Penguatan
Hak Korban Terorisme
Hasibullah Satrawi ; Direktur Aliansi Indonesia Damai (Aida)
|
KOMPAS, 17 Maret 2017
Saat ini upaya revisi terhadap UU Nomor 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memasuki fase sangat krusial,
yaitu pembahasan draf di tingkat panitia kerja setelah mendapat masukan dari
pihak-pihak terkait melalui DPR.
Dalam rapat dengar pendapat umum di DPR, akhir Mei 2016,
Aliansi Indonesia Damai (Aida) sebagai lembaga yang peduli pemberdayaan
korban aksi terorisme bersama Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) sebagai
payung organisasi korban bom di Indonesia telah menyampaikan beberapa usulan
materi terkait penguatan hak-hak korban dalam revisi UU ini.
Penguatan ini sangat penting mengingat para korban selama
ini telah menanggung akibat dari kegagalan negara dalam menjamin kedamaian
dan keamanan bagi segenap warganya. Dalam perspektif terorisme, para pelaku
terorisme hakikatnya tidak ada masalah dengan para korban. Bahkan, para
pelaku tidak mengenal para korban.
Para pelaku terorisme ada masalah dengan sistem dan atau
kebijakan negara yang kemudian dijadikan pembenar untuk melakukan aksi
terorisme. Oleh karena itu, pelaku aksi terorisme sejatinya mengalamatkan
aksinya kepada negara dan atau aparatnya. Namun, karena kelemahan dan
kekurangan yang ada, mereka tak berhasil mencederai sasaran intinya itu. Yang
justru tercederai adalah masyarakat sipil yang pada saat kejadian sedang
bekerja, menjalankan tugas, mencari nafkah, dan sebagainya.
Itu sebabnya dapat ditegaskan, di balik setiap tindak
pidana terorisme terselip adanya kegagalan negara, yaitu kegagalan dalam
melindungi kedamaian dan keamanan bagi segenap warganya. Selama ini para
korbanlah yang menanggung kegagalan negara ini. Tidaklah berlebihan jika para
korban tindak pidana terorisme disebut sebagai martir negara: mereka
menanggung derita akibat kegagalan negara. Bahkan, mereka membayar kegagalan
negara dengan nyawa dan derita yang berkepanjangan.
Dalam konteks ini, sejatinya negara harus memenuhi seluruh
hak dan kebutuhan para korban tindak pidana terorisme. Namun, yang justru
terjadi sebaliknya: negara acap mengabaikan para korban dan membiarkan mereka
menanggung sendiri semua derita akibat tindak pidana terorisme yang terjadi.
Sebagai gambaran dari lemahnya hak-hak korban terorisme
selama ini, dari 2003 hingga 2014 hanya ada satu hak dalam satu UU untuk para
korban, yaitu hak kompensasi dalam UU No 15/2003. Baru pada 2014 hak-hak
korban terorisme mengalami penguatan, dengan terbitnya UU Nomor 31 Tahun 2014
sebagai revisi UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK).
Saat itu AIDA bersama para korban dan elemen masyarakat
lain berjuang bersama agar revisi UU tentang LPSK memuat juga tentang hak-hak
bagi korban terorisme, seperti hak medis, psikologis, psikososial, restitusi,
dan kompensasi yang implementasinya dikembalikan pada ketentuan UU No
15/2003.
Penguatan hak
Berdasarkan pengalaman dan kebutuhan para korban di
lapangan, ada tiga hal yang perlu diakomodasi dalam revisi UU Anti-terorisme
kali ini sebagai bentuk penguatan terhadap hakhak korban. Pertama, penegasan
definisi korban terorisme. Siapa yang dimaksud dengan korban dalam persoalan
terorisme? Apakah definisi korban bisa ditarik lebih luas atau hanya terfokus
kepada mereka yang jadi korban tindak pidana terorisme?
Dilihat dari segi perundang-undangan, adanya kebutuhan
terhadap penjelasan definisi korban dalam revisi UU ini sejatinya hanya
terfokus kepada mereka yang menjadi korban tindak pidana terorisme, yaitu
masyarakat sipil yang menjadi korban dari sebuah tindak pidana terorisme
beserta keluarganya. Salah satu alasan utamanya adalah karena
perundang-undangan terkait dengan terorisme belum ada yang mengatur definisi
korban secara terfokus kepada masyarakat sipil yang menjadi korban dari
sebuah tindak pidana terorisme.
Kedua, rumusan ulang ayat atau pasal terkait dengan
kompensasi atau ganti rugi yang dibayarkan negara terhadap para korban.
Berdasarkan pendampingan dan pengakuan para korban terhadap AIDA, pasal
mengenai kompensasi selama ini belum pernah direalisasikan. Para korban
selama ini tak mengetahui keberadaan pasal ini (khususnya kurun 2003-2013).
Dari segi rumusan, pasal tentang kompensasi dalam UU No
15/2003 tak bisa diimplementasikan secara mudah mengingat kompensasi hanya
bisa dilaksanakan dengan adanya putusan pengadilan. Padahal, kebutuhan ganti
rugi dari negara (kompensasi) bersifat mendesak dan secepatnya untuk
mencukupi seluruh kebutuhan korban, khususnya medis dan psikologis.
Itu sebabnya dalam revisi UU Anti-terorisme kali ini, AIDA
bersama YPI mengusulkan agar rumusan kompensasi tak menggunakan mekanisme
pengadilan, tetapi mekanisme assessment dari lembaga negara terkait terorisme
dan korbannya. Dengan begitu, hak kompensasi bisa langsung diimplementasikan
dalam tempo secepat-cepatnya.
Asas keadilan
Mengingat dampak yang dialami para korban berbeda-beda,
maka hitungan terkait besaran kompensasi harus menggunakan asas keadilan.
Besaran kompensasi bisa diberikan kepada para korban sesuai kadar dampak yang
dialaminya.
Ketiga, ketentuan khusus tentang ”jaminan negara terkait
pengobatan para korban pada masa-masa kritis”. Dari segi hak, materi ini
sebenarnya bagian dari hak medis yang diatur dalam UU LPSK (No 31/2014)
tentang hak medis. Namun, berdasarkan fakta di lapangan dan pengalaman para
korban, hak medis dalam UU No 31/2014 tak memadai untuk menjangkau adanya
jaminan negara terkait pengobatan para korban pada masa-masa kritis.
Ada dua titik tekan utama dalam materi jaminan negara pada
masa-masa kritis ini, yaitu ”jaminan negara” dan ”masa-masa kritis”. Klausul
”jaminan negara” perlu penekanan tersendiri mengingat pada kenyataannya
rumah-rumah sakit di sekitar lokasi tindak pidana terorisme acap tak
melakukan penanganan medis secara langsung terhadap korban sebelum ada pihak
yang menjamin pembiayaannya. Akibatnya, menurut pengalaman sebagian korban,
ada korban yang harus menunggu berjam-jam untuk dapat penanganan medis.
Adapun kebutuhan terhadap penekanan klausul ”pada
masa-masa kritis” adalah karena masa-masa ini terkait penanganan atau
pertolongan pertama terhadap para korban yang sangat menentukan terhadap
keadaan berikutnya. Yang dimaksud masa-masa kritis adalah saat-saat setelah
terjadinya aksi tindak pidana terorisme.
Dengan adanya ayat atau pasal khusus tentang ”jaminan
negara terkait biaya pengobatan korban terorisme pada masa-masa kritis”,
diharapkan tak ada rumah sakit dan korban lagi yang harus menunggu adanya
penjamin untuk melakukan atau mendapat pertolongan medis. Artinya, korban
langsung dapat pertolongan yang dibutuhkan dan negara hadir dalam persoalan
korban sejak menit pertama.
Dalam hemat penulis, hanya dengan adanya ketentuan seperti
inilah negara bisa menebus kesalahannya karena selama ini acap mengabaikan
bahkan tak ”berpikir” tentang korban. Dalam konteks terorisme, hanya dengan
adanya ketentuan-ketentuan inilah negara bisa menegakkan kewajiban
konstitusionalisme terkait dengan kewajiban memberikan perlindungan dan rasa
aman bagi segenap warganya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar