Menguji
Konstitusi Kita
Refly Harun ; Pengajar dan Praktisi Hukum Tata Negara
|
KOMPAS,
21 November 2014
”SEGALA warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya” (Pasal 27 Ayat [1] UUD 1945).
Basuki
Tjahaja Purnama akhirnya dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta oleh Presiden
Joko Widodo di Istana Negara, Rabu (19/11/2014). Seperti banyak soal di
negara ini, pelantikan ini mengundang pro dan kontra. Dari sisi aturan tak
ada yang salah dengan pelantikan Basuki. Basuki menggantikan Jokowi sebagai
Gubernur DKI karena kehendak hukum. Hal itu otomatis, tak digantungkan
kehendak pihak lain. Tidak DPRD DKI, tidak pula Presiden Jokowi. Presiden
hanya memiliki kewajiban administrasi mengangkat dan melantik Basuki sebagai
gubernur setelah pengunduran dirinya.
Pasal
203 Ayat (1) Perppu No 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali
Kota terang benderang menyatakan, ”Dalam
hal terjadi kekosongan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang diangkat
berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota menggantikan Gubernur,
Bupati, dan Walikota sampai dengan berakhir masa jabatannya”.
Jokowi-Basuki adalah pasangan gubernur-wakil gubernur yang terpilih dan
diangkat berdasarkan UU No 32/2004 sehingga Basuki berhak menggantikan Jokowi
hingga masa jabatan berakhir pada 2017.
UU No
32/2004 adalah satu- satunya UU yang mengatur pengangkatan kepala daerah dan
wakil kepala daerah terpilih, tak ada UU lain. Tidak juga UU No 29/ 2007
tentang Pemerintahan Provinsi DKI yang sering dijadikan dalih untuk
menyatakan Basuki tidak otomatis menggantikan Jokowi.
Memang,
ada dua pasal dalam UU No 29/2007 yang juga digunakan dalam Pilkada DKI 2012
yang dimenangi Jokowi-Basuki: Pasal 10 dan 11. Pasal 10 mengatur norma
pemilihan langsung gubernur dan wakil gubernur dengan sistem satu paket.
Pasal 11 menentukan suara minimal 50 persen plus satu untuk menang dalam satu
putaran, yang membedakan dengan daerah lain yang cukup dengan angka 30 persen
plus satu. Namun, soal pengangkatan gubernur-wakil gubernur terpilih, UU No
29/2007 tak menyatakan apa-apa. Penggunaan kata ”diangkat” dalam Pasal 203
Ayat (1) Perppu No 1/2014 yang hanya merujuk UU No 32/2004, karena itu, benar
adanya.
Andaipun
UU DKI mengatur pula soal pengangkatan dan penggantian gubernur yang
mengundurkan diri, normanya bisa dipastikan akan sama, yaitu wakil gubernur
akan menggantikan hingga masa jabatan berakhir. Ketentuan seperti ini
sesungguhnya norma universal yang berlaku di mana pun untuk pemilu pejabat
publik dengan sistem satu paket. Justru aneh jika gubernur pengganti Jokowi
dipilih DPRD DKI. Akan muncul ironi: wakil gubernur dipilih langsung oleh
rakyat, sedangkan gubernur ”cuma” dipilih DPRD.
Harusnya langsung
Rencana
sebagian komponen DPRD DKI yang hendak mempermasalahkan keppres pengangkatan
Basuki ke pengadilan tata usaha negara, menurut saya, sama sekali tak ada
gunanya. Hanya buang energi dan sia-sia. Terbitnya keppres pengangkatan
Basuki juga atas perintah UU. Justru keliru jika Presiden Jokowi tak
mengeluarkan keppres pengangkatan Basuki. Presiden tidak pada posisi
menentukan untuk mengangkat atau tidak mengangkat Basuki sebagai penggantinya
di tampuk pemerintahan DKI.
Ketika
Presiden SBY mengeluarkan keppres pemberhentian Jokowi sebagai gubernur DKI
karena mengundurkan diri, harusnya dalam kesempatan sama pula dikeluarkan
keppres pengangkatan Basuki sebagai gubernur pengganti. Namun, ini tak
dilakukan, padahal saat itu perppu telah berlaku. Penyakit ”birokratisasi”
pengambilan sumpah pejabat publik yang dipilih langsung rakyat masih mendera
bangsa ini.
Saat
Jokowi sudah berada di takhta kepresidenan pun keppres pengangkatan Basuki
tak segera keluar. Malah Kemendagri meminta DPRD DKI, yang mayoritas dikuasai
penentang Basuki, menggelar sidang paripurna untuk mengumumkan dan
mengusulkan pengangkatan Basuki sebagai pengganti Jokowi. Tak heran sidang
paripurna sepi anggota. Padahal, Perppu No 1/2014 sama sekali tak mengatur
mekanisme ini. Sedikit blunder dari Kemendagri ini membuat sebagian anasir
DPRD DKI berimajinasi tentang tak otomatisnya Basuki menggantikan Jokowi.
Prinsip kesamaan
Bahwa
Basuki Gubernur DKI mulai Rabu lalu hingga 2017 merupakan fakta hukum yang
tak bisa disanggah karena punya dasar kuat. Terima saja kenyataan ini
sebaik-baiknya. Jadikan Basuki ujian kita dalam bernegara dan berkonstitusi.
Ketika pendiri negara merumuskan UUD 1945, sudah ada pasal yang memuat hak
atas kesamaan di depan hukum dan pemerintahan (equality before the law and government).
”Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya” adalah sedikit dari hak warga
negara yang tercantum dalam UUD 1945 sebelum diamandemen. Dalam gelombang
reformasi konstitusi 1999-2002, pasal ini termasuk sedikit norma yang tetap
dipertahankan apa adanya.
Bahkan,
Perubahan Kedua UUD 1945 (2000) memperkuat keberadaan pasal ini dengan
ketentuan baru yang maknanya hampir serupa, yaitu Pasal 28D Ayat (1) yang
berbunyi, ”Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Berikutnya Pasal 28D Ayat (3) yang
berbunyi, ”Setiap warga negara berhak
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Dari
perspektif konstitusi, terlepas dari tiga minoritas yang melekat, yaitu
minoritas dari segi etnis, agama, asal daerah, Basuki memiliki hak sama
dengan warga negara lain, baik dalam hukum maupun pemerintahan. Kesempatan
duduk dalam pemerintahan tak hanya diperuntukkan kalangan mayoritas, tetapi
untuk semua warga negara.
Sejak
1945, pasal tentang kesempatan yang sama dalam pemerintahan sudah tercantum.
Apakah, setelah sekian lama ketentuan itu tercantum dalam buku konstitusi
kita, mau diingkari hanya karena fenomena seorang Basuki? Fenomena yang
mungkin tak pernah kita bayangkan sebelumnya, ada seorang etnis Tionghoa
memimpin Jakarta, dari agama minoritas pula serta dari daerah yang juga bukan
mayoritas (Belitung Timur).
Sungguh Basuki adalah ujian bagi kita semua. Ujian bagi ketaatan kita
akan konstitusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar