Mengapa
Politik Keruh
Syamsuddin Haris ; Profesor Riset LIPI
|
KOMPAS, 12 Juni 2017
Sulit dimungkiri bahwa politik di negeri
ini agak keruh dalam beberapa waktu terakhir. Suasana saling curiga
antargolongan masyarakat dan negara-masyarakat cenderung semakin meningkat.
Apa sesungguhnya yang terjadi? Mengapa
keindonesiaan kita tiba-tiba begitu rapuh justru ketika kita hendak merayakan
hampir dua dekade reformasi?
Salah satu sumber kekeruhan politik itu,
yakni dua putaran Pilkada DKI Jakarta 2017, sebenarnya telah usai. Pasangan
Anies Baswedan-Sandiaga Uno memenangi pertarungan panas, mengalahkan pasangan
petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat dengan selisih
suara cukup telak.
Namun, ironisnya nuansa perbincangan,
interaksi, dan relasi sosial pasca-pilkada belum sepenuhnya pulih seperti
sediakala. Meski intensitas berita bohong (hoaks), fitnah, dan ujaran
kebencian yang sebelumnya tumpah ruah di berbagai media sosial kini jauh
berkurang, rekonsiliasi sosial belum sepenuhnya berlangsung.
Seorang kolega senior bercerita bagaimana
suasana pasca-Pilkada DKI di lingkungan tempat tinggalnya. Sebelum pilkada
digelar, beberapa tetangga rajin menunggu dan menyapa di ujung gang rumahnya
sebelum mereka kemudian bersama-sama berangkat shalat berjemaah di masjid.
Seusai shalat, mereka acap tak langsung pulang, tetapi berdiskusi ringan
tentang banyak hal terkait isu politik mutakhir. Akan tetapi, setelah
pilkada, suasana itu hilang. Meski ia masih melewati gang yang sama serta
shalat di masjid yang sama, kini tak ada lagi tetangga yang menunggu dan
menyapanya di ujung gang. Pun tak ada lagi diskusi ringan disertai canda tawa
lepas seperti dulu. Beberapa orang malah cenderung menghindar bertatap
langsung dengan sang kolega.
Tak sedikit cerita serupa dialami warga
Jakarta lain-dan bahkan mungkin warga luar Jakarta-yang mengalami perlakuan
tak bersahabat dari kolega, tetangga, dan kerabat lantaran perbedaan
preferensi politik dalam pemilu dan pilkada. Lalu, apa yang salah dengan
negeri ini?
Gagal
"hijrah"
Suasana politik keruh sebenarnya sudah
terbentuk sejak menjelang Pemilu Presiden 2014. Munculnya dua pasangan calon,
Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, dalam pilpres tak
hanya membelah politik nasional kedua kubu politik berlawanan, tetapi juga
meninggalkan luka politik bagi sebagian pendukung mereka yang gagal
"hijrah", atau menggunakan terminologi populer, gagal move on,
sejak pasca-pilpres hingga kini. Meski koalisi pendukung masing-masing, yakni
Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP), akhirnya
"mencair", hal itu tampaknya tidak terjadi di sebagian masyarakat
akar rumput.
Pembelahan politik yang mewarnai kompetisi
pilpres semestinya sudah berhenti dan selesai saat Jokowi-JK terpilih dan
Prabowo-Hatta sebagai capres dan cawapres yang kalah secara ksatria mengakui
kekalahannya. Itu pula yang seharusnya terjadi ketika Anies-Sandi memenangi
Pilkada DKI dan Basuki-Djarot secara terbuka mengakui kekalahan serta
mengucapkan selamat kepada pasangan gubernur dan wakil gubernur terpilih.
Politik yang "cair" dan rekonsiliatif pasca-pemilu dan pilkada
diperlukan negeri ini agar pembangunan bisa dilanjutkan dan janji-janji
politik bisa segera diwujudkan oleh pasangan terpilih.
Namun, pasca-Pilpres 2014, rekonsiliasi
politik di tingkat elite tampaknya berlangsung "semu", sementara
rekonsiliasi sosial di tingkat akar rumput tak terjadi. Akibatnya, luka
politik dan sosial bukan hanya tak kunjung sembuh, melainkan juga cenderung
terpelihara. Ironisnya, tak sedikit pula orang atau kelompok orang yang mau
bekerja profesional sebagai operator untuk "memelihara" luka
politik dan sosial, bahkan mungkin juga "merawat" dendam politik
yang belum lunas terbayar.
Akal
sehat tak bekerja
Oleh karena itu, dinamika politik Pilkada
DKI tak sepenuhnya terkait pertarungan gagasan tentang Jakarta yang lebih
baik. Hampir selalu ada penumpangan agenda politik tersembunyi di balik
kompetisi politik yang semestinya berlangsung fair dan sportif. Agenda itu
bisa sangat beragam, mulai dari dendam politik, ambisi kekuasaan, hingga
politik rasialis. Dendam politik, misalnya, belum tentu semata-mata terkait
urusan menang-kalah di pilkada, melainkan lebih karena sang "pemilik
dendam" merasa gurita bisnis atau kenyamanan ekonominya terganggu jika suatu
rezim politik berada di tangan orang dan/atau kelompok politik lain.
Maka, ketika Ahok dituding melakukan
penodaan agama dalam pidatonya di Kepulauan Seribu, para musuh politiknya
bagai memperoleh durian runtuh.
Sejak kasus "penodaan agama"
dituduhkan kepada sastrawan HB Jassin (1968)-karena majalah Sastra edisi No
8/Agustus 1968 itu menerbitkan cerita pendek "Langit Makin Mendung"
-hingga kasus survei tabloid Monitor oleh Arswendo Atmowiloto (1990), Lia
Eden yang mempersonifikasi diri sebagai Bunda Maria (2006 dan 2009), dan
Ahmad Musadeq yang mengangkat diri sebagai "Nabi" (melalui aliran
Qiyadah Islamiyah, 2007, dan Gafatar, 2016), tak pernah ada definisi yang
jelas dan jernih, apa yang dimaksud serta apa saja ruang lingkup
"penodaan agama".
Juga, menjadi tak relevan didiskusikan di
sini, apakah Pasal 156 dan 156a KUHP tentang penodaan agama benar-benar
"pasal karet" yang bisa disalahgunakan oleh siapa saja, kapan saja,
dan untuk kepentingan apa saja.
Ketika akal sehat tidak bekerja, maka hukum
menjadi "liar" dan arah pedang keadilan pun akhirnya didasarkan
pada tafsir subyektif aparat penegak hukum selaku "wakil Tuhan".
Kontroversi vonis majelis hakim Pengadilan Jakarta Utara atas Ahok saya kira
mengonfirmasi hal itu.
Kotak
pandora
Problemnya bertambah kompleks karena Ahok
adalah seorang sosok gubernur petahana yang tak sekadar keras, temperamental,
dan tak kenal kompromi dalam menindak koruptor, tetapi juga seorang figur
yang memikul beban minoritas ganda, yakni sebagai pemeluk Kristiani sekaligus
Tionghoa. Akibatnya, persaingan para calon dalam Pilkada DKI tak hanya
membuka kotak pandora isu-isu primordial berbasis suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA), tetapi juga menghidupkan kembali perdebatan klasik
esensi keindonesiaan kita, termasuk isu sensitif, relasi agama dan politik
(negara).
Reli-reli aksi massa dengan label
"bela Islam" di satu pihak, dan "bela NKRI" serta
kebinekaan di lain pihak, baik sebelum maupun pasca-Pilkada DKI, adalah
refleksi terbukanya kotak pandora yang membahayakan dan tak diinginkan itu.
Betapa tidak, tak pernah terjadi sebelumnya tingkat saling curiga dan saling
tak percaya di antara berbagai elemen bangsa kita begitu mengkhawatirkan
seperti dirasakan hari-hari ini. Tak mengherankan jika Presiden Jokowi merasa
perlu bertemu banyak tokoh masyarakat dalam banyak kesempatan dengan pesan
berulang-ulang yang sangat jelas, yakni agar kita semua berdiri tegak di atas
konstitusi dan kembali kepada cita-cita Republik yang diproklamasikan pada
1945.
Ajakan Presiden untuk kembali pada cita-cita
para pendiri bangsa, yakni negara kesatuan berbentuk republik yang
berfondasikan keberagaman dengan falsafah dasar Pancasila, tentu sangat
beralasan dan karena itu patut diapresiasi. Terlalu mahal taruhan bagi bangsa
ini jika keterbelahan politik dan sosial bermuara pada konflik sektarian yang
bisa mencabik-cabik negeri ini seperti dialami sejumlah negara di Timur
Tengah dan Eropa Timur. Meski demikian, mewujudkan harapan Presiden Jokowi
dalam jangka pendek bukanlah pekerjaan mudah. Persoalannya, suasana saling
curiga dan politik yang keruh memiliki akar masalah yang kompleks.
Bagaimanapun suasana bangsa kita hari ini adalah produk dari akumulasi
kelalaian yang sudah bertumpuk sejak puluhan tahun yang lalu. Ada beberapa
faktor yang bisa dicermati.
Ambivalensi
negara
Pertama, ambivalensi negara dalam menyikapi
bangkitnya gerakan-gerakan radikal agama, dan juga tumbuhnya berbagai aliran
"sempalan" agama, sehingga yang tampak secara publik adalah tak
adanya konsistensi negara dalam penegakan hukum. Terkait maraknya aliran
agama, misalnya, di satu pihak negara diamanatkan konstitusi melindungi hak
dan kebebasan setiap warga negara, termasuk kebebasan beragama dan menganut
kepercayaan. Namun, di pihak lain negara dan institusi representasi negara,
seperti pemda, kodim, polres, polsek, koramil, dan seterusnya, cenderung
membiarkan dan bahkan acap kali memfasilitasi penindasan dan represi suatu
kelompok masyarakat atas kelompok lain.
Itulah misalnya yang dialami jemaah
Ahmadiyah di sejumlah daerah serta jemaah Syiah di Sampang, Madura. Mereka,
warga negara yang memiliki hak dilindungi negara, terusir dan diusir dari
kampung halaman oleh saudara sebangsa sendiri hanya karena berbeda aliran
dan/atau keyakinan dalam beragama. Selain sikap mendua negara, tampak pula
tak ada konsistensi negara dalam penegakan supremasi hukum. Tumbuh suburnya
kelompok-kelompok radikal dan anti-Pancasila pada dasarnya produk dari
inkonsistensi itu.
Kedua, kegagalan pemerintah-pemerintah
sejak Indonesia merdeka mengelola keindonesiaan yang berbasiskan keberagaman.
Hampir tidak ada keseriusan memperkuat fondasi kebangsaan. Bhinneka Tunggal
Ika berhenti sebagai semboyan belaka. Selama lebih dari 70 tahun merdeka tak
pernah ada upaya serius bagaimana keberagaman secara agama, ras, etnik, dan
daerah dikonversi, dikelola, dan dikapitalisasi sebagai aset dalam mewujudkan
Indonesia yang kokoh, adil, makmur, dan sejahtera.
Sejak dahulu pemerintah lebih
memprioritaskan pembangunan negara. Fokus yang tak pernah berhenti untuk
mengejar pertumbuhan ekonomi merefleksikan hal itu. Kurang menjadi perhatian
bahwa dampak orientasi berlebihan pada pertumbuhan ekonomi adalah semakin
tajam dan melebarnya ketimpangan sosial. Tak mengherankan jika segelintir
orang Indonesia menguasai sebagian besar aset ekonomi nasional. Problem
bertambah rumit ketika mayoritas mereka yang menguasai ekonomi itu berasal
dari kelompok minoritas, baik agama maupun etnik.
Ketiga, meskipun era reformasi telah
berlangsung hampir dua dekade, sulit dimungkiri bahwa bangsa kita hingga hari
ini tidak pernah bisa benar-benar "hijrah" dan menarik garis batas
yang jelas dari rezim otoriter Orde Baru. Cara pandang Orde Baru yang
cenderung melembagakan suasana saling tak percaya di antara berbagai elemen
bangsa terus direproduksi dan dipelihara, bukan oleh negara, melainkan oleh
para operator profesional yang bersekongkol dengan para pebisnis hitam,
politisi busuk, dan para radikalis agama. Hal ini tampak dari upaya
mempertentangkan pribumi dan nonpribumi, peruncingan sentimen berbasis SARA,
khususnya antara yang Muslim dan "kafir", begitupun penciptaan
fobia terhadap bahaya "kebangkitan" PKI dan komunisme, yang
semuanya adalah replika otentik dari politik rezim Soeharto.
Tidak mustahil para operator pemelihara
konflik memanfaatkan durian runtuh kasus Ahok bukan sekadar untuk mengganjal
Ahok, melainkan juga dalam rangka menghentikan mentor politik Ahok, yakni
Presiden Jokowi, sekurang-kurangnya agar hanya berkuasa hingga 2019. Sangat
bisa diduga tak sedikit pemilik gurita bisnis besar yang terganggu
kenyamanannya akibat kebijakan Jokowi dan Ahok yang merugikan mereka sehingga
mereka terus memelihara politik yang keruh dalam suasana saling curiga yang
mencemaskan kita semua.
Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain
bagi Presiden Jokowi kecuali tetap berdiri tegas lurus di atas konstitusi
untuk menegakkan cita-cita para pendiri Republik, yakni sebuah Indonesia yang
berbasis keberagaman sebagaimana terkristalisasi di dalam falsafah dasar
negara Pancasila. Juga, tidak ada pilihan lain bagi elemen masyarakat sipil
kecuali memelihara akal sehat dan kewarasan agar tidak turut terperosok tipu
daya para pebisnis hitam, politisi busuk, dan kaum radikalis agama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar