Sistem
Pemilu untuk Siapa
Ramlan Surbakti ; Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP Universitas
Airlangga, Surabaya; Anggota Komisi
Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS, 17 Maret 2017
Perdebatan tentang sistem pemilu proporsional antarfraksi
di Pansus RUU Pemilu di DPR berkutat soal sistem terbuka atau tertutup.
Sistem pemilu proporsional bukan hanya persoalan tertutup, terbuka, atau
terbuka terbatas saja.
Di samping sistem pemilu tidak hanya soal terbuka atau
tertutup, juga tidak jelas apakah terbuka atau tertutup itu menyangkut pola
pencalonan ataukah tata cara penetapan calon terpilih. Hal ini dipertanyakan
karena dalam dua UU Pemilu sebelumnya tata cara penetapan calon terpilih tak
sejalan dengan pola pencalonan: pola pencalonan menurut daftar partai
(menurut nomor urut), tetapi penetapan calon terpilih berdasarkan suara
terbanyak. Karena perdebatan terfokus pada terbuka atau tertutup, sejumlah
unsur sistem pemilu lainnya tidak mendapat perhatian yang mendalam.
Unsur pertama, dan karena itu seharusnya dibahas pertama,
adalah alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan (dapil). Besaran dapil
menjadi unsur pertama karena pemilu merupakan persaingan antar-peserta pemilu
untuk memperebutkan kursi di setiap dapil. Belakangan, unsur ini mulai
disentuh dengan rencana penambahan kursi DPR dan DPRD, tetapi dilakukan tanpa
kejelasan tentang apa yang hendak dicapai dan apa dasar pertimbangan yang
digunakan dalam membagi kursi DPR kepada provinsi.
Yang kelebihan kursi dibiarkan, sedangkan yang dianggap
kurang kursi ditambah. Alokasi kursi DPR kepada provinsi dalam 11 kali pemilu
di Indonesia belum pernah dilakukan berdasarkan prinsip kesetaraan antarwarga
negara, sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945. Fakta ini sama
sekali tidak pernah menjadi pokok pembahasan.
Unsur kedua sistem pemilu adalah peserta pemilu dan pola
pencalonan. UUD negara lain tak mengatur siapa yang menjadi peserta pemilu,
bahkan banyak negara tak menyebut parpol dalam UUD. Satu- satunya UUD di
dunia yang menyatakan secara jelas peran parpol adalah UUD Republik Indonesia
(UUD 1945). Peran parpol dalam pemilu presiden (pilpres) adalah mengajukan
pasangan calon, tetapi peran parpol terbesar adalah dalam pemilu anggota DPR
dan DPRD (pileg) karena menjadi peserta pemilu.
Sebagai peserta pemilu, parpol menentukan daftar calon
menurut nomor urut, menetapkan visi, misi, dan program sebagai materi
kampanye, melaksanakan kampanye, mencari, mengelola, dan
mempertanggungjawabkan dana kampanye, serta mengajukan permohonan kepada
Mahkamah Konstitusi jika hendak mempertanyakan keputusan Komisi Pemilihan
Umum (KPU). Ini menjadi kewenangan partai karena kursi yang diperoleh dalam
pemilu milik partai, bukan milik calon.
Unsur ketiga, model penyuaraan. Aspek model penyuaraan
yang sudah disinggung sedikit adalah penggunaan perangkat elektronik
(teknologi informasi/TI) ketika ada fraksi yang mengusulkan persyaratan lain
untuk menjadi anggota KPU, yaitu penguasaan TI. Penggunaan TI dalam
pemungutan dan penghitungan suara ataupun dalam rekapitulasi hasil
penghitungan suara sama sekali belum dibahas. Apa kriteria yang akan
digunakan dalam menggunakan TI dalam pemilu: kesiapan infrastruktur, SDM,
pemilih, dan partai ataukah memperbaiki dan meningkatkan kualitas pemilu Indonesia?
Unsur keempat, formula/rumus yang digunakan untuk membagi
kursi di setiap dapil kepada peserta pemilu (formula pemilihan). Karena
parpol sebagai peserta pemilu anggota DPR dan DPRD, formula pemilihan tak
bisa lain berupa proporsional. Yang menjadi persoalan adalah tata cara
penetapan calon terpilih (lebih tepat: tata cara penentuan pemangku kursi
partai). Pemerintah mengajukan metode divisor Sainte-Lague yang dimodifikasi
dalam RUU Pemilu. Mengapa meninggalkan metode kuota Hare, mengapa memilih metode
divisor, dan apa yang hendak dicapai dengan metode divisor belum jadi pokok
bahasan mendalam antarfraksi.
Jawaban atas pertanyaan ini sangat bergantung pada tujuan
yang hendak dicapai. Apabila hendak memperbanyak partai, gunakan metode kuota
Hare atau metode divisor Sainte-Lague (metode yang menguntungkan partai
kecil). Jika hendak mengurangi parpol, gunakan divisor D’Hondt (metode yang
menguntungkan partai besar). Namun, jika besaran dapil yang kecil (small
multi-members constituency) digunakan sebagai instrumen menyederhanakan
parpol, gunakan Sainte-Lague yang dimodifikasi (metode yang netral).
Fungsi utama sistem pemilu
Sistem pemilu apa pun memiliki dua fungsi utama. Pertama,
sistem pemilu adalah prosedur konversi suara pemilih menjadi kursi penyelenggara
negara lembaga legislatif atau lembaga eksekutif, baik pada tingkat nasional
maupun lokal. Keempat unsur sistem pemilu itu mutlak diperlukan dalam
mengonversi suara pemilih menjadi kursi. Dua persyaratan utama untuk sistem
pemilu sebagai prosedur konversi suara pemilih menjadi kursi belum menjadi
fokus kajian dari pansus dan pemerintah.
Persyaratan pertama, sistem pemilu itu sederhana untuk
dipahami oleh segala unsur pemilih dan sederhana untuk dilaksanakan oleh
penyelenggara pemilu serta peserta pemilu tingkat operasional. Hal ini
penting diperhatikan karena sistem pemilu proporsional terbuka yang
dilaksanakan sejak Pemilu 2009 merupakan sistem pemilu paling kompleks di
dunia sehingga sukar dipahami pemilih awam.
Persyaratan kedua memandang sistem pemilu sebagai prosedur
konversi harus memenuhi kriteria pemilu demokratik. Hal ini penting dijamin
tak hanya untuk memastikan penyelenggara negara hasil pemilu memiliki
legitimasi di mata rakyat dan dunia, tetapi juga untuk menjamin agar pemilu Indonesia
bukan pemilu otoriter (authoritarian election), seperti Singapura dan
Kamboja. Apakah Pansus RUU Pemilu sudah memiliki daftar kelemahan pemilu
Indonesia berdasarkan hasil evaluasi menyeluruh dan mendalam?
Setidaknya terdapat lima aspek kelemahan proses
penyelenggaraan pemilu di Indonesia yang perlu dapat perhatian pemerintah dan
DPR. Kesetaraan antarwarga negara belum terjamin dalam alokasi kursi DPR
kepada provinsi dan penataan dapil masih amburadul karena dijabarkan tanpa
prinsip serta kriteria yang jelas dan konsisten. Persaingan antarpeserta
sudah bebas, tetapi belum adil karena praktik penyalahgunaan uang dalam
proses pemungutan dan penghitungan suara. Jual-beli suara yang melibatkan
calon, pemilih, dan petugas kian parah serta meluas dibandingkan dengan
Pemilu 2009.
Partisipasi pemilih dalam penyelenggaraan pemilu pada satu
sisi mengalami peningkatan, terutama peran serta lembaga survei dan media
massa, tetapi ada kemunduran pada aspek pemantauan pemilu, pendidikan
pemilih, dan partisipasi pemilih individual dalam melaporkan dugaan
pelanggaran hukum pemilu. Integritas pemilu dalam rekapitulasi hasil
penghitungan suara masih menjadi persoalan, antara lain karena proses
rekapitulasi hasil penghitungan suara pada pemilu Indonesia merupakan proses
yang paling panjang di dunia (lima tingkat untuk DPR dan DPD, empat tingkat
untuk DPRD provinsi, dan tiga tingkat untuk DPRD kabupaten/kota). Akibatnya,
hasil resmi pemilu perlu waktu panjang untuk dapat diketahui publik dan
membuka kesempatan manipulasi hasil penghitungan suara pada setiap tingkat.
Selain itu, penegakan hukum dan penyelesaian sengketa
pemilu tidak hanya belum menjamin keadilan, tetapi juga tidak tepat waktu.
Semua kelemahan ini perlu direspons dalam UU Pemilu.
Fungsi kedua sistem pemilu adalah sebagai instrumen
demokratisasi. Setiap unsur sistem pemilu memiliki konsekuensi terhadap
berbagai aspek sistem politik, seperti sistem kepartaian, sistem perwakilan
politik, efektivitas pemerintahan, integrasi nasional, perilaku memilih,
ataupun perilaku politisi. Oleh karena itu, sebelum menentukan pilihan dalam
setiap unsur sistem pemilu, pansus dan pemerintah perlu terlebih dulu
menyepakati sistem politik demokrasi seperti apakah yang hendak dicapai.
Konkretnya, parpol dan sistem kepartaian seperti apa, sistem perwakilan
politik seperti apa, efektivitas pemerintahan presidensial dan pemerintahan
daerah seperti apa, perilaku memilih dan perilaku politisi seperti apakah
yang hendak diwujudkan.
Konsolidasi sistem politik
Sebelum menentukan tujuan ini, pansus dan pemerintah perlu
menyepakati hasil evaluasi tentang perkembangan sistem politik demokrasi
Indonesia. Misalnya, apakah sistem ini sudah mengalami konsolidasi atau
belum?
Salah satu indikator demokrasi yang sudah mengalami
konsolidasi adalah demokrasi telah menjadi satu-satunya aturan main dalam
mengelola organisasi politik (the only game in town). Apakah parpol sudah
dikelola secara demokratis, apakah proses pengambilan keputusan di DPR, DPD,
dan DPRD sudah demokratis, apakah organisasi kemasyarakatan dan lembaga
non-pemerintah dikelola secara demokratis, apakah pengambilan keputusan di
setiap rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW) sudah berlangsung demokratis.
Saya khawatir jawaban atas setiap pertanyaan ini belum sepenuhnya positif.
Jika demikian halnya, berbagai alternatif pilihan dari
setiap unsur sistem pemilu perlu dipertimbangkan dari dua segi. Pertama,
apakah konsekuensi alternatif unsur sistem pemilu menimbulkan akibat yang
diharapkan. Misalnya, kalau yang dipilih metode kuota Hare, apakah metode ini
akan menimbulkan akibat yang dikehendaki. Besaran dapil DPR yang medium (70
dari 77 dapil DPR mendapat 6-10 kursi, sebagian besar dapil DPRD memperoleh
6-12 kursi), parpol dapat memperoleh sisa kursi meski jumlah suara sah yang
diperoleh tak mencapai bilangan pembagi pemilihan (BPP), dan penetapan calon
terpilih tak perlu mencapai BPP atau mayoritas, sebagaimana diatur dalam UU
Pemilu No 8/2012. Ketiganya memberikan insentif bagi calon, pemilih, dan
petugas untuk terlibat praktik jual-beli suara.
Dan, kedua, apakah konsekuensi setiap pilihan unsur
konsisten dengan konsekuensi unsur sistem pemilu lain. Penggunaan metode
kuota Hare (BPP) untuk membagi kursi setiap dapil tak sejalan/konsisten
dengan penggunaan ambang batas perwakilan 3,5 persen untuk menyederhanakan
jumlah parpol. Yang pertama mempermudah partai memperoleh kursi, sedangkan
yang kedua mempersulit. Unsur-unsur sistem pemilu proporsional terbuka yang
diadopsi dalam UU No 8/2012 mengandung enam kontradiksi (Strategic Review, Vol
4 No 1 2014).
Kelemahan parpol
Salah satu titik lemah demokrasi Indonesia adalah parpol.
Setidaknya parpol peserta pemilu memiliki lima kelemahan menonjol.
Pengambilan keputusan esensial tak melibatkan anggota (intra-party democracy
sangat lemah), hanya melibatkan sekelompok kecil pengurus (oligarki), bahkan
kata akhir berada pada ketua umum (personalistik). Kegiatan parpol dibiayai
elite partai karena penerimaan resmi partai jauh lebih kecil daripada
pengeluaran. Identitas parpol dari segi kebijakan publik tak jelas karena
ideologi partai lebih banyak sebagai tontonan daripada tuntunan. Disiplin
partai makin lama makin lemah karena fungsi partai sebagai peserta pemilu
makin lama makin diambil alih oleh calon. Kelima kelemahan ini pada akhirnya
menyebabkan jumlah pemilih yang mengidentifikasikan diri secara psikologik
dengan suatu partai semakin kecil. Singkat kata, parpol belum menjadi lembaga
demokrasi.
Berbagai unsur sistem pemilu proporsional dapat dipilih
untuk mengatasi setiap kelemahan. Pembangunan parpol menjadi lembaga
demokrasi harus jadi salah satu tujuan sistem pemilu. Pemerintahan
presidensial dan pemerintahan daerah yang efektif tak mungkin dicapai jika
parpol belum berkembang menjadi lembaga demokrasi. RUU Penyelenggaraan Pemilu
yang diajukan pemerintah ataupun daftar inventaris masalah yang diajukan
fraksi tak menyentuh kelima kelemahan parpol. Jadi, untuk apa dan siapa
sistem pemilu dirumuskan? Terlalu mahal sistem pemilu jika hanya digunakan
untuk menjamin perolehan kursi bagi partai dan semakin jauh dari tujuan
demokrasi perwakilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar