Selamat,
Komisioner OJK
Candra Fajri Ananda ; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis,
Universitas Brawijaya
|
KORAN
SINDO, 12 Juni 2017
Sebagai
pembuka, penulis mengucapkan selamat kepada Wimboh Santoso yang pekan lalu
terpilih sebagai ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Wimboh
berhasil meyakinkan mayoritas anggota Komisi XI DPR untuk memilihnya sebagai
nakhoda OJK periode 2017– 2022. Amanah besar ini akan ditanggung secara
gotong-royong dengan enam anggota komisioner OJK lainnya yang juga terpilih.
Yang jelas tugas sebagai komisioner OJK bukanlah perkara mudah mengingat
banyaknya masalah dan tantangan kedepan yang harus segera dituntaskan.
Jika
kita flashback sejenak, wacana pembentukan OJK satu dekade lalu
dilatarbelakangi desakan untuk mengefisienkan sistem pengaturan dan
pengawasan di sektor jasa keuangan. Proses pembentukannya pun tidak terlepas
dari baying-bayang pro-kontra. Pihak yang pro dengan inisiasi pembentukan OJK
berkilah, pada saat itu publik membutuhkan lembaga yang lebih kredibel dan
fokus terhadap pengawasan kinerja industri jasa keuangan.
Krisis
moneter 1997 sukses ”mematikan” kredibilitas BI sebagai otoritas tunggal di
sektor moneter. BI berada dalam masa suram dan dianggap memiliki banyak
kelemahan dalam proses pengawasan perbankan sehingga banyak industri keuangan
yang pada akhirnya kolaps dengan efek berantai. Sementara kubu yang kontra
berpatron pada eksistensi lembaga yang fungsinya identik dengan OJK di
beberapa negara.
Negara-negara
maju seperti Inggris, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Australia gagal
melanjutkan kiprah OJK-nya karena besarnya biaya transaksi akibat disharmoni
kebijakan dengan bank sentralnya. Sebenarnya gejala yang sama sudah cukup
terasa di Indonesia, yaitu antara BI dan OJK sempat beberapa kali mengalami
deadlock untuk menyelaraskan kebijakan.
Proses
integrasi informasi mengenai wewenang di lingkup mikro dan makroprudensial
sempat tidak dikelola secara efektif. Bahkan di beberapa grey area yang
sifatnya irisan antara peran BI dan OJK sempat terjadi perdebatan sengit,
misalnya mengenai penentuan giro wajib minimum (GWM). Ihwal tuntutan untuk
melakukan penguatan koordinasi antara OJK dengan anggota Forum Koordinasi
Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) lainnya dan khususnya antara OJK dengan
BI, dapat dikatakan itu merupakan langkah yang paling mendesak agar iklim
pasar senantiasa kondusif.
Peran
Wimboh di masa lalu yang pernah menjadi ketua task forceuntuk pembentukan OJK
akan menjadi keuntungan tersendiri bagi FKSSK mengingat dia akan memahami
faktor-faktor fundamental yang perlu dibangun OJK agar koheren dengan tujuan
utama dari FKSSK.
Ada
empat prioritas kebijakan yang hendak dibangun Ketua Dewan Komisioner OJK
yang baru:
(1)
kehadiran OJK di daerah terpencil;
(2)
membangun infrastruktur keuangan di perdesaan;
(3)
operasional OJK yang efisien, mulai dari model pengawasan hingga anggaran
untuk OJK; dan
(4)
”menahan” investor agar betah di Indonesia.
Empat
prioritas yang dibawa Wimboh dalam perspektif penulis sudah sangat click
dengan muruah OJK sehingga tinggal kita kawal agar visi-misinya bisa
betul-betul diterapkan dan perkembangan sektor jasa keuangan kian menggeliat.
Banyak respons dan ekspektasi positif yang bermunculan dari berbagai pihak
menanggapi terbentuknya jajaran komisioner OJK yang baru. Misalnya Menko
Perekonomian Darmin Nasution dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Keduanya
mengatakan Dewan Komisioner OJK yang baru kalau bisa ikut membantu pemerintah
menekan net interest margin (NIM) dan kredit bermasalah (NPL) agar kinerja
sektor kredit dan sektor riil semakin menggeliat. Sementara itu dari sektor
swasta yang diwakili Asosiasi Emiten Indonesia berharap regulasi mengenai
aturan pungutan terhadap organisasi usaha (self regulatory organization) pasar modal tidak lantas membebani
emiten.
Karena
nanti akan meningkatkan biaya operasional yang harus ditanggung emiten.
Direktur Bursa Efek Indonesia juga ikut mengingatkan betapa pentingnya
sinergi antarelemen di sektor pasar modal. Peraturan-peraturannya jangan
sampai tumpangtindih agar pasar modal dapat terus berkembang. Selain apa yang
sudah disampaikan beberapa pihak tadi, sedikitnya ada empat poin yang perlu
untuk segera dikerjakan jajaran Komisioner OJK yang baru.
Pertama,
perlu diingatkan kembali bahwa sistem koordinasi antara OJK dan FKSSK
bersifat sangat dinamis.
Mengapa
dikatakan dinamis, karena kebijakannya menyesuaikan dengan kondisi pasar baik
di lingkungan nasional maupun global. Arah kebijakannya tetap bermuara pada
daya dukung kelembagaan yang sehat agar kondisi perekonomian terus mengalami
eskalasi.
Kinerja
industri jasa keuangan yang di bawah otorisasi OJK sangat dipengaruhi kebijakan
BI khususnya terkait dengan tingkat suku bunga dan 7 day repo rate. Kemudian
OJK juga memiliki hubungan yang erat dengan otoritas fiskal (khususnya
Kemenkeu) karena kesehatan pasar permintaan jasa keuangan juga dipengaruhi
kondisi ekonomi di sektor riil sehingga FKSSK memang harus diciptakan dengan
sangat erat untuk terus berkoordinasi.
Kedua,
tugas OJK dipastikan akan berjalan cukup berat pasca-tax amnestydan
berlakunya Perppu Nomor 1/2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk
Kepentingan Perpajakan.
Tax
amnesty menghasilkan dana repatriasi yang mencapai ratusan triliun rupiah,
yang kabarnya sebagian besar telah dialokasikan ke dalam instrumen deposit
perbankan. Adanya gelontoran dana repatriasi ini di satu sisi sangat membantu
likuiditas perbankan untuk dikelola sebagai pengembangan dana kredit,
sedangkan di sisi yang lain peran OJK harus bisa menjaga agar risiko NPL
tidak merenggut kepercayaan pemodal yang ”dipaksa” berinvestasi akibat
kebijakan tax amnesty.
Kepercayaan
nasabah terhadap OJK dan pemerintah juga tengah diuji dengan hadirnya Perppu
Nomor 1/ 2017. Beberapa waktu yang lalu banyak nasabah yang cenderung panik
akibat jaminan keamanan yang masih simpang siur terkait data-data nasabah.
Nah peran OJK sekali lagi akan dipertaruhkan untuk menjaga agar tidak terjadi
penarikan dana secara besar-besaran.
Ketiga,
janji OJK untuk semakin meningkatkan infrastruktur di sektor keuangan
seharusnya juga menyentuh perbaikan pengelolaan pada industri financial
technology atau yang sering disebut fintech.
Saat
ini perkembangan fintech sangat masif seiring dengan kenaikan jumlah
masyarakat yang semakin melek teknologi. Namun celakanya belum ada regulasi
yang khas untuk mengatur dan mengawasi setiap transaksi yang melalui fintech.
Di beberapa negara, industri fintech bahkan mulai menggunakan uang digital
sebagai alat bertransaksi.
Oleh
karena itu, OJK perlu lebih serius menangani operasional ekonomi digital dari
sisi usaha keuangan agar bisa terpantau dan tertangani dengan baik. Namun
yang perlu dicatat, jangan sampai regulasi yang akan disusun justru
berbenturan dengan eksistensi fintech yang sangat inovatif dan mendukung
efisiensi ekonomi.
Keempat,
pekerjaan besar yang merupakan warisan dari komisioner OJK terdahulu juga
berkutat di tingkat literasi keuangan, khususnya di wilayah perdesaan dan
remote area (tertinggal).
Orang-orang
desa selalu dianggap terbatas kemampuan literasi keuangannya karena memang
belum ada ranah untuk berinteraksi dan bertukar kepentingan antara industri
keuangan dengan masyarakat desa. Sebagian besar pergerakan sektor keuangan di
desa justru lebih banyak dikendalikan lembaga keuangan informal nonbank,
misalnya tengkulak, rentenir, dan koperasi simpan-pinjam sehingga sangat
wajar deru aktivitas kalangan perbankan tidak cukup terdengar di sana.
Nah
perihal upaya OJK untuk meningkatkan literasi dan infrastruktur keuangan di
desa, OJK harus memahami bagaimana konteks modal sosial yang tepat agar
strateginya berjalan efektif. Misalnya berdasarkan struktur mata pencaharian,
sektor pertanian (dalam arti luas) dapat dikatakan yang paling mendominasi di
wilayah perdesaan, bahkan secara nasional.
Namun
berdasarkan data OJK (2017), jumlah kredit untuk sektor pangan hanya sekitar
14,8% dari total kredit perbankan 2016. Komposisi yang kecil ini juga
dilatarbelakangi karakteristik ekonomi pertanian yang sangat besar
resistensinya. NPL-nya terhitung mencapai 3,32% dan lebih tinggi dari
rata-rata NPL perbankan yang hanya 3,18%.
Namun
tetap saja jika sektor pertanian (khususnya pangan) semakin ditinggalkan,
kita akan menghadapi bahaya besar di masa mendatang. Minimal, bahaya
pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan akibat kegagalan transformasi
struktural akan menghiasi perkembangan perdesaan. Belum lagi dengan adanya
fenomena urbanisasi. BPS (2016) mencatat mulai tahun 2015 penduduk Indonesia
yang menetap di perkotaan lebih banyak daripada yang tinggal di perdesaan.
Komposisi
penduduk perkotaan terkumpul hingga 53,3% dan diperkirakan trennya akan terus
meningkat tajam hingga mencapai 66,6% pada 2035. World Bank (2016) juga
menambahkan efek urbanisasi memang berkorelasi positif terhadap pertumbuhan
ekonomi nasional, tetapi yang terjadi di Indonesia dampak negatifnya lebih
mencolok daripada sisi positifnya.
Ketimpangan
berdasarkan indeks rasio gini kian meningkat, kebutuhan untuk belanja
pengembangan infrastruktur juga semakin membengkak akibat terkonsentrasinya
ekonomi di perkotaan. Karena itu kinerja ekonomi di perdesaan perlu dijaga
agar tidak semakin timpang dengan wilayah perkotaan.
OJK
juga perlu peduli dengan kearifan lokal yang khas di perdesaan. Sektor
pertanian tidak bisa dipaksakan untuk dikelola secara seragam dengan sektor
lain. Oleh karena itu, wacana untuk mendirikan bank pertanian perlu segera
direalisasi agar kinerja keuangan di sektor pertanian tidak semakin
ketinggalan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar