|
Pemerintah yang bersih dan sekaligus
memihak lingkungan adalah dua hal penting yang harus dijalankan oleh siapa pun
yang bakal memimpin negeri ini di masa depan. Keduanya merupakan bagian pokok
dari adanya sebuah tatakelola pemerintahan yang baik (good governance).
Salah satu indikator pemerintahan yang
bersih adalah minimnya angka kasus tindak korupsi. Namun, faktanya, alih-alih
surut, korupsi di Indonesia tampaknya malah beregenerasi. Indikatornya adalah
kian banyaknya pelaku dan tersangka korupsi dengan usia di bawah 50 tahun.
Patut Digugat
United
Nation Development Program
(UNDP) mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang
publik untuk kepentingan pribadi melalui cara-cara penyuapan, pemerasan,
kolusi, nepotisme, penipuan dan penggelapan.
Menurut kajian yang dilakukan Sheila
Coronel, Direktur Eksekutif dari Philippine
Center for Investigative Journalism, yang juga penyusun buku bertajuk Investigating Corruption: A Do-It-Yourself
Guide, dilihat dari skala dan intensitasnya, secara garis besar praktik
korupsi dapat dibagi dalam tiga kelompok.
Pertama, retail corruption. Yaitu, praktik korupsi tingkat ringan yang kerap
terjadi di tengah masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, ketika
seorang pengendara motor terpaksa menyerahkan sejumlah rupiah sebagai 'uang
damai' kepada seorang petugas agar ia bisa lolos dari tilang, setelah terbukti
yang bersangkutan melanggar aturan lalu-lintas.
Kedua, petty corruption. Korupsi jenis ini biasanya melibatkan para
pejabat pemerintah tingkat rendah dan menengah yang bekerja di lembaga-lembaga
pemerintahan yang bertugas mengurusi dan melayani urusan-urusan publik, seperti
dalam soal urusan pajak, penerbitan sertifikasi, pengeluaran surat izin atau
pelaksanaan proyek-proyek yang dibiayai dana pemerintah.
Ketiga, grand corruption. Praktik korupsi ini melibatkan
keputusan-keputusan pemerintah pada tingkat paling atas, yang biasanya
melibatkan permainan politik kelas tinggi dari mereka yang sedang memegang
tampuk kekuasaan.
Secara realitas, praktik korupsi memang
telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa ini. Ketiga jenis
korupsi seperti yang disebutkan Sheila Coronel di atas, semuanya ada di negeri
ini. Khusus yang menyangkut praktik-praktik korupsi yang melibatkan permainan politik
kelas tinggi dari mereka yang sedang memegang tampuk kekuasaan, tentu saja para
aktor utamanya adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi dengan serenceng
gelar dan mengetahui sekaligus memahami soal hukum. Sudah barang tentu, mereka
ini sebagian besar adalah produk perguruan tinggi kita, yang kemudian dinilai
oleh sementara kalangan patut digugat karena menjadi produsen para koruptor di
Indonesia.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
sendiri, dalam sebuah kesempatan, mengemukakan praktik korupsi di negara ini
masih mengganas. Menurutnya, sekalipun upaya pemberantasan terus dilakukan oleh
lembaga penegakan hukum, namun perilaku korupsi belum menurun secara drastis.
Bukan cuma itu, Presiden SBY juga mengaku frustrasi karena upayanya membangun
sistem yang bersih dari korupsi ternyata tidak semudah yang ia pikirkan.
Memang, dibandingkan dengan sejumlah
negara ASEAN lainnya, indeks persepsi korupsi Indonesia sejauh ini masih
tergolong rendah. Sebagai ilustrasi, tahun 2012 lalu, skor indeks persepsi korupsi
Indonesia adalah 32, masih di bawah Singapura (87), Brunei (55), Malaysia (49)
maupun Thailand (37).
Degradasi Lingkungan
Masih tingginya tingkat korupsi
dibarengi pula dengan semakin meningkatnya degradasi lingkungan menyebabkan
munculnya berbagai bencana ekologis memilukan di banyak tempat di negeri ini.
Pembangunan yang tidak terkendali, melonjaknya hasrat konsumtifisme, ledakan
jumlah penduduk dan perubahan iklim merupakan beberapa faktor yang dinilai
sejauh ini ikut berkontribusi terhadap meningkatnya degradasi lingkungan di
bumi Indonesia Raya tercinta.
Karenanya, pemimpin Indonesia di masa
depan bukan hanya harus mampu mempraktikkan pemerintahan yang benar-benar
bersih (clean government) tetapi juga
harus mampu mempraktikkan green
government alias pemerintahan yang memihak kepada lingkungan.
Jika tujuan akhir clean government adalah terwujudnya kesejahteraan segenap warga
negara maka tujuan akhir green government
adalah terciptanya kesejahteraan lingkungan, antara lain dalam bentuk
tersedianya air bersih, terjaminnya keanekaragaman flora dan fauna, terjaminnya
panorama perdesaan dan perkotaan yang asri, terciptanya kawasan sungai, gunung,
hutan serta pantai yang bersih lestari, tersedianya taman-taman kota dan
transportasi yang layak dan ramah lingkungan serta tersedianya udara bersih.
Yakinlah, terwujudnya pemerintahan yang
bersih dan pemerintahan yang memihak lingkungan bakal menyelamatkan negeri ini
dari ancaman aneka petaka sosial-politik-ekonomi dan petaka lingkungan
berkepanjangan, yang bakal menghambat bangsa ini untuk menggapai berbagai
kemajuan besar sekaligus menghambat bangsa ini merenda masa depan yang jauh
lebih baik.
Tentu saja, segenap rakyat negeri
ini, kini sedang menanti tampilnya sosok pemimpin yang benar-benar mampu
mewujudkan Indonesia bersih dan Indonesia hijau. Kita berdoa mudah-mudahan
ajang pemilihan umum tahun depan akan melahirkan sosok pemimpin yang sedang
kita idam-idamkan itu. Moga-moga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar