Menyelesaikan
Peta Desa
Ivanovich Agusta ; Sosiolog Pedesaan IPB Bogor
|
KOMPAS, 31 Mei 2017
Program peta desa resolusi tinggi terancam mandek (Kompas,
27/5/2017). Padahal, informasi spasial
menjadi basis rekognisi desa yang berujung perencanaan pembangunan desa, kawasan
regional, hingga wilayah prioritas nasional. UU No 6/2014 tentang Desa
menerjemahkan rekognisi antara lain berupa dana desa. Syarat utamanya,
terdaftar di Kemendagri. Registrasi dijalankan untuk memenuhi konsep wilayah
pemerintahan sehingga mesti melampirkan peta desa, jumlah penduduk, dan
struktur organisasi pemerintahan desa.
Keputusan Mendagri menetapkan 74.954 desa penerima dana
APBN 2017 itu sekilas lancar. Apalagi, koordinat desa terbuka dicek pada
www.prodeskel.binapemdes.kemendagri.go.id. Sayang, koordinat itu hanya
merujuk lokasi balai desa. Tak ada kompilasi koordinat garis poligon batas
desa. Luas desa yang tertera pun sekadar dihitung dari sketsa desa.
Presisinya terlalu longgar, lantaran didasarkan batas-batas perkiraan mata
memandang bentang geografis sungai, bukit, lembah, hutan kecil, atau jalan
yang berubah-ubah.
Warisan peta-peta desa selama ini lazim disusun sepihak
sehingga lokasi desa kerap tumpang tindih kala digabungkan ke wilayah
kabupaten. Kesalahan pemetaan terakumulasi sampai tingkat nasional tiap kali
diselenggarakan Sensus Potensi Desa. Hasilnya, total luas desa melejit empat
kali lipat wilayah negara dan jumlah penduduk berlipat dua. Data ini jelas
tidak valid sehingga BPS enggan memublikasikan kepada khalayak.
Menyelesaikan pemetaan
Kelemahan pemetaan desa di lapangan kian disadari saat
sulit mengimplementasikan Permendagri No 45/2016 tentang Pedoman Penetapan
dan Penegasan Batas Desa. Hanya 4.150 batas desa disepakati dan ditetapkan
secara resmi oleh pemda. Artinya, peluang penyusunan peta dan luas desa yang
sahih baru 6 persen. Rendahnya validitas batas desa menggoyahkan sendi-sendi
keadilan pembangunan.
Penyebabnya, luas desa berikut kepadatan penduduknya jadi
basis kalkulasi rincian dana tiap desa oleh Kemenkeu, patokan kemajuan
wilayah perdesaan menjadi perkotaan oleh BPS, serta penghitungan alokasi
program pembangunan desa dari kementerian dan pemerintah daerah.
Jika peta citra tegak resolusi tinggi dengan skala 1:5.000
disebut terlalu mahal oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), sesungguhnya
Permendagri No 45/2016 Pasal 12 membuka alternatif penggunaan peta rupabumi
Indonesia. Ini lebih murah, karena sejak tahun 2000 BPS berhasil membagi
habis rupabumi jadi poligon seluruh desa.
Peta desa itu diperbarui tiap Sensus Potensi Desa, seperti
pada 2003, 2005, 2008, 2011, dan 2014. BPS mencatat, peta desa-desa di Aceh
paling sering berubah sejalan hilang dan munculnya desa baru. Peta ini mudah
diperbarui guna menampung 94.954 desa saat ini. Garis poligon pada peta menjadi
penanda koordinat batas puluhan ribu desa yang mustahil bertumpang tindih.
Maka, percepatan penyusunan peta segenap desa sekaligus
implementasi Permendagri No 45/2016 masuk akal dimulai dari peta BPS yang
sudah eksis. Pembahasan peta desa di tiap kabupaten perlu mempertemukan
pemerintah desa, pemda, Kemendagri, Kemendesa PDTT, BIG, dan BPS. Tujuannya,
mengevaluasi validasi batas desa dari peta itu sekaligus menetapkan peta tiap
desa secara definitif.
BIG mendapat tugas besar menyajikan peta rupabumi Indonesia
mutakhir berpresisi tinggi. Sebab, ketika ditimpakan pada peta lebih baru
dari Google Map versi berlangganan, sebagian titik-titik peta rupabumi
melenceng. Pernah ditemukan batas desa-desa menjauh hingga 200 kilometer. RT,
RW, hingga desa yang bersebelahan dengan laut mengalami kerugian terbesar
lantaran dicurigai tak memiliki luas wilayah, lalu kalis dari alokasi
pembiayaan pembangunan.
Dengan membagi habis wilayah Nusantara, peta desa ala BPS
sekaligus memasukkan wilayah kehutanan dan pertambangan. Padahal, kawasan
khusus ini terlarang tercakup sebagai desa. Maka, BPS, BIG, Kemendagri, dan
Kemendesa PDTT perlu mengundang Kementerian LH dan Kehutanan serta
Kementerian ESDM guna memisahkan wilayah hutan dan pertambangan dari
batas-batas desa.
Peta citra tegak resolusi tinggi untuk desa sebenarnya
gampang disediakan dengan sangat murah. Eksperimen Adi Sucipto Aji melalui
langganan Google Map menghasilkan skala peta yang sangat rendah, jelas,
bahkan berujud tiga dimensi bagi desa-desa terpencil di Kalimantan hingga
Papua. Big data mampu pula disertakan ke setiap desa sehingga mengundang
warga berpartisipasi mengunggah foto sudut-sudut desa, film ringkas, serta
testimoni kepuasan layanan pemerintah desa dan warga. Kelemahannya, informasi
menarik desa Indonesia bakal tersimpan di server Google di luar negeri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar