Ujian
Awal Bawaslu
Fadli Ramadhanil ; Peneliti Hukum Perkumpulan untuk Pemilu dan
Demokrasi (Perludem)
|
KOMPAS, 09 Juni 2017
Sudah satu bulan lebih lima anggota Badan Pengawas Pemilu
bertugas.
Dilantik bersamaan dengan tujuh anggota Komisi Pemilihan
Umum (KPU) pada 11 April 2017, tantangan dan harapan yang ditumpangkan di
pundak lima anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) taklah sederhana.
Menegaskan (kembali) kemandirian kelembagaan Bawaslu dan
menunjukkan kerja nyata dari semua kewenangan yang dimiliki, adalah dua di
antara sekian banyak harapan kepada anggota Bawaslu periode 2017-2022. Lima
anggota Bawaslu diharapkan tidak terbelenggu dari segala kelindan kepentingan
politik partai yang telah memilih mereka.
Selain itu, kewenangan Bawaslu yang sudah diperkuat,
terutama dalam hal penegakan hukum di dalam UU Pilkada, mesti digunakan
secara maksimal. Harapan ini bukan tanpa sebab. Ketentuan dalam Peraturan
Bawaslu Nomor 13 Tahun 2016—yang mengatur pelaksanaan kewenangan
diskualifikasi oleh Bawaslu terhadap pelanggaran politik uang yang bersifat
terstruktur, sistematis, dan masif, hanya dapat dilakukan 60 hari sebelum
hari pemungutan suara—telah menumpulkan kewenangan administratif Bawaslu
dalam penanganan pelanggaran politik uang.
Perbaikan terhadap dua hal di atas perlu dijamin oleh lima
anggota Bawaslu. Hanya dengan begitu peran penting Bawaslu dalam menjaga
integritas pemilu akan dapat berjalan sesuai dengan harapan publik dan tujuan
awal dibentuknya lembaga ini.
Memulai semua tantangan dan harapan yang ada, Bawaslu
dihadapkan pada satu ujian awal. Di tengah persiapan penyelenggaraan Pilkada
2018, Bawaslu akan menyeleksi anggota Bawaslu provinsi di 25 provinsi, yang
masa jabatannya akan berakhir pada 20 September 2017.
Salah satu tantangan berat bagi Bawaslu adalah menyiapkan
tim seleksi untuk 25 provinsi dalam waktu bersamaan. Apalagi, Bawaslu juga
mesti membagi fokusnya untuk melakukan supervisi serta memastikan anggaran
pelaksanaan tugas kelembagaan pengawas pemilu di 171 daerah yang akan
menyelenggarakan pilkada terpenuhi dengan baik.
Bawaslu mesti selektif dalam menyiapkan tim seleksi untuk
perekrutan anggota Bawaslu provinsi. Kecermatan dan kehati-hatian dalam
membentuk tim seleksi menjadi langkah awal untuk mendapatkan calon terbaik
sebagai anggota Bawaslu provinsi. Standar integritas dari tim seleksi perlu
tinggi. Standar itu juga yang dapat diturunkan ketika tim seleksi bekerja
menjaring dan menyeleksi calon anggota Bawaslu di 25 provinsi di Indonesia.
Jika dilihat dari momentum waktu, proses pergantian
anggota Bawaslu provinsi yang berdekatan dengan awal kepengurusan Bawaslu
periode 2017-2022bisa dikatakan menguntungkan. Bawaslu dapat langsung memilih
orang dengan standar tinggi dan membuat keanggotaan Bawaslu provinsi ada di
”gelombang” yang sama dengan Bawaslu untuk menjawab kebutuhan akan
kerja-kerja kelembagaan pengawas pemilu ke depan.
Oleh karena itu, Bawaslu perlu memastikan orang yang
dipilih jadi anggota Bawaslu provinsi adalah yang bisa bekerja mandiri,
profesional, dan mampu menjawab peran penting kelembagaan pengawas pemilu
yang dirasa terpinggirkan selama ini: penegakan hukum, pengawasan dana
kampanye, serta integrasi dan publikasi data penanganan pelanggaran dan
sengketa pemilu.
Tiga kewenangan penting ini bisa dijadikan indikator bagi
Bawaslu untuk menjaring dan memilih anggota Bawaslu provinsi. Ketiga
indikator itu juga yang mesti ”dipesankan” oleh Bawaslu kepada tim seleksi
yang akan dibentuk. Tim seleksi yang akan dibentuk di 25 provinsi mesti
mencari orang yang mampu menjawab kebutuhan kelembagan Bawaslu provinsi untuk
melaksanakan kewenangan penegakan hukum, pengawasan dana kampanye, dan
membangun integrasi dan publikasi data penanganan pelanggaran dan sengketa
pemilu.
Anggaran Pilkada 2018
Menyiapkan anggaran Pilkada 2018 merupakan sesuatu yang
penting bagi Bawaslu. Pengalaman Pilkada 2015 dan 2017, persiapan anggaran
akan selalu memakan waktu, bahkan senantiasa terlambat sehingga mengganggu
kerja lembaga pengawas pemilu di daerah yang melaksanakan pilkada.
Bawaslu sudah merilis, dari 171 daerah yang melaksanakan
Pilkada 2018, baru 23 daerah yang anggaran untuk pengawas pemilu disetujui
oleh pemerintah daerah (Kompas, 10/5). Artinya, lebih dari separuh daerah
yang menyelenggarakan Pilkada 2018 belum menganggarkan anggaran untuk lembaga
pengawas pemilu. Meskipun hari H pelaksanaan Pilkada 2018 masih 13 bulan
lagi, tetapi kebutuhan anggaran untuk lembaga pengawas pemilu harus segera
dipastikan.
Bagi lembaga pengawas pemilu yang sudah memiliki anggaran
untuk Pilkada 2018, Bawaslu tetap perlu mengecek kembali, apakah anggaran
tersebut sudah cukup dan sesuai dengan kebutuhan kerja kelembagaan pengawas
pemilu sepanjang tahapan Pilkada 2018. Selain soal ketercukupan, mekanisme
pencairan anggaran Pilkada 2018 dari pemerintah daerah ke masing-masing
lembaga pengawas pemilu perlu dipastikan kembali.
Pengalaman Pilkada 2015 dan 2017, mayoritas daerah
mencairkan anggaran pilkada, baik bagi KPU maupun Bawaslu, dengan cara
bertahap. Tahapannya bergantung kesepakatan yang ada di dalam naskah
perjanjian hibah daerah (NPHD) masing-masing daerah. Ada daerah yang memakai
mekanisme dua kali pencairan, dan ada juga yang memakai mekanisme tiga kali
pencairan. Bawaslu perlu untuk memastikan bahwa mekanisme pencarian anggaran
tersebut tidak akan terlambat dan mengganggu tugas dan fungsi lembaga
pengawas pemilu di dalam tahapan Pilkada 2018.
Bawaslu tidak boleh lagi jatuh di lubangyang sama.
Momentum pergantian anggota Bawaslu provinsi serta persiapan Pilkada 2018 diharapkan
bisa menjadi bukti awal bahwa Bawaslu punya peran penting untuk mewujudkan
dan menjaga integritas pemilu. Publik sangat berharap dan menunggu Bawaslu
periode 2017-2022 akan mampu menjawab semua harapan dan tantangan agar
kelembagaan Bawaslu bisa memaksimalkan seluruh kewenangan yang dimiliki untuk
menciptakan pemilu yang demokratis dan berkeadilan. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar