Adios
Zaman Sembunyi Pajak!
Yustinus Prastowo ; Direktur Eksekutif CITA (Center for Indonesia
Taxation Analysis)
|
MEDIA
INDONESIA, 12 Juni 2017
TERBITNYA Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan
untuk Kepentingan Perpajakan layak disambut hangat. Selain sebagai perwujudan
komitmen Indonesia terhadap inisiatif global untuk memerangi penghindaran
pajak, perppu ini juga hendak mengatasi problem stagnasi rasio pajak yang
membuat tersendatnya pembiayaan pembangunan nasional. Bahkan cekaknya
pundi-pundi negara memaksa pemerintah berpikir keras menyediakan instrumen
pembiayaan lain seperti penerbitan surat utang negara.
Namun, belakangan timbul diskusi yang
hangat pascapenerbitan Permenkeu Nomor 70/PMK.03/2017 sebagai pelaksanaan
perppu. Lalu bagaimana isu ini sebaiknya dipahami dan dikelola?
Perppu ini lahir karena sebuah
kemendesakan. Indonesia yang menyatakan berpartisipasi dalam Global Tax Forum
yang dibentuk organisasi untuk kerja sama dan pembangunan ekonomi (OECD)
setuju untuk ikut dalam inisiatif pertukaran informasi otomatis (automatic
exchange of information/AEOI) melalui Perpres No 159/2104.
AEOI memungkinkan negara-negara yang
bekerja sama untuk mempertukarkan data/informasi keuangan milik warga negara
mitra yang disimpan di lembaga keuangan di negara tersebut.
Dengan demikian, perjalanan panjang
menangkal praktik penghindaran pajak agresif yang selama ini dikeluhkan
karena menggerus basis pajak dan potensi penerimaan negara maju dan
berkembang akan dapat diatasi.
Namun, penilaian Global Tax Forum terhadap
Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia masih belum sesuai dengan standar yang
diharapkan (partially compliant) karena belum memiliki primary regulation
atau undang-undang yang memungkinkan pertukaran dilakukan.
Konsekuensinya, jika sampai 30 Juni 2017
tidak memiliki UU, akan dianggap tidak memenuhi komitmen dan dapat
dikucilkan.
Pencapaian terbesar OECD dan G-20 ialah
penyelarasan instrumen pertukaran informasi bernama common reporting
standard, (CRS) pada 2013.
Selama ini kita hanya mengenal pertukaran
informasi berdasarkan permintaan dan spontan.
Hal inilah yang menjadi kendala karena jika
negara mitra tidak kooperatif karena ingin melindungi kepentingan mereka,
praktis informasi keuangan akan disembunyikan.
Praktik yurisdiksi rahasia (secrecy
jurisdiction) atau dikenal pula sebagai negara suaka pajak (tax havens) telah
amat mengkhawatirkan lantaran isunya bukan semata melindungi hak pribadi
(privacy), tetapi melindungi kerahasiaan (secrecy) bahkan di hadapan otoritas
pajak yang berwenang.
Selain mengatur pertukaran informasi
otomatis antarnegara, perppu juga mengatur kewenangan akses informasi
keuangan untuk kepentingan perpajakan dalam negeri.
Mengapa harus diatur saat ini? Karena
problem pemungutan pajak selama ini ialah minimnya akses ke data/informasi
keuangan yang justru menjadi titik krusial untuk diatasi.
Data amnesti pajak mengonfirmasikan
kemendesakan ini. Tidak kurang Rp2.900 triliun aset keuangan dideklarasikan
selama program berlangsung, atau mencapai 56% dari total deklarasi harta, dan
Rp2.100 triliun di antaranya ditempatkan di dalam negeri.
Argumen bahwa tuntutan kemendesakan global
hanyalah AEOI sehingga perppu seyogianya hanya mengatur pertukaran otomatis
antarnegara dapat dimengerti meski kurang memadai.
Kita melupakan satu hal, bahwa
negara-negara yang tergabung dalam OECD aktif memperjuangkan AEOI karena
mereka telah menyelesaikan persoalan keterbukaan akses untuk kebutuhan dalam
negeri.
Isi
perppu dan tantangannya
Perppu ini setidaknya mengatur (i)
kewenangan Ditjen Pajak mendapatkan akses untuk menerima dan memperoleh
informasi keuangan dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan (kebutuhan domestik), dan pelaksanaan
perjanjian internasional di bidang perpajakan.
(ii) Lembaga jasa keuangan--meliputi
perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan/entitas lain
yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan--melalui Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) secara berkala wajib menyampaikan laporan yang berisi identitas
pemegang rekening keuangan, nomor rekening keuangan, identitas lembaga jasa
keuangan, saldo atau nilai rekening keuangan, dan penghasilan yang terkait dengan
rekening keuangan.
(iii) Perlindungan hukum bagi pejabat
maupun para pihak yang melaksanakan kewajiban, dan sanksi bagi lembaga jasa
keuangan dan para pihak yang tidak memenuhi kewajiban, (iv) pencabutan
pasal-pasal kerahasiaan di UU KUP, UU Perbankan, UU Pasar Modal, UU
Perdagangan Berjangka Komoditi, dan UU Perbankan Syariah.
Menteri Keuangan melalui Permenkeu Nomor
70/PMK.03/2017 mengatur lebih lanjut supaya perppu ini setelah disahkan DPR
dapat segera dijalankan dan memberikan kepastian hukum.
Ada beberapa hal yang penting dipahami dari
PMK ini, antara lain (i) pengertian-pengertian umum dan khusus agar memberi
kepastian baik bagi wajib pajak, lembaga jasa keuangan maupun otoritas. (ii)
Ambang batas (threshold) saldo yang wajib dilaporkan lembaga jasa keuangan,
yaitu US$250.000 atau setara Rp3,3 miliar untuk pertukaran antarnegara. Dalam
rangka pelaksanaan peraturan perpajakan dalam negeri, ambang batasnya Rp200
juta untuk nasabah pribadi dan tanpa batas bawah untuk badan. Belakangan
ambang batas Rp200 juta ini dinaikkan menjadi Rp1 miliar setelah
memperhatikan berbagai masukan dari masyarakat. (iii) Prosedur atau tata cara
penyampaian informasi/laporan, jangka waktu dan batas waktu, serta
konsekuensi dan sanksi, (iv) penegasan perlindungan data dan larangan
penyalahgunaan data termasuk sanksinya.
Bola sekarang ada di DPR, yang akan
memberikan persetujuan sehingga perppu ini sah untuk kemudian menjadi
undang-undang, atau akan ditolak.
Dalam konteks di atas, seharusnya perppu
ini sudah memenuhi persyaratan yang ditetapkan konstitusi yakni dangerous
threat, reasonable necessity, dan limited time.
Kita harus menatap ke depan dan melangkah
maju. Kekurangan yang ada sebaiknya diupayakan dimitigasi dengan perumusan
peta jalan yang lebih transparan dan komprehensif.
Meski demikian, perppu ini baru mengatur
hal-hal normatif, khususnya kewenangan akses Ditjen Pajak terhadap
informasi/data keuangan melalui peniadaan pasal-pasal kerahasiaan.
Langkah-langkah strategis perlu segera
diambil pemerintah dan DPR.
Pertama, dalam rangka memanfaatkan
momentum, DPR perlu segera memberikan dukungan pada penuntasan reformasi
perpajakan dengan mengesahkan perppu ini menjadi undang-undang dan bersama
pemerintah menyelesaikan revisi UU KUP dan UU Perbankan, termasuk segera
menyetujui RUU Perlindungan Data Pribadi.
Kedua, untuk menjawab keresahan publik,
perlu segera dilakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat wajib pajak
dan para nasabah. Bahwa selain kebijakan ini merupakan sebuah keniscayaan,
implementasinya justru ingin memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi
wajib pajak yang sudah patuh, termasuk yang telah ikut program amnesti pajak.
Kenaikan ambang batas menjadi Rp1 miliar
patut diapresiasi karena akan meringankan beban administrasi lembaga jasa
keuangan dan otoritas pajak.
Membuat tindak lanjut lebih efektif, dan
keberpihakan pemerintah kepada kelompok menengah-bawah untuk tidak dijadikan
sasaran kebijakan perpajakan dalam jangka pendek.
Ketiga, besarnya kewenangan yang diberikan
UU harus diikuti sistem akuntabilitas yang baik, yaitu perlindungan data
nasabah/wajib pajak (confidentiality and data safeguard) dari penyalahgunaan
di luar kepentingan perpajakan (fishing
expedition) dan pertanggungjawaban pemanfaatan data keuangan. Perlu
segera dibuat regulasi yang secara eksplisit mengatur perlindungan data,
sistem administrasi yang transparan dan akuntabel dalam mengawasi pemanfaatan
data, dan formulasi sanksi yang berat bagi pihak yang menyalahgunakan
kewenangan.
Keempat, segera diselesaikan pengembangan
compliance risk management (CRM) yang menjamin data/informasi keuangan yang
telah diberikan akan diolah bersama dengan data lainnya secara efektif
sehingga tepat sasaran dan tujuan. Sistem ini akan menghasilkan klasifikasi
wajib pajak berdasarkan risiko: tinggi, sedang, dan rendah.
Wajib pajak yang berisiko tinggi akan
menjadi target pemeriksaan, yang berisiko sedang akan dihimbau untuk patuh,
dan yang berisiko rendah akan mendapatkan pelayanan/insentif yang baik. Keputusan
Menteri Keuangan menaikkan threshold sudah tepat.
Data amnesti pajak menunjukkan wajib pajak
dengan segmen UKM dan nilai harta di bawah Rp1 miliar mencapai 145.108 WP dan
porsi asetnya hanya 2,28% dari total deklarasi WP orang pribadi. WP OP UKM
yang deklarasi hartanya di atas Rp1 miliar sebanyak 98.869 WP dengan porsi
22,33% dari total deklarasi. Secara keseluruhan, deklarasi harta amnesti
kelompok kas/setara kas di atas Rp1 miliar mewakili 95,50% dari keseluruhan
kas/setara kas.
Data LPS juga memperkuat keputusan ini,
bahwa jumlah rekening dengan nilai simpanan sampai dengan Rp200 juta ada
199,8 juta rekening dan porsi nilainya hanya 19,53%. Rekening yang nilainya
di atas Rp1 miliar hanya dimiliki 496 ribu dengan porsi 64,22%. Dengan
demikian, cost of compliance di sisi lembaga jasa keuangan lebih rendah
(efisien) dan cost of collection di sisi otoritas pajak juga turun (efektif).
Berdasarkan data dan analisis itu, tidak
beralasan jika kebijakan ini akan berdampak negatif pada industri perbankan
karena sasarannya jelas dan terukur. Tujuannya juga dibatasi UU, dan
pelaksanaannya dilakukan di bawah standar OECD dan koordinasi kelembagaan OJK
dan Ditjen Pajak.
Kini kita menyongsong era baru perpajakan,
era yang harus mengucapkan selamat tinggal pada rezim kerahasiaan menuju era
keterbukaan. Bagi yang sudah patuh, keputusan kita sudah tepat. Bagi yang
belum patuh, masih ada kesempatan untuk melakukan pembetulan SPT atau
pengungkapan ketidakbenaran.
Ini momentum emas yang harus dimanfaatkan
agar terjadi akselerasi pemungutan pajak yang berkeadilan dan reformasi
ekonomi yang menunjang pemerataan dan perbaikan kesejahteraan rakyat. Diperlukan
perubahan paradigma di semua tingkatan agar tercipta keserempakan visi dan
misi. Selamat datang era baru perpajakan, adios zaman sembunyi pajak! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar