Konsep
Kafir dalam Deradikalisasi
Ali Maschan Moesa ; Wakil Rais Syuriah PW NU Jatim;
Guru Besar Sosiologi Bahasa UIN
Sunan Ampel Surabaya
|
JAWA
POS, 16
Maret 2017
Bom bunuh diri adalah metode operasi teror dengan
penyerangan yang berfokus pada kematian si pelaku. Pelaku menyadari, jika
tidak mati, berarti dirinya gagal beraksi. Mengamini pernyataan Robert A.
Pape dalam ”Dying to Win, The Strategic
Logic of Suicide Terrorism”, terorisme bunuh diri adalah bentuk terorisme
yang sangat agresif.
Dalam kurun waktu 1999–2016, tercatat 69 kali aksi teroris
telah terjadi di Indonesia. Berdasar data mutakhir, saat ini jumlah
narapidana (napi) teroris mencapai 222 orang yang tersebar di 63 lapas dan
dua rutan.
Secara teori terdapat tiga alasan yang menjadi pendorong
pelaku terorisme, yaitu alasan agama, psikologis, dan sosiologis. Ted Robert
Gurr, penulis Why Men Rebel, menyatakan bahwa radikalisme muncul karena
terdapat perasaan terkalahkan (sense of
deprivation).
Dalam perspektif agama, umat Islam memang memiliki ”nasab”
kekerasan dalam sejarahnya. Hal itu bisa ditelusuri sejak masa pemerintahan
Utsman bin Affan yang ”dianggap” sudah meninggalkan prinsip keadilan (al-’adalah)
dan para sahabat pun sudah menyampaikan kritik sosialnya dengan berbagai
cara. Ketika Sa’ad bin Abi Waqqash, sahabat yang termasuk generasi pertama
yang menerima Islam (al-sabiqun
al-awwalun), dilengserkan dari jabatannya sebagai gubernur dan penggantinya
ternyata Walid bin Uqbah yang masih kerabat khalifah, kebijakan itu
menimbulkan pro dan kontra karena berbau nepotisme.
Abdullah bin Mas’ud selaku menteri ekonomi menyampaikan
keberatan atas mutasi tersebut kepada khalifah, tapi usulnya ditolak.
Kemudian Ibnu Mas’ud secara legawa mengundurkan diri, baik dari jabatan
sebagai menteri maupun bendahara negara.
Sementara itu, Abu Dzar mengartikulasikan keberatannya
dengan membentuk opini publik secara gencar di pasar, di jalan, dan di
berbagai tempat. Tujuannya, menjelaskan kepada umat bahwa keputusan khalifah
bertentangan dengan keadilan. Sebab, Walid bin Uqbah belum memenuhi syarat
sebagai seorang pejabat negara.
Setelah Marwan bin Hakam –yang masih keluarga khalifah–
melaporkannya kepada khalifah, Abu Dzar dipanggil dan diperintah untuk
menghentikan tindakannya. Abu Dzar menolak perintahnya sehingga diasingkan ke
Syam (Syria).
Sahabat Ammar bin Yasir melakukan protes lewat petisi.
Yaitu, para sahabat yang tidak setuju dengan kebijakan khalifah menandatangani
petisi dan Ammar yang dipercaya menyampaikannya kepada khalifah. Ternyata
khalifah juga menolak petisi tersebut. Adapun sikap sahabat Ali bin Abi
Thalib adalah ”no comment” ketika banyak orang minta fatwanya tentang
kebijakan khalifah.
Lebih lanjut, yang terjadi adalah sekitar 2.000 orang yang
berasal dari Kufah, Basrah, dan Mesir dengan ”kekerasan” meminta khalifah
membatalkan mutasi dan mengembalikan jabatan gubernur kepada Sa’ad bin Abi
Waqqash. Mereka juga menghukumi ”kafir” kepada khalifah jika menolak tuntutan
mereka. Karena khalifah tidak memenuhinya, mereka lalu mengepung kediaman
khalifah selama dua minggu dan akhirnya Utsman terbunuh dalam keadaan sedang
membaca Alquran.
Pertanyaannya, mengapa empat sahabat utama (Ali, Abu Dzar,
Ibnu Mas’ud, dan Ammar) tidak berani menghukumi ”kafir” khalifah, sedangkan
yang 2.000 orang secara ”radikal” berani mengafirkan Utsman? Ibnu Khaldun
(bapak ilmu sosiologi) menyampaikan dua analisis menarik. Pertama, faktor
politik, yaitu 2.000 orang tersebut sejak awal tidak memilih Utsman sebagai
khalifah, tetapi mereka adalah pemilih setia Ali.
Kedua, faktor pemahaman agama. Dua ribu orang tersebut
memiliki pemahaman agama yang sangat dangkal dan belum komprehensif.
Sedangkan empat sahabat utama lainnya adalah mereka yang pemahaman agamanya
lebih kafah dan selalu mengembalikan semua ajaran Islam pada esensi maknanya,
yaitu menyelamatkan atau merahmati lil ’alamin.
Walhasil, sikap dan tindakan radikal bukanlah sesuatu yang
tiba-tiba muncul (process of being). Namun diawali alam pikiran keras, latar
belakang pendidikan, pergaulan, dan pengalaman hidup yang secara sosiologis
disebut process of becoming.
Kekerasan atau menurut PBB adalah preventing violent
extremism (PVE) dan radikalisme adalah suatu sifat atau keadaan yang
mengandung tekanan keras dan paksaan. Dimensi kekerasan bukan hanya fisik,
tapi juga psikologis. Paksaan tidak sekadar memiliki sasaran individu, tetapi
juga kepada kelompok yang sering disebut kekerasan struktural.
Dalam perspektif ini, Alquran menjelaskan bahwa nonmuslim
itu terbagi menjadi beberapa jenis. (1) Yahudi dan Nasrani (ahli kitab),
termasuk di dalamnya kaum Majusi. (2) Munafiqin. (3) Musyrikin ”penyembah
berhala”. (4) Kafirin, yaitu mereka yang mengingkari adanya Tuhan.
Semua golongan di atas akan berubah ”identitasnya” menjadi
golongan yang boleh dimusuhi yang disebut ”harbiy” atau secara umum disebut
”kafir harbiy”, tapi harus terdapat dua syarat pokok pada diri mereka (QS Al
Mumtahanah 16–17). Dua syarat pokok tersebut adalah nonmuslim yang memusuhi
kaum muslimin (yuqotilunakum) dan syarat kedua adalah telah mengusir kaum
muslimin dari kampungnya (yukhrijunakum
min diyarikum).
Dalam perspektif ini, identitas ”kafir harbiy” tersebut
otomatis ”lepas” jika mereka meminta perlindungan dan keamanan kepada kaum
muslimin (ahlu al-dzimmah - musta’manin).
Selain itu, nonmuslim yang tidak boleh dimusuhi adalah mereka yang secara
sukarela menyepakati perjanjian untuk hidup damai bersama kaum muslimin yang
disebut mu’ahadin.
Akhirnya, ada beberapa masukan kepada pemerintah. Pertama,
sudah saatnya BNPT lebih memfokuskan pola soft power, yaitu pembinaan dan
berdialog dengan mereka tentang pemahaman agama yang benar dan sekaligus
memperkuat rasa kebangsaan. Kedua, sudah saatnya kurikulum pendidikan agama
(Islam) di level perguruan tinggi didesain sedemikian rupa dan dimasukkan di
dalamnya uraian tentang hakikat agama, hubungan agama dan negara, serta
hubungan antar-pemeluk agama.
Wallahu a’lam bis-sawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar