Ikhtiar
Menegakkan Multikulturalisme
Jamal Ma’mur A ; Peneliti dari Fiqh Sosial Institute Staimafa
Pati,
Pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama Jawa
Tengah
|
SUARA
MERDEKA, 21 November 2014
“Bangsa Indoensia terbukti mampu mempraktikkan
multikulturalisme dengan penuh persaudaraan”
KEMENTERIAN
Agama akan menyelenggarakan Annual
International Conference on Islamic Studies (AICIS) di Samarinda
Kalimantan Timur pada 21-24 November 2014. Kegiatan bertema ’’Merespons Tantangan Masyarakat
Multikultural: Kontribusi Kajian Islam Indonesia’’ itu terasa penting
mengingat realitas bangsa kita terdiri atas beragam kultur terkait dengan
pluralitas suku, agama, ras, dan antargolongan. Multikulturalisme adalah
ideologi yang menghargai kemajemukan dan menjadikannya sebagai aset dan
potensi besar pembangunan. Dalam konteks Indonesia, multikulturalisme adalah
realitas yang tidak bisa diingkari (sunnatullah) demi keutuhan NKRI, sesuai
dengan filosofi Bhinneka Tunggal Ika, bersatu dalam perbedaan.
Peneguhan
Islam yang menghargai multikulturalisme bangsa ini seperti sudah menjadi
bagian dari sejarah perjalanan Indonesia. Teks Piagam Jakarta yang diganti
dari primordial dan sektarian menjadi universal dan pluralistik adalah bukti
kekokohan fondasi kebangsaan dan keislaman para pendiri bangsa ini.
Keislaman
dan kebangsaan adalah dua elemen yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah
berdirinya bangsa Indonesia. Islam yang dianut mayoritas anak bangsa ini
datang dengan misi menebarkan kasih sayang bagi seluruh rakyat, lintas
sektoral, bukan sebagai agama yang melahikan disintegrasi dan disharmoni
antarelemen bangsa.
Pemberian
gelar Pahlawan Nasional kepada KH Abdul Wahab Hazbullah sebagai tokoh agama
dan bangsa adalah pengakuan pemerintah terhadap kontribusi besar kalangan
Islam dalam mengobarkan nasionalisme dan patriotisme untuk kemerdekaan
bangsa, dan mengisinya dengan pembangunan jasmani dan rohani.
Sebelumnya,
gelar Pahlawan Nasional diberikan kepada KH M Hasyim Asy’ari dan KH Abdul
Wahid Hasyim. Mereka tokoh yang mengawal proses berdirinya bangsa ini dengan
semangat keislaman inklusif, moderat, dan progresif. Dalam konteks ini, kita
tak bisa melupakan jasa besar KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), presiden ke- 4
yang merupakan agamawan dan pejuang demokrasi, pelindung kaum minoritas, dan
HAM. Gus Dur berjuang untuk membumikan Islam rahmatan lil alamin, Islam yang
menebarkan perdamaian, persaudaraan, dan kasih sayang, bukan agama yang
menebarkan kebencian, permusuhan, dan intoleransi kepada elemen bangsa lain.
Piagam
Madinah yang dirumuskan Nabi Muhammad bersama para pemimpin lintas sektoral
di Madinah membuktikan eksistensi Islam sebagai agama pemersatu, bukan agama
pemecah-belah. Nabi saw mampu menyatukan pemimpin Yahudi, Nasrani, suku, dan
kabilah dalam satu visi bersama, yaitu menjaga keamanan, ketertiban, dan
kebebasan menjalankan agama sesuai dengan keyakinan masing-masing. Tidak
Kontradiktif Dalam Islam ada doktrin tidak ada paksaan dalam agama (la ikraha fiddin). Agama lahir dari
kesadaran paling suci dalam diri manusia, bukan karena paksaan, ancaman, dan
intimidasi kekuasaan.
Pembumian
Islam sebagai agama yang menghargai multikultur mengharuskan agama Islam
sebagai agama mayoritas bangsa ini untuk menggali doktrin-doktrin yang
mempromosikan toleransi, kolaborasi, dan moderasi dengan elemen bangsa lain.
Selain itu, mereinterpretasi doktrin yang berisiko disalahpahami sekelompok
orang yang mengarah pada perilaku radikal, ekstrem, dan teror. Doktrin yang
perlu dipromosikan antara lain urgensi musyawarah dalam mengambil tiap
keputusan, tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, menjaga hak orang
lain, pertanggungjawaban amal, larangan menzalimi orang lain, dan sebagainya.
Doktrin
yang eksklusif dan radikal yang harus direinterpretasi dan dikontekstualisasi
supaya tidak kontradiktif dengan prinsip utama Islam adalah doktrin yang
menyatakan bahwa orang Islam itu lemah lembut kepada umat Islam tapi keras
kepada orang kafir, larangan bekerja sama dengan nonmuslim, larangan
mengucapkan salam, dan menganggap umat lain sebagai golongan sesat, dan
sebagainya.
Doktrin
seperti ini harus dimaknai secara parsial yang merespons kasus tertentu saat
itu sehingga bersifat tidak pasti (temporer) dan tidak bisa dimaknai secara
universal. Adapun kerja sama adalah doktrin yang pasti, yang mengikat seluruh
umat Islam karena bersifat universal. Dunia adalah wahana aktualisasi seluruh
potensi anak manusia lintas sektoral. Karena itu, kolaborasi untuk mencapai
tujuan bersama adalah keniscayaan. Negara-negara Islam banyak belajar dari
negara sekuler, seperti AS, Jepang, Jerman, Australia, Rusia, Tiongkok,
Inggris, Prancis, dan begitu sebaliknya.
Prinsip saling membutuhkan harus ditanamkan dan permusuhan harus
dihilangkan. Dunia membutuhkan ketenteraman, keamanan, dan kebersamaan. Kasus
permusuhan yang ditampakkan oleh Islamic
State dan agresi Israel ke Palestina harus diakhiri karena bertentangan dengan
prinsip kemanusiaan, persaudaraan, dan multikulturalisme. Indonesia harus
tampil sebagai negara terdepan yang menyuarakan multikulturalisme karena
bangsa ini terbukti mampu mempraktikkannya dengan penuh persaudaraan sejak
era prakemerdekaan hingga sekarang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar