|
Seorang petani tebu dari Lamongan,
Jawa Timur, kecewa. Ia merasa, rendemen tebu hasil panennya hanya sepihak
ditentukan oleh pabrik. Para petani tebu ini harus menerima berapa pun
ketentuan jumlah rendemen dari pabrik. Merasa tidak berdaya. Sebagian petani
akhirnya memutuskan mengganti tebu dengan tanaman jagung.
Biaya usaha
tani untuk menanam tebu cukup besar. Petani juga harus berani mengambil risiko
mengubah lahan sawahnya menjadi lahan kering.
Pengelolaan
tebu juga membutuhkan tenaga kerja cukup banyak, padahal saat ini ketersediaan
tenaga kerja semakin langka sehingga yang ada pun harus diupah besar.
Musim tanam
tahun ini, petani harus mengeluarkan biaya produksi hingga Rp 40 juta rupiah
per hektar, naik Rp 2 juta-Rp 3 juta dibandingkan dengan tahun lalu.
Menurut
Kementerian Pertanian (2013), hasil tebu rakyat intensifikasi (TRI) I di tanah
sawah 120 ton per hektar dengan rendemen gula 10 persen, sedangkan hasil TRI II
di tanah sawah 100 ton dengan rendemen 9 persen.
Maka, hasil
produksi tanaman tebu ditetapkan lebih kurang 100 ton per hektar dengan umur
panen diperkirakan selama satu tahun.
Namun,
kenyataannya, petani hanya bisa menghasilkan 60-80 ton per hektar dengan
tingkat rendemen berkisar 6-7,5 persen. Bahkan, di beberapa wilayah Jawa Barat,
banyak yang berkisar 4-5 persen.
Zaman
pemerintah kolonial Hindia Belanda (FKA, 2008), hasil panen tebu rata-rata
lebih dari 100 ton per hektar per panen (11 bulan). Rendemen gula bisa sampai
20 persen dan paling kecil 12 persen.
Rendahnya hasil
dan rendemen petani saat ini terutama disebabkan oleh periode panen ulang yang
bisa sampai 10 kali dari standar panen ulang tiga kali.
Petani terpaksa
terus memelihara tonggak tebu sampai panen lebih dari tiga kali karena
keterbatasan modal.
Gagal swasembada
Dengan asumsi
konsumsi per kapita 9,78 kilogram, diketahui bahwa tingkat kebutuhan gula
konsumsi atau gula kristal putih untuk rumah tangga dan industri skala rumahan
2,96 juta ton.
Sementara
tingkat kebutuhan gula rafinasi (refined
sugar) untuk industri makanan, minuman, dan farmasi diperkirakan 2,74 juta
ton.
Untuk ini,
pemerintah pernah menargetkan swasembada gula pada tahun 2014 sebesar 5,7 juta
ton.
Target ini
direncanakan dicapai dari tebu yang ditanam rakyat seluas 252.166 hektar dan
area tebu swasta seluas 198.131 hektar.
Akan tetapi,
tahun 2012, Menteri Pertanian merevisi target swasembada gula 2014 turun
menjadi 3,1 juta ton saja. Walau sudah diturunkan, swasembada gula terlihat
masih sangat sulit untuk bisa diwujudkan.
Data
menunjukkan, produksi gula nasional tahun 2013 hanya akan mencapai 2,47 juta
ton. Penyebabnya antara lain pasokan tebu dari petani selalu menurun dari tahun
ke tahun.
Selain karena
faktor budidaya, hal ini juga akibat keterbatasan lahan petani, kualitas bibit,
dan terutama tekanan harga.
Di sisi lain,
kebijakan dan program pemerintah belum efektif dalam meningkatkan
produktivitas.
Kebijakan dan
program itu juga lemah dalam mengembangkan kelembagaan dan pembiayaan untuk
petani, memperluas area, serta gagal merevitalisasi dan membangun industri gula
berbasis tebu.
Gula impor
Dampak luas
dari gagalnya peningkatan produktivitas dan produksi gula nasional untuk
pemenuhan kebutuhan gula konsumsi membuat beberapa pabrik gula
mengimpor raw sugar dengan alasan idle capacity.
Menurut data
Kementerian Perdagangan (2013), impor tahun 2012 mencapai lebih kurang 351.000
ton, sementara sampai Agustus 2013 lebih kurang 236.000 ton.
Adapun
realisasi impor raw sugar dan gula rafinasi masing-masing untuk
industri rafinasi dan industri makanan minuman mencapai total 2,9 juta ton.
Namun, impor
gula rafinasi dan raw sugar menjadi malapetaka bagi petani karena
merembes ke pasar-pasar konsumsi.
Dalam
ketentuannya, pemerintah telah menetapkan bahwa gula rafinasi hanya
diperuntukkan bagi industri sehingga melawan hukum jika gula rafinasi
diperjualbelikan di pasar untuk konsumen. Kenyataannya, gula rafinasi dengan
mudah dijumpai konsumen di pasar.
Audit
distribusi Kemendag (2013) terhadap delapan produsen gula kristal rafinasi
membuktikan bahwa terdapat rembesan di 1.541 pengecer dari 8.619 pengecer yang
disurvei.
Sudah barang
tentu selain oleh adanya jutaan gula impor, merembesnya gula rafinasi ini
sangat memukul gula petani karena harga gula rafinasi lebih rendah daripada
harga gula konsumsi hasil tebu petani.
Aksi mendesak
Dengan kondisi
rendahnya produksi dan produktivitas, naiknya biaya produksi petani ditambah
tekanan harga akibat rembesan gula rafinasi menjadi sumber utama jeritan petani
tebu.
Tidak ada jalan
lain, ini menjadi tugas pemerintah untuk mengatasinya. Paling tidak kejahatan
perdagangan yang dilakukan oleh pihak-pihak (apakah pabrik atau distributornya)
yang memperjualbelikan gula rafinasi ke pasar konsumen harus ditindak setara
dengan perbuatan korupsi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar