Beragama
dengan Marah
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 09 Juni 2017
KATA marah dan ramah itu jumlah dan bunyi hurufnya sama,
tapi beda letak posisinya sehingga konotasinya juga sangat beda. Bahkan,
bertolak belakang. Kemarahan itu tidak saja muncul dalam relasi sosial
sehari-hari dalam urusan yang profan, melainkan dalam beragama kadang kala
seseorang memunculkan kemarahan.
Saya kira itu bisa dibenarkan, atau bahkan mungkin
diperlukan, ketika dilakukan dalam waktu, tempat, dan peristiwa yang tepat.
Terhadap mereka yang terang-terangan dan gamblang menghina dan menodai agama,
wajar kalau ada ulama yang mengaku sebagai penjaga martabat agama marah.
Tetapi ketika kemarahan tidak dilandasi dasar yang kuat
dan hati yang ikhlas, maka kemarahan hanya akan merugikan dirinya karena
ketika seorang marah, ada kecenderungan nalar sehatnya menurun.
Marah yang baik adalah marah yang terkontrol dan memiliki
nilai edukatif, baik bagi orang yang marah dan yang dimarahi maupun bagi
kebaikan publik. Dalam bahasa teologi dan kitab suci, kadang Tuhan juga
digambarkan memiliki sifat marah.
Namun begitu, sifat kasih sayang-Nya jauh melebihi sifat
marahnya. Kemarahan Tuhan lebur ke dalam sifat kasih-Nya. Karenanya, Tuhan
mengajarkan agar setiap mengawali pekerjaan apa pun hendaknya dimulai dengan
mengingat dan menyebut asma Tuhan yang Mahakasih agar sejak dari niat,
tujuan, dan caranya dibimbing dan dirahmati oleh Allah.
Adapun yang kadang mengusik hati dan menimbulkan tanda
tanya adalah ketika ekspresi keberagamaan disampaikan dengan marah, dengan
menggunakan simbol dan istilah-istilah agama, namun konteksnya kurang tepat.
Misalnya melakukan penyerangan dengan cara meledakkan bom bunuh diri,
sementara sasaran dan korbannya belum tentu bersalah. Bahkan, sangat mungkin
satu bangsa dan satu agama.
Mereka itu marah dengan melibatkan simbol dan jargon
agama. Padahal, kemarahan itu mungkin saja akibat dirinya terpinggirkan dari
dinamika politik dan ekonomi, merasa dirinya terancam dan jadi korban, namun
sasaran kemarahannya sesungguhnya tidak jelas. Yang jadi korban pun mungkin
nasibnya secara politik dan ekonomi tak beda jauh dari dirinya.
Ada lagi ekspresi kemarahan dalam bentuk verbal, yaitu
ungkapan yang penuh kebencian dan cacian dengan disertai istilah-istilah
keagamaan, menilai orang yang tidak
sepaham dengan kata kafir, munafik, lemah iman, dan sejenisnya. Mereka seakan
memiliki hak monopoli untuk menafsirkan dan menentukan kebenaran agama.
Padahal, kalau
niatnya ingin berdakwah dan berbagi ajaran agama yang begitu baik dan mulia, maka caranya
pun harus baik dan mulia. Dalam kaitan ini, saya salut kepada Majelis Ulama
Indonesia (MUI) yang mengeluarkan fatwa mengharamkan ujaran fitnah, kebohongan,
dan adu domba dalam media sosial (medsos).
Dampak negatifnya cukup parah bagi masyarakat. Sama halnya
kita menyebar racun kepada masyarakat sehingga layak diharamkan dan
pelakunya, siapa pun, melakukan mesti diingatkan atau diberi sanksi.
Marah yang muncul karena dorongan nafsu like or dislike,
tanpa alasan yang benar, hanya akan menimbulkan lawan atau setidaknya membuat
persahabatan renggang, bahkan putus. Ujungnya merugikan diri sendiri.
Terlebih jika kemarahan urusan politik yang berangkat dari kepentingan
pribadi atau kelompok, lalu meminjam dan memanipulasi jargon-jargon agama,
ujungnya akan menodai citra dan martabat agama.
Seperti citra Islam yang dirusak oleh teroris. Berbagai
ledakan bom di Eropa, pelakunya diidentifikasi sebagai aktivis gerakan
keagamaan Islam.
Dalam Alquran memang ada isyarat-isyarat yang membolehkan
marah dan maju perang. Tapi yang dominan adalah menebar rahmat. Bahkan, itu
jadi misi Rasulullah. Menebar keramahan, bukan kemarahan. Menebar kebenaran,
kebaikan, dan kedamaian. Bukan menebar terorisme dan cacian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar