Sejak skandal suap yang melibatkan AM
menyeruak ke ruang publik, sejak itulah citra dan wibawa Mahkamah
Konstitusi (MK) semakin melorot. Fenomena kegeraman dan ketidakpercayaan
publik terhadap MK berpuncak pada aksi amuk massa di ruang sidang MK pada
14 November lalu. Ironisnya, para hakim konstitusi yang diwakili Harjono
lebih menekankan peristiwa itu sebagai penghinaan terhadap pengadilan (contempt of court) daripada momentum
introspeksi, koreksi, dan evaluasi diri.
Tak dapat dimungkiri bahwa aksi amuk massa
tersebut merupakan penghinaan. Tapi pranata hukum ini dalam konstelasi
hukum Indonesia baru merupakan hukum yang dicitakan (ius constituendum) dan belum menjadi hukum yang berlaku (ius constitutum). Pengaturan tentang
penghinaan terhadap pengadilan tertuang dalam Bab IV Pasal 328 huruf D RUU
KUHPid dengan rumusan yang berbunyi: setiap orang yang secara melawan hukum
mempublikasikan atau memperkenankan untuk dipublikasikan segala sesuatu
yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim
dalam sidang pengadilan adalah tindakan contempt of court.
Jika RUU tersebut kelak disahkan oleh DPR
dengan rumusan seperti itu, nilai demokrasi dan hak kebebasan yang dijamin
oleh konstitusi akan terbelenggu. Potensi kreativitas dan hak warga negara
untuk mengkritisi dunia peradilan akan terbungkam. Sejak itu, pengadilan akan
menjadi sakral dan tabu bagi segala yang berbau kritik karena akan berbuah
kriminalisasi. Ini sangat berbahaya karena akan menjadi cikal-bakal
lahirnya tirani peradilan yang cenderung memperagakan pengadilan gelap (the dark justice) dengan
mengeksploitasi hukum dan keadilan serta otoritas hakim yang absolut.
Parahnya, contempt of court dalam RUU tersebut sama sekali tidak
menjangkau fungsionaris peradilan sendiri. Padahal, bukankah contempt of court dapat juga
dilakukan oleh fungsionaris peradilan? Sudah merupakan bukti yang tak
terbantahkan bahwa fenomena keterpurukan wibawa peradilan kita saat ini
justru disebabkan oleh ulah fungsionaris peradilan sendiri. Gagasan contempt of court yang tertuang
dalam RUU tersebut tidak lain adalah untuk semakin mengukuhkan tirani dan
mafia peradilan.
Sampai di sini hukum terkesan hanya menjadi
alat legitimasi bagi otoritas peradilan untuk melahirkan kepatuhan hukum,
sebagaimana ajaran John Austin bahwa hukum adalah perintah pihak yang
berdaulat; tidak ada hukum berarti tidak ada kedaulatan, jadi tidak ada
kedaulatan jika tidak ada hukum. Pandangan Austin yang menempatkan hukum
seperti itu berat sebelah karena fungsi hukum, menurut Roscoe Pound, tidak
hanya sebagai alat kontrol sosial (a
tool of social control), tapi juga sebagai alat rekayasa sosial (a tool of social engineering). Dalam
hal ini hukum seyogianya mengubah dan membangun perilaku masyarakat,
termasuk pejabat peradilan sendiri, agar patuh terhadap hukum menuju
tujuan hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Adanya rumusan ketentuan tentang contempt of court dalam RUU KUHPid
yang baru secara psikologis akan menimbulkan ketakutan bagi publik. Setiap
orang berpotensi untuk ditangkap dan diadili, bahkan dipenjara, hanya
karena ia mempersoalkan proses peradilan yang dianggapnya tidak wajar.
Sampai di sini tujuan hukum untuk mewujudkan kemanfaatan yang
sebesar-besarnya sebagaimana yang diajarkan kaum utilities tidak terwujud. Jeremy Bentham, tokoh utama aliran
utility, merindukan terciptanya kebahagiaan tertinggi dari hukum.
Ditinjau dari aspek ketaatan hukum yang
terbingkai dalam teori dasar norma (ground
norm) oleh Hans Kelsen, gagasan contempt
of court sebagaimana yang tertuang dalam RUU KUHPid menimbulkan masalah
besar. Sebab, pada satu sisi, UUD 1945 hasil amendemen, khususnya pada
Pasal 28 huruf f, menjamin kebebasan setiap warga negara untuk mengeluarkan
pikiran dan pendapat, termasuk terhadap proses peradilan. Tapi pada sisi
lain ada ketentuan yang mengatur sebaliknya. Tragisnya, ketentuan yang
melarang, yaitu undang-undang, justru lebih rendah kedudukannya daripada
yang membolehkan, yaitu UUD yang tidak lain adalah ground norm.
Untuk menciptakan tata kerja yang harmonis,
seimbang, dan selaras di antara elemen penyelenggaraan negara, termasuk
kekuasaan peradilan, maka segala ketentuan hukum yang mengatur hal itu
harus menjadi bagian dari suatu sistem hukum yang berlaku. Anehnya, contempt of court yang termuat dalam
RUU KHUPid justru banyak bertentangan dengan ketentuan yang sudah ada,
khususnya ketentuan mengenai HAM. Dengan demikian RUU yang dimaksud justru
mengacaukan nilai sistem hukum yang kita anut.
Karena itu, penulis berkesimpulan bahwa
adanya ketentuan mengenai tindak pidana terhadap proses peradilan dalam RUU
KUHPid tidak akan memperbaiki kerusakan yang telah terjadi dalam sistem
peradilan Indonesia. Sebab, kebutuhan yang paling diperlukan untuk
melakukan perbaikan dalam peradilan kita saat ini adalah menghilangkan
penyakit korupsi, kolusi, dan nepotisme yang telah berurat akar dalam tubuh
fungsionaris hukum. Untuk menghilangkan penyakit tersebut, diperlukan
reformasi total yang mencakup substansi, kultur, dan struktur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar