Sabtu, 02 November 2013

Sengketa Pilkada dan Demokrasi

Sengketa Pilkada dan Demokrasi
Lambang Trijono ;   Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada
KOMPAS, 01 November 2013


Akhir-akhir ini muncul perdebatan di ranah publik tentang perlu tidaknya sengketa pilkada ditangani Mahkamah Konstitusi. Perdebatan itu muncul setelah Mahkamah Konstitusi dilanda krisis legitimasi terkait skandal suap yang menimpa ketuanya yang kini telah diberhentikan.

Sejumlah argumen muncul terkait soal itu. Sebagian mengatakan, sebaiknya sengketa hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) tidak lagi ditangani Mahkamah Konstitusi (MK) sebab secara eksplisit MK tidak diberi kewenangan untuk itu. Dalam UUD hanya disebutkan MK berwenang memutus sengketa hasil pemilu. Alasan ini kita sebut alasan hukum tertulis. Mengacu pada ketentuan hukum sesuai teksnya, seperti apa yang tertulis dalam UUD.

Argumen lain mengatakan, kewenangan MK memutus sengketa pilkada sebaiknya tidak perlu dicabut. Memang UUD secara eksplisit tidak menyebut kewenangan itu. Pada saat UUD amandemen dibuat, memang belum terbayang akan ada sengketa pilkada. Akan tetapi, menghadapi situasi sekarang, kewenangan MK menangani sengketa hasil pemilu itu bisa diperluas ke sengketa hasil pilkada.
Alasan ini kita sebut alasan hukum dinamik atau progresif. Selain memperhatikan suasana alam pikir, inisiatif hakim konstitusi memutus suatu perkara bisa menjadi produk hukum, yang bisa dijadikan acuan sebagai norma hukum dalam memutus perkara serupa.

Kedua pandangan ini mewarnai arus utama alasan perlu tidaknya MK menangani sengketa hasil pilkada. Selain itu, masih ada argumen lain yang mengemuka, seperti sebaiknya penanganan sengketa pilkada dialihkan ke Mahkamah Agung (MA) atau pilkada dihapus saja, diganti pemilihan oleh DPRD.

Alam pikir

Mencermati berbagai argumen di atas, terbayang betapa masih menggantungnya masalah sengketa pilkada. Kenyataan politik yang berkembang sekarang menunjukkan begitu semakin transaksionalnya praktik demokrasi. Bahkan, hal itu semakin mendapat kewajaran dari proseduralisme yang berlangsung dari penyelesaian hukum sengketa politik itu.

Kecenderungan itu pada ujungnya akan menemui jalan buntu. Ketika kewenangan MK dipertanyakan dalam soal ini, maka akan berujung pada perlunya mengamandemen konstitusi. Ujung yang sama juga akan ditemui jika dialihkan ke MA atau pilkada dihapus. Setidaknya hal itu apabila ketentuan hukum tertulis, atau bagaimana bunyinya menurut UUD, dijadikan referensi utama.

Situasi politik jalan buntu itu tidak akan terjadi jika kita memahami alam pikir dan suasana batin reformasi yang mengantar dilakukan amandemen UUD 1945. Hanya, sayangnya, UUD amandemen tidak memberikan penjelasan memadai soal itu; apa dan bagaimana alam pikir dan suasana batin politik saat itu yang mendasari dilakukan amandemen UUD 1945.

Alam pikir dan suasana batin dari lahirnya sebuah UUD sangat penting diketahui publik. Seperti ditekankan dalam penjelasan UUD 1945, alam pikir dan suasana batin dari UUD penting untuk diketahui; apa maksud UUD itu dibikin, aliran pikiran apa yang mendasari dan bagaimana suasana batin dari UUD itu. Dalam kaitan dengan UUD 1945, hal itu tidak lain adalah semangat kemerdekaan. Dengan begitu, bisa dimengerti bagaimana UUD itu harus diterjemahkan ke dalam penyelenggaraan negara dan pembentukan UU.

Suasana batin demokrasi

Sejauh ini, kita telah menjalankan reformasi politik menuju demokrasi. Sejauh itu pula, kita memasuki alam pikir demokrasi yang mengedepankan pentingnya kebebasan dan kesetaraan bagi seluruh warga negara.

Tidak hanya bebas dari segala bentuk koersi dan ketidakadilan, tetapi juga bebas untuk mencapai kehidupan lebih baik dalam semangat kesetaraan dan persaudaraan segenap warga bangsa.
Namun, alam pikir dan suasana batin kadang tidak selalu seirama. Apa yang baik menurut pikiran dan gagasan itu tidak selalu terjadi dalam praktik hidup nyata. Terutama ketika ide- ide dan pikiran itu terlalu cepat dikristalisasi atau diberi bentuk menjadi teks UU dan tidak dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Sekarang ini kita saksikan kegalauan dan apatisme terhadap demokrasi terjadi di mana-mana karena begitu senjangnya representasi politik dan artikulasi kepentingan publik. Kegalauan itu mencerminkan krisis demokrasi sedang berlangsung.

Keadaan ini tidak hanya dialami Indonesia, tetapi juga terjadi di banyak negara dan menjadi problem global. Terlalu dangkalnya praktik demokrasi hanya menekankan nalar instrumental, proseduralisme, konsensus dan kompromi, dengan mengabaikan dimensi nalar publik, afeksi, semangat, harapan, ketegangan dan konflik yang semestinya mendapat jawaban dari praktik demokrasi ditengarai menjadi penyebab utama.

Kegalauan itu tidak bisa kita abaikan dan harus memperoleh jawaban dari praktik demokrasi. Kegagalan menjawab problem itu, ketika horizon demokrasi tidak memberikan saluran yang nyata, bisa menyebabkan tumbuhnya fundamentalisme dan kekerasan politik yang membahayakan sistem demokrasi.

Menghadapi situasi dilematis itu, sepertinya kita perlu berpikir ulang apakah tidak sebaiknya sengketa pilkada dikembalikan ke lembaga pemilu independen dan proses-proses penyelesaian demokratis berlangsung di ranah publik. Kalaupun terpaksa harus dibawa ke meja hakim konstitusi, kita berharap proses sidang dan mekanismenya betul-betul dijalankan dalam suasana batin dan alam pikir demokrasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar