Hukuman
Mati
Franz Magnis-Suseno ; Rohaniawan
|
KOMPAS, 16 Maret 2017
Di harian Kompas (9 Januari 2017), Daoed Joesoef
mengajukan argumentasi bahwa meskipun 142 negara sudah menghapus hukuman
mati, hukuman mati tetap harus dilaksanakan sebagai hukuman atas
kejahatan-kejahatan luar biasa.
Saya tidak masuk uraian panjang lebar beliau tentang
jahatnya bandar narkoba, terorisme, dan radikalisme agama. Yang langsung
mengherankan saya, betapa gampang beliau menyingkirkan implikasi kinerja buruk
aparat hukum kita.
Di Amerika Serikat saja, di abad lalu, sekurang-kurangnya
20 orang salah dieksekusi. Nyawa orang yang dicabut tidak bisa dikembalikan.
Mengeksekusi orang yang salah atas nama hukum adalah justizmord, pembunuhan
yustisial. Apakah dua, tiga orang salah dieksekusi per tahun ”tidak apa-apa”?
Dalam tulisan itu, Daoed Joesoef menyatakan bahwa hukuman
mati memang belum mengurangi kriminalitas, tetapi bukan berarti tidak punya
efek jera. Semua kriminalis yang tertangkap dan terbukti bersalah minta
ampun. Yang tidak jera adalah kriminalis yang belum tertangkap. Mereka nekat
berbuat salah yang terancam hukuman mati, berhubung iming-iming untung besar
jika tidak sedang apes. Mereka bertindak sesuai teori peluang (probability theory).
Catatan penulis bahwa yang tidak jera adalah yang ”belum
tertangkap” mengundang pertanyaan. Bukankah daya jera diharapkan efektif
terhadap mereka yang masih bisa melakukan kejahatan? Fakta bahwa hukuman mati
tidak mengurangi kejahatan narkoba dengan sendirinya berarti bahwa gawatnya
masalah narkoba tidak dapat membenarkan hukuman mati.
Penulis membandingkan penghapusan hukuman mati dengan apa
yang akan terjadi jika suatu negara ”mendeklarasikan bahwa apa pun tidak akan
mendorongnya berperang”, yaitu ”cepat atau lambat (negara itu) akan menjadi
sasaran rezim angkara muka”. Memang demikian. Seperti orang berhak membela
diri jika diserang, seperlunya dengan mematikanpenyerang. Negara berhak
berperang kalau itu perlu untuk membela diri. Etika mengenal ”perang yang
adil”.
Akan tetapi, hukuman mati menyangkut orang yang sudah
tidak mampu mengancam.Catatan penulis bahwa tanpa hukuman mati
”masyarakat...akan menjadi bulan-bulanan penjahat yang seenaknya membunuh…”
sulit saya mengerti dan sama sekali tidak didukung oleh pengalaman
negara-negara yang telah menghapus hukuman mati.
Argumen inti penulis adalah jika hukuman mati dicabut, si
pembunuh (dan penjahat lain) tahu bahwa kejahatan apa pun yang akan
dilakukannya, ”miliknya paling berharga, yaitu hidupnya sendiri, tetap terjamin”.
Padahal, ”dia sendiri melenyapkan hak hidup orang lain”. Apakah karena
pembunuhan dapat didahului penyiksaan sadis, penyiksaan sadis sebagai hukuman
lantas juga mau dibenarkan?
Salah satukemajuan dalam kesadaran umat manusia adalah
hukuman yang dijatuhkan atas pelanggaran norma hukum tidak boleh dilihat
sebagai pembalasan. Lex talionis klasik (gigi demi gigi, mata demi mata,
nyawa demi nyawa) sekarang ditolak. Pembalasan merendahkan sang pembalas ke
tingkat penjahat yang dibalas. Kita sudah mengatasi paham bahwa karena si
pembunuh berbuat jahat, kita harus berbuat jahat juga kepadanya. Hukuman
adalah sanksi yang ditetapkan oleh komunitas (dalam hukum pidana) terhadap
pelanggar hukum. Bentuk sanksi tak ada kaitan dengan bentuk kejahatan. Namun,
berat sanksi ada kaitan dengan berat kejahatan.
Kesadaran etis dan HAM
Dasar tuntutan penghapusan hukuman mati adalah kesadaran
etis bahwa mencabut nyawa orang (di luar keperluan pembelaan diri langsung)
melampaui wewenang manusia. Nyawa orang adalah suci, termasuk nyawa penjahat.
Suci karena setiap manusia secara pribadi dipanggil ke dalam kehidupan oleh
Sang Pencipta dan karena itu hanya Sang Pencipta yang berwenang mencabutnya
kembali.
Bahwa semua agama pernah mengizinkan hukuman mati, perlu
dilihat sebagai pedagogi Ilahi: manusia secara alami kasar dan bernafsu
dendam. Hukuman mati merupakan langkah pertama mengharamkan pembunuhan
sebagai pembalasan dengan batasan kasus berat. Kemudian apa yang boleh
dikenai hukuman mati terus diperciut. Tujuan pedagogi dekasarisasi manusia
itu adalah kesadaran bahwa manusia sama sekali tidak berhak mencabut nyawa
orang.
Penulis juga mengingatkan bahwa selain hak asasi manusia
juga ada kewajiban asasi manusia (yang membingungkan: beliau melawankan ”the
rights of man” terhadap ”the rights of others”, apa the others tidak termasuk
man?). Itu tentu benar. Kewajiban asasi sudah ada sejak ribuan tahun dan
dalam rezim apa pun dan pelanggarannya dihukum. Namun, modernitas—ancaman
kesewenangan negara yang merasa berdaulat dan stomwals perekonomian kapitalis
yang memberi jalan bebas kepada pihak yang kuat—menunjukkan bahwa jika mereka
yang lemah tidak dapat menuntut hak mereka, mereka akan terlindas.
Itulah dasar kesadaran akan hak asasi manusia. Hak-hak
asasi merincikan segi-segi kehidupan manusia yangjika dilanggar martabat
manusia sebagai ciptaan khusus Allah dihina. Dengan pengakuan hak-hak yang
demi kepentingan masyarakat tidak boleh dilanggar, masyarakat memberikan
perlindungan efektif terhadap keutuhan kemanusiaan mereka yang miskin, lemah,
tidak dipandang, minoritas, dan lain-lain. Karena itu, hormat terhadap hak
asasi manusia merupakan tolok ukur solidaritas suatu masyarakat terhadap
saudara mereka yang paling lemah.
Sebenarnya melawankan kewajiban asasi terhadap hak asasi
tidak masuk akal. Setiap kewajiban asasi—misalnya anak harus dilindungi—dapat
juga dirumuskan sebagai hak asasi anak untuk dilindungi. Misalnya, hak asasi
atas ”bertempat tinggal” (UUD 28H [1]) secara otomatis merupakan kewajiban
asasi untuk tidak membuat orang menjadi tidak bertempat tinggal.
Kesimpulan saya: selama penghapusan hukuman mati belum
dapat disepakati, sekurang-kurangnya harus ada moratorium. Hukuman mati bukan
a necessary evil. It’s just evil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar