyek
ini sangat amburadul dan amat merugikan negara. Maka, mestinya segera diusut
tuntas oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Begitu juga Polri harus sigap
mengusut kasus data kependudukan yang kini dalam cengkeraman asing. Padahal,
data tersebut jelas-jelas rahasia negara yang tidak boleh diumbar begitu
saja.
Perangkat
lunak dalam e-KTP saat ini sangat bertentangan dengan kebijakan dasar tentang
teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang tertuang dalam Indonesia Go Open Source (IGOS).
Kebijakan TIK nasional mengarah untuk menggunakan dan mengembangkan perangkat
lunak sumber terbuka. IGOS dideklarasikan Kementerian Ristek, Kementerian
Kominfo, Kementerian Hukum-HAM, Kementerian PAN-RB, dan Kementerian
Pendidikan.
Gerakan
IGOS melibatkan seluruh stakeholder TIK seperti akademisi, sektor bisnis,
pemerintah, dan masyarakat lain. Hal itu dimulai dengan program menggunakan
perangkat lunak sumber terbuka di lingkungan instansi pemerintah. Sistem dan
perangkat e-KTP mestinya tidak boleh melalui pengadaan nasional yang
monopolistik dan beraroma kolusi oleh vendor asing. Mereka memakai samaran
pengusaha nasional dan lembaga pemerintah. Mestinya megaproyek e-KTP senilai
6,6 triliun rupiah itu melibatkan sebanyak mungkin pengembang dan perusahaan
dalam negeri.
Proyek
e-KTP hanya terkait dengan sistem business
intelegent, data base, dan analisis kependudukan untuk pembangunan serta
kondisi darurat. Dengan situasi yang terlanjur amburadul seperti sekarang,
kesalahan pemilihan teknologi e-KTP mengakibatkan negara tersandera vendor
asing.
Harus
ada audit total atau investigative
audit megaproyek e-KTP, baik terkait dengan pembiayaan ataupun teknologi.
Tingginya komponen impor dalam proyek e-KTP juga sangat menyedihkan. Padahal,
realitas industri elektronika di negeri kini hidup segan mati tak mau.
Mestinya
pemerintah menjadikan SIAK aplikasi terpusat (centralized application) yang bisa diakses dari tempat perekaman
data penduduk (TPDP) yang berbasis di kecamatan. Aplikasi tersebut hendaknya
tidak bersifat konformitas dan monopoli dari segi teknologi.
Sistem
SIAK mestinya tidak menggunakan database dan application server yang mahal dan bersifat dedicated ke vendor asing. Apalagi para pengembang dalam negeri
saat ini telah mampu membuat beberapa aplikasi, di antaranya untuk modul
pendaftaran penduduk berupa administrasi biodata, KK, dan KTP. Dalam modul
ini juga dimungkinkan perekaman data dan pencetakan dokumen KTP dan KK. Ada
juga modul pencatatan sipil berupa administrasi pendataan kelahiran,
kematian, perkawinan, dan perceraian.
Modul
ini juga berfungsi sebagai pencetakan akta kelahiran, kematian, perkawinan,
maupun perceraian dan perekaman data. Lalu modul pelaporan yang berisi data
rekapitulasi administrasi kependudukan seperti buku induk penduduk dan
rekapitulasi penduduk.
Selama
ini, pembuatan e-KTP mendapat sorotan tajam. Banyak pertanyaan, sejauh mana
manfaat e-KTP untuk meningkatkan tata kelola kependudukan dan kesejahteraaan
sosial. Apa manfaat nyata e-KTP bagi rakyat? Ironisnya, e-KTP juga belum
menjadi pendukung andal penyelenggaraan pemilu.
Kabur
Dalam
pandangan masyarakat awam, e-KTP memang berhenti kepada wujud blangko yang
materialnya terbuat dari bahan polyethylene yang di dalamnya tertanam chip.
Dia dirancang dengan keamanan pencetakan dengan hologram. Awam tidak memahami
nilai tambah blangko e-KTP yang kelewat mahal itu.
Fungsi
e-KTP dalam konteks global menjadi minimalis dan bernuasa pemborosan luar
biasa. Hingga kini fungsi strategis e-KTP masih kabur. Kalau cuma untuk
membuat nomor kependudukan tunggal dan mendukung daftar pemilih tetap (DPT)
pemilu, bukan manfaat esensial.
Fungsi
manfaat pasti e-KTP terkait hak kesejahteraan dan terkelolanya aspek
kependudukan secara efektif yang multiguna. Fungsi lainnya proses pembangunan
di segala bidang memiliki tingkat akurasi, transparasi, dan analisis bagus
karena berbasis data kependudukan real time.
Spesifikasi
perangkat keras dan lunak e-KTP terdiri dari chip, reader, atau writer chip
pada blangko. Kemudian Automated
Fingerprint Identification System (AFIS) yang terdiri dari perangkat
server, klien, sistem AFIS, pemindai sidik jari (fingerprint scanner) dan aplikasi, ternyata tidak memiliki
utilisasi signifikan terkait kebutuhan tahapan pemilu. AFIS juga belum tentu
bersifat kompatibel dengan sistem informasi pemilu yang antara lain untuk
menentukan akurasi DPT dan bebas dari manipulasi pemilih.
Perangkat
e-KTP diimpor mahal dengan spesifikasi teknis yang berlebihan, 6,6 triliun
rupiah, tapi belum bisa mengonsolidasi database yang cerdas untuk lintas
bidang bernegara (sosial, demokrasi, ekonomi, pendidikan, dan hankam).
Padahal perkembangan teknologi web
service saat ini mestinya bisa mewujudkan intelligence kependudukan yang diterapkan dari tingkat nasional,
provinsi, kabupaten, sampai kecamatan.
Kejanggalan
megaproyek e-KTP juga terlihat dari keputusan yang memilih interface
nirkontak (contactless) pada chip.
Keputusan yang kurang logis tersebut bisa membengkakkan anggaran. Ada selisih
biaya sekitar 1 dollar AS per blangko. Padahal, dalam dunia perbankan yang
memiliki prinsip kehati-hatian sangat tinggi saja tidak perlu menggunakan
interface nirkontak untuk kartu kredit dan ATM.
Meskipun
sudah memakan anggaran sangat besar, e-KTP masih sebatas sebagai alat
identitas diri. Dia belum terintegerasi secara cerdas dengan aspek lain
seperti medical record, rekening bank, dan lainnya. Bandingkan dengan kartu
di Malaysia, MyKad (elektonik ID Malaysia). Dia sebagai kartu identitas dan
SIM. Dia juga berfungsi sebagai basic
medical data, public key infrastructure, e-Cash, dan transit.
Padahal, UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan telah
mengatur chip dalam e-KTP mestinya menyimpan data peristiwa kelahiran,
kematian, perkawinan, dan perceraian. Data lain adalah pengakuan, pengesahan,
dan pengangkatan anak. Di sini termasuk juga perubahan nama dan status
kewarganegaraan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar