Kamis, 21 November 2013

Keadilan dalam Sengketa Medis

Keadilan dalam Sengketa Medis
Eko Pujiono  Kandidat Doktor (S-3) Ilmu Hukum Unair
Bidang Penelitian Hukum Kedokteran dan Hukum Rumah Sakit
JAWA POS,  21 November 2013



DOKTER spesialis kandungan (obstetri ginekologi) sempat mengancam mogok sebagai bentuk kekecewaan pemidanaan kepada tiga dokter spesialis di RS Prof Dr RD Kandou Manado (Jawa Pos, Senin 18 November 2013). Namun, hal itu tidak sampai terjadi dan selanjutnya menteri kesehatan meminta jaksa agung untuk turun tangan dalam kasus tersebut. Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung berpendapat, dr Dewa Ayu Sasiary Prawani dan dua rekannya dianggap terbukti melanggar pasal 359 KUHP jis 361 KUHP, pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP, atau subsider pasal 359 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. 

Bukan hal mudah membuktikan kasus malapraktik profesi dokter. Sesungguhnya dibutuhkan keahlian khusus bagi kepolisian dan kejaksaan serta hakim untuk menegakkan keadilan pada kasus-kasus yang berkaitan dengan profesi medis/kesehatan. Dalam hukum kesehatan, penentuan nilai moral perihal baik-buruk, benarsalah bertolak kepada etika kesehatan, yaitu biomedical ethics. Di Indonesia, pengkajian terhadap konsep etik biomedis belum populer berkembang. 

Hukum kedokteran yang baik adalah yang menegakan nilai-nilai etik. Seperti dikatakan Catherine Tay Swee Kian (2001), ''Medical ethics must lead medical law. A good medical is an ethical law. Prinsip biomedical ethics merupakan prinsip etika yang berlaku secara universal untuk mengevaluasi peraturan - peraturan yang mengatur hubungan dokter dengan pasien (Faden dan Beauchamps, A History and Theory of Informed Consent, 1986). 

Ada empat aspek yang harus diperhatikan dalam penegakan sengketa medis menurut biomedical ethics, yaitu respect for autonomy (menghormati otonomi profesi), non maleficence (tidak berbuat yang merugikan), beneficence (memberikan manfaat), dan justice atau adil (Beauchamp dan Childress, Principle of Biomedical Ethics, 1994). Empat aspek tersebut bertumpu kepada hubungan awal dokter dengan pasien yang bersumber kepada hubungan kontraktual. 

Pada kasus di atas, sesungguhnya tidak tepat apabila tiga dokter, yaitu Dewa Ayu Sasiary Prawani, Hendry Simanjuntak, dan Hendy Siagian, dianggap melakukan kejahatan. Konstruksi norma yang dilakukan untuk menjerat tiga dokter tersebut tidak berlandaskan kepada konsep hukum kesehatan maupun hukum kedokteran. Penghukuman atas dasar pasal tersebut membuktikan bahwa aparat penegakan hukum memang sesungguhnya tidak memahami filosofi dasar dari hubungan antara penyedia jasa medis dengan pengguna jasa medis maupun hubungan antara dokter dan pasien. 

Berkaitan dengan tuduhan kelalaian medis sebagai bentuk unsur melawan hukum dari tiga dokter tersebut, hal itu tidak dapat ditentukan sepihak oleh aparat penegak hukum. Dalam penegakan hukum kasus malapraktik medis, berlaku Bolam principle. Yakni, ''The duty is fulfilled if the doctor acts in accordance with a practice rightly accepted as proper by a body of skilled and experienced medical men'' (Devereux, 2002). Kewajiban telah terpenuhi bila dokter bertindak dengan praktik yang diterima sebagai hal yang sepantasnya oleh badan yang beranggota orang kedokteran yang ahli dan berpengalaman. 

Dokter itu adalah profesi, apa yang dilakukan dokter dalam perawatan medis tunduk kepada standar profesi dan standard operating procedure, serta ilmu pengetahuan yang berkembang. Oleh karena itu, dalam menyikapi setiap tuduhan adanya unsur kelalaian medic kepada dokter, aparat penegak hokum dan hakim wajib meminta pendapat dari organisasi profesi medis atau orang yang paling berpengalaman di profesi medis pada kasus terkait. 

Penggunaan pasal 361 KUHP juga merupakan konstruksi hukum yang tidak tepat. Profesi dokter tidak dapat dikategorikan sebagai suatu jabatan. Dokter adalah profesi, sama dengan advokat, arsitek, akuntan publik, dan profesi yang lain. Sedangkan jabatan tunduk kepada kewenangan yang lahir dari undangundang, delegasi, dan mandat. Segala hal yang dilakukan dokter kepada pasien dalam hubungan pelayanan medis merupakan bentuk kewajiban dari dokter yang lahir dari adanya permintaan pasien atau pihak ketiga yang mewakili kepentingan hukum dari pasien. 

Tanggung jawab untuk berobat merupakan tanggung jawab pribadi si pasien sendiri. Pada saat pasien tidak mampu mengobati diri sendiri, si pasien meminta bantuan orang lain, yaitu dokter. Pada konteks tersebut, kewajiban dokter kepada pasien lahir dari permintaan pasien kepada dokter dan itu tidak dapat dikonstruksikan sebagai bentuk jabatan sebagaimana dimaksud pasal 361 KUHP. Justru, kalau dokter tidak membantu pasiennya yang telah meminta pengobatan, si dokter tersebut dapat dinyatakan salah. 

Penegakan hukum atas dugaan kasus malapraktik medik di negeri ini harus diletakkan dengan sebenarnya dan atas dasar tata nilai yang berkembang secara universal. Perlakuan penegak hukum kepada profesi kesehatan harus menggunakan pendekatan mediko legal berbasis filsafat biomedical ethics. Upaya pemidanaan kepada profesi kesehatan justru akan menimbulkan bahaya karena menurunkan kualitas dari pelayanan medis. Sebab, ilmu kedokteran adalah art. Keadilan tidak hanya untuk pasien, tetapi juga harus diberikan kepada profesi kesehatan demi pelayanan kesehatan yang berkualitas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar