Kamis, 21 November 2013

RUU Pemerintahan Papua Butuh Legitimasi

RUU Pemerintahan Papua Butuh Legitimasi
Neles Tebay  ;   Dosen STFT Fajar Timur,
Koordinator Jaringan Damai Papua di Jayapura
SINAR HARAPAN,  20 November 2013



Sekalipun Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua baru  diimplementasikan 12 tahun, pemerintah ingin menetapkan lagi satu Undang-Undang baru tentang pemerintahan Papua.

Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemerintahan Papua sedang dirampungkan Tim Asistensi dari Universitas Cenderawasih (Uncen). Dalam waktu dekat, draf final RUU tersebut akan diserahkan pada Menteri Dalam Negeri, guna diteruskan kepada Komisi II DPR agar ditetapkan sebagai Undang-Undang bulan Desember 2013.

Bila diamati secara cermat, hanya tim Asistensi yang terdiri dari beberapa dosen Uncen bersama sejumlah (tidak semua) elite birokrat provinsi dan kabupaten/kota Provinsi Papua yang sibuk menyusun draf RUU tersebut. Proses pembuatannya begitu tergesa-gesa sehingga rakyat Papua tidak terlibat dan dilibatkan dalam proses pembahasan RUU tersebut.

Apa dampaknya bila rakyat Papua tidak dilibatkan dalam membahas RUU Pemerintahan Papua?

Kami membagi rakyat Papua dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah Warga Negara Indonesia (WNI) di Provinsi Papua, yang selanjutnya akan disebut WNI. Mereka berbeda suku, agama, ras, dan profesi, tetapi mengakui dirinya sebagai orang Indonesia. Ada yang berkulit hitam dan berambut keriting, ada juga yang berkulit sawo matang dan berambut lurus, tetapi semuanya mengibarkan bendera Merah Putih di Tanah Papua.

Pemerintah mengabaikan keterlibatan WNI, terutama yang bukan pegawai negeri sipil (PNS), dalam pembahasan draf RUU Pemerintahan Papua. Pengabaian ini tak terbantahkan karena pemerintah tidak melakukan konsultasi dengan para tokoh agama, tokoh adat, tokoh perempuan pemuda, dan mahasiswa di Tanah Papua.

Janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pidato kenegaraannya tahun 2010, tentang komitmen pemerintah untuk membangun komuniksi konstruktif dengan rakyat Papua, belum dilaksanakan hingga kini. Malah tanpa didahului komunikasi konstruktif dengan rakyat Papua, pemerintah akan menetapkan UU Pemerintahan Papua.

Diabaikan dari proses pembahasan draf RUU Pemerintahan Papua, WNI di Papua tidak mengetahui isi draf RUU yang sedang dirampungkan. Mereka masih bertanya, masalah-masalah apa saja yang diakomodasi dalam draf RUU tersebut? Masalah siapa yang hendak diatasi melalui implementasi UU Pemerintahan Papua?

Pemerintah seharusnya mengadopsi mekanisme inklusif, yang memungkinkan semua pihak yang berkepentingan berpartisipasi membahas draf RUU Pemerintahan Papua. Namun, kenyataan memperlihatkan pemerintah lebih mengedepankan mekanisme eksklusif yang mengabaikan partisipasi rakyat Papua.

Sebagai akibat dari pengabaian ini, rakyat Papua tidak akan merasa memiliki draf RUU Pemerintahan Papua. Sekalipun RUU ini diundang-undangkan DPR dan ditandatangani Presiden SBY, dia tidak akan mendapatkan legitimasi dari WNI di Provinsi Papua.

OPM
Kelompok kedua dari rakyat Papua yang diabaikan dalam pembahasan draf UU Pemerintahan Papua, adalah Orang Asli Papua yang tergabung dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM). Mereka tidak mengakui dirinya sebagai orang Indonesia. Mereka lebih dikenal sebagai separatis karena berjuang memisahkan Papua dari Indonesia.

OPM terdiri dari tiga kelompok, orang asli Papua yang memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat di berbagai kota dan kampung di Tanah Papua, yang bergerilya di hutan sebagai anggota Tentara Pembebasan Nasional (TPN), dan yang hidup di luar negeri.

Selama 50 tahun OPM telah melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Indonesia yang dipandangnya sebagai penjajah di Tanah Papua. Perlawanannya dinyatakan secara konsisten, dengan dan tanpa kekerasan, mengakibatkan konflik Papua tetap membara.

Bila pemerintah sungguh berkomitmen menyelesaikan secara komprehensif berbagai permasalahan mendasar yang memicu separatisme Papua melalui UU Pemerintahan Papua, para tokoh OPM, baik di dalam maupun di luar negeri, mesti dilibatkan dalam proses pembahasan RUU tersebut.

Pengabaian OPM dapat berakibat fatal. OPM telah menolak kebijakan Otsus yang ditetapkan pemerintah secara sepihak untuk meredam tuntutan Papua Merdeka. Kebijakan ini ditolak, terutama karena solusi Otsus bukan merupakan hasil dialog atau negosiasi antara OPM dan pemerintah.

Selain itu, OPM menyaksikan ketidakberhasilan pemerintah menyelesaikan masalah ketidakadilan ekonomi, politik, kebudayaan, hukum dan hak-hak asasi manusia, serta sejarah melalui implementasi UU Otsus Papua selama 12 tahun. Hal ini memperdalam ketidakpercayaan mereka terhadap pemerintah dan memperkokoh resistensinya.

Akan terjadi resistensi rakyat Papua bila UU Pemerintahan Papua ditetapkan tanpa keterlibatan OPM. Resistensi OPM akan mengakibatkan konflik Papua terus membara, juga setelah pengesahan UU Pemerintahan Papua. Kita akan mendengar tuntutan referendum disuarakan generasi muda Papua kelahiran tahun 1980-an. Bendera Bintang Kejora dikibarkan. Warga sipil, anggota POLRI, serta TNIU tewas karena penembakan.

Dialog

Menurut pengamatan kami, konflik Papua yang berlangsung selama 50 tahun sudah menjadi “duri dalam daging”. Setiap kali ada pihak yang menyentuh “duri” ini, pemerintah akan terus terusik. “Duri” konflik Papua akan selalu mengganggu ketenteraman pemerintah, selama solusi komprehensif belum ditemukan oleh pemerintah dan rakyat Papua (WNI dan OPM) melalui rangkaian dialog.

Ruang dialog mesti dibuka. Komunikasi konstruktif mesti dilancarkan dengan semua pemangku kepentingan dalam menggodok draf RUU Pemerintahan Papua. Dengan demikian, UU Pemerintahan Papua menjadi hasil dialog dan mendapatkan legitimasi kuat dari rakyat Papua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar