Penegakan
Hukum Perppu Nomor 1 Tahun 2017
Adrianto Dwi Nugroho ; Dosen Fakultas Hukum UGM;
Mahasiswa Doktoral di
University of Helsinki, Finlandia
|
KOMPAS, 12 Juni 2017
Pada 8 Mei 2017 telah diundangkan Perppu
Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan
Perpajakan.
Selain menjadi perangkat hukum yang dapat
memperbaiki predikat Indonesia pada kerja sama global di bidang pertukaran
informasi untuk kepentingan perpajakan, peraturan pemerintah pengganti
undang-undang (perppu) ini juga dimanfaatkan oleh Direktorat Jenderal Pajak
(DJP) sebagai instrumen penegakan hukum setelah berakhirnya amnesti pajak.
Perppu ini diharapkan dapat memperlancar tugas pemeriksaan dan penyidikan
yang dilakukan oleh DJP.
Sebab, perppu ini telah mencabut ketentuan
mengenai permintaan tertulis oleh Menteri Keuangan kepada Ketua Dewan
Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengakses informasi keuangan
yang terdapat pada bank, sebagaimana diatur pada Pasal 35 Ayat (2) UU tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UUKUP) dan peraturan pelaksanaannya.
Momentum
baru
Secara normatif, informasi yang diperoleh
dari lembaga keuangan, terutama bank, memiliki nilai yang setara dengan
informasi yang didapat dari pihak ketiga lainnya, seperti akuntan publik dan
notaris. Keberadaannya dapat membantu pemeriksa pajak dalam melakukan uji
silang terhadap informasi yang disampaikan wajib pajak (WP) pada surat
pemberitahuan (SPT).
Meski demikian, keterikatan bank pada
metode pengawasan kegiatan usaha dan standar akuntansi yang dilakukan oleh
OJK- sebagaimana Pasal 7 UU OJK- menjamin ketersediaan informasi keuangan
yang baik dan tertib. Selain itu, ketertundukan bank pada peraturan
perundang-undangan di bidang pemberantasan dan pencegahan pencucian uang
menjadikan informasi keuangan mampu untuk menerangkan dugaan ketidakpatuhan
atau pengelakan pajak yang sedang atau telah dilakukan oleh seorang WP.
Bagi WP, perppu ini harus dimaknai sebagai
momentum untuk meningkatkan kepatuhan di bidang perpajakan. Dalam konteks
pemungutan Pajak Penghasilan (PPh), misalnya, informasi mengenai perolehan
penghasilan dan kepemilikan simpanan bank yang disampaikan pada SPT harus
mencakup penghasilan dan simpanan bank yang dimiliki di dalam dan luar
negeri. Selain itu, WP juga harus mampu memberikan keterangan asal-usul dan
aliran dana yang digunakan dalam transaksi perbankan yang dilakukannya.
Sementara itu, bagi DJP, perppu ini harus
dimaknai sebagai momentum untuk meningkatkan profesionalitas dalam pemungutan
pajak. Dalam konteks penegakan hukum, profesionalisme pemeriksa dan penyidik
DJP ditunjukkan dengan memanfaatkan kewenangan untuk mengakses informasi
keuangan hanya ketika proses pemeriksaan atau penyidikan menghendaki
informasi tersebut. Artinya, informasi keuangan bukan sebagai dasar melakukan
pemeriksaan atau penyidikan terhadap WP tersebut.
Dengan kata lain, akses terhadap informasi
keuangan hanya digunakan apabila ada alasan yang kuat untuk melakukan itu.
Sejalan dengan kesimpulan tersebut, DJP juga wajib menilai keberalasan
(reasonableness) permintaan informasi keuangan oleh otoritas pajak yang
menjadi mitra kerja sama pertukaran informasi.
Perlu
aturan lebih lanjut
Beban administratif yang signifikan dari
pemberlakuan Perppu No 1/2017 sebetulnya dipikul oleh lembaga keuangan,
termasuk bank. Selain harus mampu dan bersedia untuk menyampaikan informasi
yang sesuai dengan standar yang berlaku pada kerja sama pertukaran informasi,
bank juga diwajibkan untuk melakukan prosedur identifikasi rekening keuangan
yang wajib dilaporkan.
Prosedur tersebut mencakup, antara lain,
penentuan negara domisili pemegang rekening keuangan dan penentuan seseorang
sebagai pengendali (beneficial owner) dari pemegang rekening keuangan yang
berbentuk badan (Pasal 2 Ayat 5 Perppu No 1/2017). Ancaman sanksi pidana
dikenakan terhadap lembaga keuangan atau pimpinan/pegawai lembaga keuangan
yang tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut.
Agar dapat berjalan efektif, beberapa
ketentuan yang terdapat pada Perppu No 1/2017 perlu diatur lebih lanjut.
Pertama, perlu ada pengaturan lebih lanjut
mengenai kriteria rekening keuangan yang wajib dilaporkan (reportable
account). Persyaratan uji tuntas yang terdapat dalam common reporting
standards perlu diadopsi dalam peraturan pelaksanaan Perppu No 1/2017. Kedua,
perlu ada pengaturan lebih lanjut mengenai basis data perpajakan yang berasal
dari informasi yang disampaikan oleh lembaga keuangan, baik secara elektronik
maupun non-elektronik. Perangkat hukum dan instrumen teknis yang memadai
diperlukan untuk melindungi WP dari penyalahgunaan data dan informasi oleh
pihak yang tidak berwenang.
Akhirnya, pemberian kewenangan untuk
mengakses informasi keuangan berdasarkan Perppu No 1/2017 masih harus diuji
di parlemen. Penetapan perppu ini menjadi UU akan mendekatkan pemerintah pada
keberhasilan untuk memberantas pengelakan pajak melalui kerja sama pertukaran
informasi yang saat ini telah memiliki 141 negara anggota (OECD, 19 Mei
2017).
Artinya, pemberian akses terhadap informasi
yang dikelola oleh lembaga keuangan dalam negeri secara tidak langsung
memberikan DJP akses terhadap informasi yang dikelola oleh lembaga keuangan
di 141 negara. Meski demikian, kewenangan yang luas ini harus digunakan
secara bijaksana oleh aparat DJP sehingga dapat mendukung produktivitas dan
profesionalitas kinerja dalam rangka mencapai target penerimaan pajak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar