Mewujudkan
Booming Negarawan
Misranto ; Guru
Besar dan Rektor Universitas Merdeka Pasuruan
|
MEDIA
INDONESIA, 31 Oktober 2014
PERTANYAAN sederhana namun
`menggemaskan' ialah mengapa tidak sedikit kekuatan politik, khususnya dari
kelompok oportunis, yang tidak menyukai Joko Widodo (Jokowi) menjadi
presiden? Atau mengapa Jokowi yang dipilih rakyat untuk menjadi presiden?
Atau mengapa harus Jokowi yang dipilih rakyat untuk menjadi presiden?
Ketakutan komunitas elite
oportunis itu sejatinya dilandasi ketakutan kalau Jokowi akan gencar
mewujudkan program-program strategis yang bertajuk perubahan. Jika perubahan
itu sampai gencar dilakukan Jokowi, pola oportunisme menjadi kehilangan `lahan'
atau sumber-sumber kriminalisasi yang selama ini menguntungkannya, menjadi
tergusur.
“Orang yang paling tidak bahagia ialah mereka yang paling takut
pada perubahan,“ demikian pernyataan Mognon Me
Lauhlin, yang menunjukkan kesejatian hubungan antara perubahan dan keba
hagiaan. Jika berbagai perubahan gencar digalakkan Jokowi, seperti soal
kesehatan, ekonomi kerakyatan, layanan publik, dan lainnya, otomatis rakyat
diantarkan menuai kebahagiaan.
Dari perubahan yang digalakkan
Jokowi, kebahagiaan bisa dihadirkan dan disejarahkan. Kalau setiap menteri
dan `pasukan di bawahnya' memahami dan gencar mewujudkan idealitas
presidennya, kebahagiaan akhirnya membumi. Kebahagiaan rakyat, yang sebelum
era Jokowi menjadi barang mahal, berubah menjadi hak yang murah dan mudah
dinikmatinya.
Sayangnya, di tengah masyarakat
masih banyak ditemukan kekuatan elitis yang lebih menyukai mempertahankan
mental oportunistisnya. Mereka tidak ingin mengubah dirinya menjadi
negarawan, padahal sekarang ini, Republik Indonesia sedang membutuhkan
booming negarawan.
Komunitas elite oportunis itu
memang bisa memuaskan kepentingan diri atau egoisme sektoralnya, namun gagal
memberikan atau menumbuhsuburkan kebahagiaan bagi bangsa dan rakyat.
Ironisnya lagi, mereka masih mengawetkan gaya `koboi' dalam pergulat an mewu
judkan ambisi politiknya. `Radikalisme' politik eksklusifnya dapat terbaca
dalam persidangan-persidangan DPR belakangan ini.
Seharusnya mereka bisa membaca
dengan cerdas dan cepat, seperti yang dilakukan Jokowi bahwa rakyat negeri
ini membutuhkan tangantangan kuat yang dibuktikan dengan etos kerja tinggi,
dan bukan syahwat berkelahi yang menguras energi. Mereka selayaknya paham
kalau sudah sekian lama rakyat teralienasi dari kebahagiaan.
Pemburu kekuasaan
Para elitis itu gampang terbaca
kalau mentalitasnya masih bukan sebagai pengubah (pejuang) yang gigih
membahagiakan rakyat atau berjiwa negarawan, tetapi oportunis yang sibuk
memburu kekuasaan dan membuka celahcelah yang mendatangkan kekayaan
berlimpah.
Mereka itu barangkali tergiur
dengan pesona para oportunis terdahulu yang lihai membuat `terobosan'. Berkat
sepak terjang mereka ini, berbagai bentuk keuntungan berlimpah bisa diraih,
meskipun dengan risiko berhadapan dengan pertanggungjawaban hukum.
Itu terbukti, saat oportunis terdahulu
baru 2-3 tahun bertualang merambah rimba gelap birokrasi dan kolaborasi
proyek, indeks prestasi kekayaannya melambung tinggi.Kekayaan yang dinilai imposible ini tentu saja membuat
rakyat miskin bertanya-tanya, mengapa jadi politisi di negeri ini gampang
memperkaya diri?
Itu bisa terjadi akibat kuatnya
budaya KKN atau neokleptokratisme di rezim terdahulu yang mencengkeram. Dalam
buku yang ditulis Eko Prasetio yang berjudul Kejahatan Negara misalnya, ia
menunjukkan satu contoh kasus tentang kekayaan salah seorang selebritas
politik Indonesia, yang semula sebelum jadi politikus, hanya tinggal di
kos-kosan bertarif sangat murah. Namun, tidak lebih dari 2 tahun menjabat,
kekayaannya sudah miliaran rupiah. Mengapa ke kayaan bisa cepat melangit?
Selebritas politik itu sukanya
membawa atau menghadapkan rekanan ke berbagai daerah. Pola makelar itu
berbuah fee atau kompensasi yang tidak sedikit. Dia bukan hanya mendapatkan
hadiah atas jasa-jasanya, melainkan juga mampu menciptakan kondisi yang
membuat rekanan merasa takut dan bergantung kepadanya, sehingga gratifikasi
terus mengalir secara rutin.
Pola lama itu ialah aji
mumpung, alias begitu tersedia peluang strategis, para oportunis itu gampang
sekali mengajukan tawaran hubungan baik dengan pihak-pihak tertentu yang
dinilai menguntungkannya secara ekonomi dan politik. Ironisnya, saat
kesempatan tidak terbuka, elitis itu berusaha menciptakan kondisi yang
memungkinkan para pejabat di daerah tergiring mengamini tawarannya.
Pola memburu, mengumpulkan, dan
menimbun kekayaan saat menempati posisi strategis di DPR, merupakan salah
satu mentalitas mendarah daging, pola pembudayaan yang menyatu dengan dimensi
patronasi struktural, atau jalan pragmatis yang dibuatnya menjadi logis dan
patut.
Gaya DPR seperti itu, jelas jika
dipertahankan di era sekarang, akan menghambat booming negarawan. Sebagai
pilar negara, mereka berkewajiban mengasah kecerdasan batin agar komitmen
mereka pada kepentingan rakyat menguat.Sementara hasrat (nafsu) mementingkan
egoisme sektoral atau kelompok menjadi melemah.
Kekuatan utama
Komitmen kerakyatan yang
menguat merupakan roh negarawan. Saat program-program perubahan yang
digencarkan Jokowi ternyata menemui banyak batu sandungan, itu artinya para
elitis yang belum bermental negarawan tidak berusaha mengonstruksi negeri ini
menjadi Indonesia Hebat.
Franz Magnis Suseno menyatakan,
bahwa moral merupakan kekuatan utama dan fondasi normatif yang menyangga
kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan. Kalau moral ini tidak digunakan
setiap pilar bangsa, bangunan bangsa itu akan keropos. Moral itulah yang
menentukan kenegarawanan seseorang berstatus elitis.
Para oportunis yang tidak back to moral merupakan penyakit
serius bangsa ini sekarang dan masa mendatang. Mereka yang bangga
memerangkapkan dirinya di ranah ini tidak akan pernah bisa memberi yang
terbaik pada bangsa ini. Dalam pikiran dan aksi-aksi politik mereka lebih
dicenderungkan pada upaya menjarah segala sumber daya yang terbaik dari
bangsa ini.
Negara ini memang kaya politisi
bergelar edukasi tinggi. Sayangnya gelar yang disandangnya tidak diikuti
dengan menegakkan tingginya komitmen moral berelasi kerakyatan dan
kebangsaan. Komitmen pribadi secara eksklusif berupa nafsu memperkaya diri,
kelompok, dan keluarga jauh lebih ditinggikan jika dibandingkan dengan
keinginan memperkaya (baca: menyejahterakan) kehidupan rakyat.
Rakyat sudah demikian berat
akibat menanggung beban arogansi penyimpangan kekuasaan yang dilakukan
segelintir elite politisi di rezim terdahulu yang berkolaborasi dengan oknum
pengusaha dan eksekutif. Rakyat dalam kondisi ini jelas membutuhkan booming negarawan untuk melakukan
perubahan di banyak sektor strategis.
Ketika politisi masih
mengeksplorasikan syahwat memperkaya diri dan kelompok masing-masing,
rakyatlah yang menjadi korban berkepanjangan. Saat politisi yang seharusnya
mengawal pembangunan justru jadi makelar dan koboi mengikuti irama keinginan
kelompok mereka, jelas sulit diharapkan mereka punya kecerdasan untuk membaca
dan mengapresiasi aspirasi rakyat. Bagaimana mungkin pikiran mereka masih
bening dan kecerdasan mereka masih istimewa, kalau kalkulasi gratifikasi
lebih mendominasi dan memperbudak diri.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar