Oligarki
Menggerus Golkar
Syamsuddin Haris ; Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia
|
KOMPAS,
21 November 2014
DI luar
dugaan para lawan politiknya, Ketua Umum Partai Golongan Karya Aburizal
Bakrie memajukan jadwal musyawarah nasional dari semula pada Januari 2015
menjadi akhir November 2014. Mengapa Aburizal kini justru ingin mempercepat
munas, padahal dulu menolaknya? Apa dampaknya bagi Golkar?
Dinamika
Golkar hampir selalu menarik sehingga tidak pernah sepi dari berita dan
sorotan media. Sebagai parpol tertua dengan segudang pengalaman politik,
organisasi, dan pemerintahan, serta sumber daya manusia relatif berlimpah,
perilaku dan pilihan politik Golkar sering kali menjadi rujukan parpol lain.
Tak mengherankan jika selama lebih dari 15 tahun reformasi, Golkar melahirkan
”golkar-golkar yunior” dalam bentuk parpol baru dengan haluan politik serupa
atau hampir mirip Golkar. Gerindra, Hanura, Nasdem, Demokrat, dan PKPI pada
dasarnya duplikasi Golkar yang akhirnya menjadikan massa partai beringin
sebagai basis elektoral mereka setiap pemilu.
Kegagalan beruntun
Selain
itu, sulit dimungkiri, Golkar adalah parpol pelopor yang mengusung ideologi
”tengah”, tak terperangkap ke dalam tarik-menarik ideologis yang bersifat
”kiri” atau ”kanan”. Tak heran parpol kepanjangan tangan tentara dan rezim
otoriter Soeharto ini bisa bertahan meski Orde Baru telah runtuh. Selama
empat kali pemilu legislatif pasca Soeharto, sejak 1999 hingga 2014,
perolehan suara Golkar dapat dikatakan relatif stabil. Pada Pemilu 2004
Golkar berhasil menjadi pemenang pemilu legislatif meski gagal memenangkan
Wiranto-Salahuddin Wahid sebagai calon presiden-calon wakil presiden yang
diusung partai berciri warna kuning ini.
Sayang
sekali modal politik melimpah yang dimiliki Golkar tak dikelola secara
cerdas, benar, dan maksimal di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie, ketua umum
terpilih hasil Munas Golkar di Palembang pada 2009. Akibatnya, Golkar tak
hanya gagal memanfaatkan peluang besar ketika Partai Demokrat ditinggalkan
pemilihnya pada Pemilu Legislatif 2014. Lebih jauh dari itu, Golkar juga
gagal mengusung calon presiden atau sekurang-kurangnya calon wakil presiden
sendiri. Dalam Pemilu Presiden 2014 yang lalu Golkar bergabung dengan Partai
Gerindra, PKS, PPP, dan PAN mengusung pencalonan Prabowo Subianto-Hatta
Rajasa sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.
Kegagalan
beruntun Aburizal inilah tampaknya yang menyebabkan dinamika internal Golkar
memanas. Perlawanan internal dari tokoh-tokoh tua dan muda muncul ke
permukaan dan menuntut penyelenggaraan munas pada Oktober 2014. Aspirasi itu
ditolak Aburizal dengan alasan Munas Palembang pada Oktober 2009 telah
menetapkan jadwal munas berikutnya pada Januari 2015. Para tokoh pesaing
Aburizal berpandangan, semestinya ketua umum tunduk pada konstitusi partai
yang mengamanatkan munas diselenggarakan setiap lima tahun. Atas usul dan
mediasi Akbar Tandjung, Ketua Umum Golkar periode 1999-2004, rapat pleno DPP
Golkar akhirnya memutuskan penyelenggaraan munas pada Januari 2015.
Perangkap oligarki
Kini, di
luar dugaan para lawan politiknya, Aburizal justru ingin memajukan kembali
jadwal munas pada akhir November 2014. Argumen yang digunakan adalah
munculnya aspirasi pimpinan dewan pimpinan daerah (DPD) I se-Indonesia dalam
rapat pimpinan nasional (rapimnas) yang digelar Golkar pekan ini, yang
anehnya bisa ”seragam” menghendaki percepatan penyelenggaraan munas.
Fenomena
mutakhir Golkar ini memang menarik meski agak mengkhawatirkan karena jelas
memperlihatkan kian melembaganya oligarki di tubuh parpol yang lahir sebagai sekretariat bersama pada
1964 ini. Betapa tidak, keputusan-keputusan kontroversial, dalam arti tidak
sesuai hasil rapat pleno DPP Golkar, pada umumnya dihasilkan oleh lembaga
rapimnas. Itu artinya, rapimnas yang merupakan lembaga pengambilan keputusan
tertinggi di bawah munas terperangkap sebagai organ kepanjangan tangan
Aburizal, bukan hanya untuk menolak aspirasi yang berbeda, melainkan juga
untuk mempertahankan kekuasaannya.
Perubahan
jadwal Munas Golkar yang sangat mendadak ini tampaknya berkaitan dengan
keinginan Aburizal maju kembali sebagai calon ketua umum periode 2014-2019.
Meski dianggap gagal pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014, Aburizal
kelihatannya agak gamang kalau harus meninggalkan dunia politik. Karena itu,
satu-satunya cara bagi putra sulung keluarga pengusaha Achmad Bakrie
mempertahankan kekuasaan sebagai ketua umum partai beringin untuk kedua kali.
Keinginan
pemilik usaha Grup Bakrie ini tentu sah-sah saja. Hanya mungkin caranya tak
sesuai harapan serta visi-misi baru Golkar sebagai partai modern yang
aspiratif dan demokratis. Selain itu, sebagai wujud tanggung jawab moral atas
kegagalan beruntun Golkar akhir-akhir ini, melalui munas nanti Aburizal
semestinya memberikan peluang lebih besar akan hadirnya kepemimpinan baru,
terutama dari para tokoh muda potensial.
Sumur dasar
Di
tengah meluasnya kritik terhadap semakin melembaganya oligarki dan
personalisasi kekuasaan di sejumlah parpol, perkembangan mutakhir Golkar
jelas suatu preseden sekaligus pesan buruk bagi upaya demokratisasi internal
parpol yang menjadi kebutuhan obyektif bangsa kita hari ini. Persoalannya,
Golkar sejauh ini dianggap sebagai parpol yang relatif stabil, baik dalam
mengelola dukungan elektoral maupun dalam sirkulasi kepemimpinan.
Jika
semangat oligarkis lebih mewarnai dinamika Munas Golkar, sulit diharapkan
parpol ini menjadi penentu masa depan politik bangsa kita. Implikasi politik
yang tidak diperhitungkan oleh Aburizal dan para pendukungnya adalah
kemungkinan terpecahnya kembali Partai Golkar sehingga ”golkar-golkar yunior”
dalam bentuk parpol baru lahir kembali.
Sejarah sudah mencatat, kekecewaan Wiranto terhadap Golkar pada 2004
melahirkan Partai Hanura, kekecewaan Prabowo atas partai beringin melahirkan
Gerindra, dan kekecewaan Surya Paloh dalam Munas Golkar di Palembang
melahirkan Partai Nasdem. Haruskah kekecewaan baru melahirkan parpol baru
yang pada akhirnya tak lebih dari ”duplikat Golkar”? Karena itu, sebelum
Golkar benar-benar terkubur ke dalam sumur dasar sejarah, tak ada pilihan
lain bagi Aburizal Bakrie kecuali berlapang dada dan membiarkan lahirnya
kepemimpinan baru dari rahim munas mendatang. Jangan membiarkan oligarki
menggerus tubuh Golkar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar