Rabu, 20 November 2013

Menghina Pengadilan

Menghina Pengadilan
Saharuddin Daming  Dosen Universitas Ibnu Khaldun
TEMPO.CO,  20 November 2013
  

Sejak skandal suap yang melibatkan AM menyeruak ke ruang publik, sejak itulah citra dan wibawa Mahkamah Konstitusi (MK) semakin melorot. Fenomena kegeraman dan ketidakpercayaan publik terhadap MK berpuncak pada aksi amuk massa di ruang sidang MK pada 14 November lalu. Ironisnya, para hakim konstitusi yang diwakili Harjono lebih menekankan peristiwa itu sebagai penghinaan terhadap pengadilan (contempt of court) daripada momentum introspeksi, koreksi, dan evaluasi diri. 

Tak dapat dimungkiri bahwa aksi amuk massa tersebut merupakan penghinaan. Tapi pranata hukum ini dalam konstelasi hukum Indonesia baru merupakan hukum yang dicitakan (ius constituendum) dan belum menjadi hukum yang berlaku (ius constitutum). Pengaturan tentang penghinaan terhadap pengadilan tertuang dalam Bab IV Pasal 328 huruf D RUU KUHPid dengan rumusan yang berbunyi: setiap orang yang secara melawan hukum mempublikasikan atau memperkenankan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan adalah tindakan contempt of court.  

Jika RUU tersebut kelak disahkan oleh DPR dengan rumusan seperti itu, nilai demokrasi dan hak kebebasan yang dijamin oleh konstitusi akan terbelenggu. Potensi kreativitas dan hak warga negara untuk mengkritisi dunia peradilan akan terbungkam. Sejak itu, pengadilan akan menjadi sakral dan tabu bagi segala yang berbau kritik karena akan berbuah kriminalisasi. Ini sangat berbahaya karena akan menjadi cikal-bakal lahirnya tirani peradilan yang cenderung memperagakan pengadilan gelap (the dark justice) dengan mengeksploitasi hukum dan keadilan serta otoritas hakim yang absolut.

Parahnya, contempt of court dalam RUU tersebut sama sekali tidak menjangkau fungsionaris peradilan sendiri. Padahal, bukankah contempt of court dapat juga dilakukan oleh fungsionaris peradilan? Sudah merupakan bukti yang tak terbantahkan bahwa fenomena keterpurukan wibawa peradilan kita saat ini justru disebabkan oleh ulah fungsionaris peradilan sendiri. Gagasan contempt of court yang tertuang dalam RUU tersebut tidak lain adalah untuk semakin mengukuhkan tirani dan mafia peradilan. 

Sampai di sini hukum terkesan hanya menjadi alat legitimasi bagi otoritas peradilan untuk melahirkan kepatuhan hukum, sebagaimana ajaran John Austin bahwa hukum adalah perintah pihak yang berdaulat; tidak ada hukum berarti tidak ada kedaulatan, jadi tidak ada kedaulatan jika tidak ada hukum. Pandangan Austin yang menempatkan hukum seperti itu berat sebelah karena fungsi hukum, menurut Roscoe Pound, tidak hanya sebagai alat kontrol sosial (a tool of social control), tapi juga sebagai alat rekayasa sosial (a tool of social engineering). Dalam hal ini hukum seyogianya mengubah dan membangun perilaku masyarakat, termasuk pejabat peradilan sendiri, agar patuh terhadap  hukum menuju tujuan hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

Adanya rumusan ketentuan tentang contempt of court dalam RUU KUHPid yang baru secara psikologis akan menimbulkan ketakutan bagi publik. Setiap orang berpotensi untuk ditangkap dan diadili, bahkan dipenjara, hanya karena ia mempersoalkan proses peradilan yang dianggapnya tidak wajar. Sampai di sini tujuan hukum untuk mewujudkan kemanfaatan yang sebesar-besarnya sebagaimana yang diajarkan kaum utilities tidak terwujud. Jeremy Bentham, tokoh utama aliran utility, merindukan terciptanya kebahagiaan tertinggi dari hukum. 

Ditinjau dari aspek ketaatan hukum yang terbingkai dalam teori dasar norma (ground norm) oleh Hans Kelsen, gagasan contempt of court sebagaimana yang tertuang dalam RUU KUHPid menimbulkan masalah besar. Sebab, pada satu sisi, UUD 1945 hasil amendemen, khususnya pada Pasal 28 huruf f, menjamin kebebasan setiap warga negara untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat, termasuk terhadap proses peradilan. Tapi pada sisi lain ada ketentuan yang mengatur sebaliknya. Tragisnya, ketentuan yang melarang, yaitu undang-undang, justru lebih rendah kedudukannya daripada yang membolehkan, yaitu UUD yang tidak lain adalah ground norm. 

Untuk menciptakan tata kerja yang harmonis, seimbang, dan selaras di antara elemen penyelenggaraan negara, termasuk kekuasaan peradilan, maka segala ketentuan hukum yang mengatur hal itu harus menjadi bagian dari suatu sistem hukum yang berlaku. Anehnya, contempt of court yang termuat dalam RUU KHUPid justru banyak bertentangan dengan ketentuan yang sudah ada, khususnya ketentuan mengenai HAM. Dengan demikian RUU yang dimaksud justru mengacaukan nilai sistem hukum yang kita anut. 

Karena itu, penulis berkesimpulan bahwa adanya ketentuan mengenai tindak pidana terhadap proses peradilan dalam RUU KUHPid tidak akan memperbaiki kerusakan yang telah terjadi dalam sistem peradilan Indonesia. Sebab, kebutuhan yang paling diperlukan untuk melakukan perbaikan dalam peradilan kita saat ini adalah menghilangkan penyakit korupsi, kolusi, dan nepotisme yang telah berurat akar dalam tubuh fungsionaris hukum. Untuk menghilangkan penyakit tersebut, diperlukan reformasi total yang mencakup substansi, kultur, dan struktur.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar