Indonesia
Itu Nyaman
Indra Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan
|
KOMPAS, 12 Juni 2017
Tak sedikit bangsa- bangsa di dunia
"iri" sekaligus apresiatif kepada bangsa Indonesia. Bukan karena
prestasi korupsinya yang fantastis, melainkan karena keselarasan dan kenyamanan
dalam pluralitas kehidupan berbangsa.
Peradaban masa lalu turut membentuk
kebesaran jiwa bangsa. Kita lahir dari kumpulan bangsa besar, bukan bangsa
barbarian. Kakek-nenek moyang kita telah mengajari tentang pentingnya
martabat dan cara-cara berkebudayaan secara terhormat, yakni kebudayaan yang
menekankan pentingnya menciptakan kebahagiaan bagi umat manusia dengan segala
pencapaian peradabannya. Hal itu memberi resonansi nilai hingga hari ini dan
mewujud dalam kenyamanan kehidupan bangsa Indonesia.
Multi-etnik
Kita merasa nyaman ketika tak ada ancaman
psikologis dan fisik, subyektif ataupun obyektif, serta internal-eksternal.
Ancaman psikologis bisa berupa intimidasi simbolik/citraan, teks verbal
(ujaran kebencian), dan teks visual. Ancaman fisik bisa berupa kekerasan
fisik, baik yang melukai, menimbulkan trauma atau kekerasan yang mematikan.
Kenyamanan merupakan kondisi psikologis
manusia/bangsa yang dibangun nilai-nilai sosial (kedamaian, harmoni,
kerukunan, kesetaraan), politik (sistem kekuasaan protektif berbasis nilai, etika, norma, dan
moral), ekonomi (hak mendapatkan kesejahteraan), dan budaya (hak berkembang,
berekspresi, memeluk keyakinan, dan berkarya). Sangat mungkin kenyamanan yang
kita rasakan belum utuh akibat masih timpangnya sistem ekonomi dan politik
sehingga distribusi kesejahteraan belum berjalan secara adil. Namun, dalam centang perenang itu, kita
bisa bersyukur karena tersedianya "kue-kue" kerukunan dan kedamaian
bermasyarakat/berbangsa.
Meski terdiri atas multi-etnik, agama, ras,
golongan, aliran politik/ideologi, dan bahasa, bangsa kita mampu mengelola
perbedaan dan potensi konflik jadi kekuatan kultural. Prestasi spektakuler
ini tak lepas dari keberadaan ideologi negara (Pancasila), konstitusi (UUD
1945), bentuk negara (NKRI), dan spirit budaya bangsa (Bhinneka Tunggal Ika).
Kecenderungan untuk mencari bentuk/model
negara dan ideologi dari budaya dari luar bisa jadi karena tumpang-tindih
pemahaman atas agama dan negara sehingga terjadi dislokasi ideologis.
Nilai-nilai agama yang semestinya berada pada ranah internal pribadi dan
kelompok dijadikan agenda kepentingan yang desakan ke dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Siapa pun yang kepincut dengan ideologi
lain di luar Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika kadang
melupakan kenyamanan yang selama ini telah dinikmatinya. Kenyamanan itu
ibarat lidah atau mata, yang tak lagi berjarak atau bahkan luluh ke dalam
diri kita. Ketika lidah dan mata kita sakit, baru terasa keberadaan
"mereka" itu penting dan bermakna.
Begitu pula dengan Pancasila, NKRI, UUD
1945, dan Bhinneka Tunggal Ika, yang selama ini telah beroperasi dan
memberikan kenyamanan hidup yang pasti bagi kita. Terhadap nilai-nilai
kebaikan, kita layak menggunakan cara berpikir yang mengutamakan kepastian.
Bukan kemungkinan. Terlalu besar ongkos sosial, politik, dan kulturalnya jika
kita mencoba-coba dalam berbangsa dan bernegara. Bahwa di dalam penerapan
sistem politik, sosial, kultural, dan ekonomi masih terjadi berbagai
distorsi, itu jadi kewajiban semua elemen bangsa untuk memperbaikinya.
Tuhan selalu rendah hati dan demokratis,
manusia cenderung sombong dan otoriter jika berkuasa. Tuhan sangat menyukai
perbedaan, manusia cenderung menyukai penyeragaman.
Tuhan mahakreatif. Ia menciptakan berbagai
makhluk, termasuk manusia dengan beragam wujud, perilaku, karakter, dan
budayanya. Kenapa manusia yang tak
memiliki kuasa apa pun di hadapan Tuhan berani dan lancang mengingkari
perbedaan? Bahkan, tak jarang kelompok manusia tertentu memaksakan kebenaran
subyektifnya atas nama suku, agama, ras, dan golongan dengan menyingkirkan
kelompok lain yang berbeda demi menciptakan keseragaman.
Betapa sangat tak menariknya keseragaman.
Bayangkan jika secara fisik, pikiran, dan perilaku manusia dibuat sama oleh
teknologi kuasa penyeragaman. Yang hadir adalah manusia-manusia buatan. Ini
wujud pengingkaran atas fitrah yang
diberikan Tuhan. Lalu, manusia tak berbeda dengan mesin. Tak punya kedaulatan
diri, rasa, pikir, karsa, dan cipta. Hidup jadi terasa sangat monoton dan membosankan.
Tak ada dorongan dan kebutuhan untuk berkembang. Masyarakat berjalan di luar
kebudayaan dan peradaban. Kekuasaan menjadi faktor dominan. Dehumanisasi
merajalela. Setiap pihak yang dominan dan berkuasa merasa sah untuk mendorong
orang lain ke jurang gelap sub-human.
Setiap manusia jadi berharga karena
memiliki nilai dan potensi otentik yang diaktualisasi secara kultural.
Ekspresi, energi, ide, dan daya cipta, serta etos kerja melahirkan karya
bernilai dan bermakna bagi perkembangan peradaban. Berkat pencapaiannya itu
manusia memperoleh martabat.
Namun, untuk bisa memperoleh martabat, manusia butuh ruang dan kebebasan untuk
menyalakan nilai kemanusiaannya. Perhargaan atas individualitas lengkap
dengan semua ciri pembeda yang dimiliki jadi prasyarat yang harus dipenuhi.
Begitu pula harus ada penghargaan atas asal-usul (etnisitas), keyakinan
agama, ideologi/pandangan hidup, sikap nilai, identitas budaya, dan
kemerdekaan kreatif. Ini menunjukkan bahwa sivilisasi bisa terjadi jika ada
humanisasi.
Memaksakan kebenaran subyektif atas nama
sistem keyakinan agama dan budaya tertentu atas kelompok sosial lain yang
berbeda dan plural, merupakan tindakan antikemanusiaan, antikebudayaan, dan
antiperadaban. Apalagi, pemaksaan itu dilakukan dalam negara yang telah
memiliki komitmen ideologis (Pancasila), konstitusional (UUD 1945),
politis-geografis (NKRI) dan kultural (Bhinneka Tunggal Ika). Tindakan itu
seperti mengurai anyaman nilai-nilai yang sudah jadi, mapan, kuat, dan
memberi kemaslahatan bagi bangsa.
Para
pemaksa kebenaran
Perbedaan adalah anugerah Tuhan. Dengan
perbedaan itu, kita membangun persaudaraan bangsa. Indahnya persahabatan dan
persaudaraan justru terasa mendalam ketika bersinggungan dengan perbedaan.
Demi menghormati perbedaan, setiap orang harus menekan egoismenya dan memberi
ruang pada hak hadir orang lain.
Para pemaksa kebenaran subyektif mungkin
tak membayangkan betapa menderitanya bangsa yang dicabik-cabik konflik
saudara hingga mencapai titik kulminasi krisis kemanusiaan. Kenyamanan hidup
di negara kita mestinya mendorong munculnya rasa bersyukur. Betapa bangsa ini
sangat beruntung memiliki ideologi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka
Tunggal Ika. Ini masih ditambah peran kultur lokal bangsa yang terbukti mampu
menjaga harmoni kehidupan.
Bahwa masih ada kekurangan di sana-sini,
wajar. Setiap kebudayaan selalu membutuhkan proses panjang untuk membangun
peradaban bangsa. Sikap yang muncul mestinya memperbaiki kekurangan, bukan
malah merusak bangunan kebangsaan yang sudah ada, hadir, dan dapat dirasakan
maknanya. Marilah mensyukuri kenyamanan hidup di Indonesia dengan menjunjung
tinggi nilai budaya bangsa kita. Bukan budaya bangsa lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar