Ilusi
Meredam Gejolak Harga
Enny Sri Hartati ; Direktur Institute for Development of Economics
and Finance
|
KOMPAS, 12 Juni 2017
Seolah menjadi ritual tahunan, setiap
menjelang Ramadhan dan hari raya Idul Fitri, harga kebutuhan pokok, terutama
pangan, melejit. Alasannya, peningkatan permintaan masyarakat. Padahal,
kebutuhan pokok sejatinya memiliki permintaan yang relatif inelastis.
Sekalipun harganya murah, konsumsi beras, cabai, bawang, telur, gula, minyak
goreng, sayur-mayur, dan sejenisnya tak akan melonjak drastis. Sebaliknya,
kendati mahal, masyarakat tak mampu menghindarinya. Jika harga cabai atau
bawang putih menembus Rp 100.000 per kilogram, pasti tetap diburu, kendati
mengurangi porsi pembelian.
Artinya, seandainya terjadi peningkatan
permintaan, hal itu lebih didorong faktor psikologis. Masyarakat khawatir
akan terjadi kenaikan harga. Maka, sejak memasuki bulan Ramadhan, mereka
cenderung menambah pembelian untuk cadangan. Sementara pedagang pengecer
merespons dengan menambah stok barang dagangan sebelum Ramadhan yang
mengakibatkan stok di pasar berkurang. Bisa jadi, pedagang besar juga
memanfaatkan kondisi ini dengan membatasi jumlah pasokan yang dikeluarkan
atau dengan alasan pengiriman barang terganggu karena pengaturan mobil
ekspedisi barang menjelang Lebaran. Akibatnya, seolah-olah ketersediaan bahan
kebutuhan pokok cenderung langka menjelang hari raya.
Ironisnya, kenaikan harga hanya terjadi
pada jalur distribusi barang, dari level pedagang besar sampai dengan
pedagang pengecer. Harga cabai, tomat, bawang, dan sayur-mayur di level
petani tidak berubah signifikan. Begitu pula harga telur dan daging ayam dari
peternak tetap stabil. Sayangnya, praktik tata niaga yang terintegrasi tidak
memungkinkan peternak menjual telur dan ayam langsung kepada konsumen.
Kenaikan harga ikan hanya terjadi di tempat pelelangan ikan, sedangkan
nelayan tetap mendapatkan harga rendah.
Persoalan mendasar adalah adanya dominasi
penguasaan pasokan (oligopoli) dan rantai distribusi yang sangat panjang.
Dominasi penguasaan pasokan membuka ruang untuk mengatur jumlah pasokan yang
masuk ke pasar, apalagi jika penguasaan stok terkonsentrasi pada sekelompok
orang. Oligopolis cenderung memiliki kekuatan menentukan harga. Ditambah
rantai distribusi yang panjang menyebabkan margin keuntungan mesti mampir di
setiap rantai pasok. Akibatnya, disparitas harga di tingkat produsen dan
konsumen sangat jauh. Jika sumber permasalahan kegagalan pasar tersebut tidak
disentuh secara konkret, fluktuasi harga kebutuhan pokok akan berulang setiap
tahun. Kendati data jumlah pasokan cukup tersedia sesuai kebutuhan, spekulan
tetap memiliki ruang mengendalikan pasar.
Pasalnya, kebijakan antisipasi pemerintah
hanya dilaksanakan seperti biasanya (business
as usual). Jurus yang selalu menjadi andalan adalah menggelar
pasar murah dan menetapkan harga referensi. Juga membentuk satuan tugas
(satgas) pangan untuk menindak tegas penimbun dan kartel harga para pengusaha
nakal, mulai dari penyegelan, penyitaan, hingga membawa kasus ke ranah hukum.
Menteri Perdagangan mengeluarkan Permendag Nomor 20 Tahun 2017 tentang
Pendaftaran Pelaku Usaha Distribusi Barang Kebutuhan Pokok. Salah satu
instrumennya, kebijakan satu harga untuk tiga produk pangan, yakni gula pasir
(Rp 12.500/kg), minyak goreng kemasan tertentu (Rp 12.000/liter), dan daging
beku (Rp 80.000/kg). Pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) di
semua toko ritel modern. Harga tersebut menjadi harga referensi pasar agar
harga di pasar tradisional mengikuti. Sejauh ini, HET ketiga jenis produk itu
relatif efektif karena sudah mendapat kesepakatan dari produsen hingga
distributor. Sayang, harga acuan pemerintah dalam Permendag No 27/2017 tak
banyak memberikan pengaruh. Pasar mempunyai dasar penentuan harga sendiri.
Sementara itu, pasar murah yang digelar di
beberapa lokasi jelas sulit efektif jika tujuannya untuk stabilisasi harga.
Mestinya, konsep yang digunakan adalah operasi pasar yang mampu menggunting
penguasaan pasokan oleh oligopsonis. Kuncinya, memperbaiki tata niaga pasar
yang tidak sehat. Mestinya pemerintah menggelontorkan pasokan melalui
pedagang pengecer dan ritel dengan harga yang ditetapkan pemerintah. Dengan
demikian, penguasa pasokan dengan sendirinya akan mengeluarkan pasokannya ke
pasar sesuai harga referensi pemerintah.
Sederhananya, efektivitas komitmen menjaga
stabilisasi harga terletak pada keseriusan pemerintah menyehatkan rantai tata
niaga dan penguasaan pasokan oleh oligopolis. Praktik kartel dan mafia pangan
bukan penyebab, melainkan dampak dari ketidakhadiran pemerintah. Untuk itu,
peran Bulog harus dikembalikan menjadi badan penyangga cadangan Pemerintah
sebagai instrumen stabilisasi. Selain itu, tidak membiarkan diskrepansi data
produksi dan politisasi dalam penentuan impor pangan. Prinsipnya, impor
pangan dibolehkan sepanjang produksi dalam negeri tidak memadai. Jika itu
dilakukan, Ramadhan dan Idul Fitri dapat menjadi bulan yang penuh berkah
memacu konsumsi rumah tangga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar