Pencabutan
Hak Politik Koruptor
Mimin Dwi Hartono ; Staf Senior Komnas HAM
|
TEMPO.CO, 14 Maret 2017
Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya menyerahkan
terpidana kasus suap gula impor, Irman Gusman, ke penjara Sukamiskin,
Bandung, Kamis pekan lalu. Pada 20 Februari lalu, majelis hakim Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara dan sejumlah denda
terhadap mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah itu. Hakim juga mencabut hak
politik Irman, sehingga Irman tidak bisa dipilih untuk jabatan publik selama
tiga tahun setelah menjalani hukuman pidana pokok.
Menurut penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW), dari
576 vonis kasus korupsi pada 2016, hanya ada tujuh vonis yang menjatuhkan
pidana tambahan berupa pencabutan hak politik. Vonis itu di antaranya
dijatuhkan kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, mantan
Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI Djoko Susilo, mantan Presiden Partai
Keadilan Sejahtera Lutfi Hasan Ishaaq, dan mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Dewi Yasin Limpo.
Yang memprihatinkan, menurut penelitian ICW, rata-rata
koruptor hanya divonis 2 tahun 2 bulan penjara selama 2016. Pada 2013,
rata-rata vonis 2 tahun 11 bulan; pada 2014, 2 tahun 8 bulan; dan 2015, 2
tahun 2 bulan. Dengan rendahnya vonis itu, penjatuhan hukuman tambahan berupa
pencabutan hak politik menjadi harapan dalam pemberantasan korupsi.
Hak politik adalah salah satu rumpun hak asasi manusia
sebagaimana diatur Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik. Pencabutan hak politik, khususnya hak untuk dipilih sebagai pejabat
publik, adalah bentuk dari hukuman karena yang bersangkutan tidak amanah
dalam memegang jabatan publik dan agar yang bersangkutan tidak bisa lagi
menyalahgunakan wewenangnya.
Dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia disebutkan,
pembatasan atau pencabutan hak asasi manusia hanya diperkenankan
berdasarkan undang-undang. Tujuannya, menjamin pengakuan dan penghormatan hak
asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum,
dan kepentingan bangsa.
Pencabutan hak politik diatur dalam Pasal 35 ayat 1 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, bahwa hak-hak terpidana yang dapat dicabut dengan
putusan hakim di antaranya hak memegang jabatan, hak memasuki angkatan
bersenjata, serta hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum. Dengan
demikian, basis hukum bagi hakim dalam memutuskan pencabutan hak politik
telah sah karena ada dasar hukum setara dengan undang-undang, yaitu KUHP.
Tidak ada yang tidak sepakat bahwa pejabat publik yang
terbukti melakukan korupsi harus dihukum seberat-beratnya dan dilarang
menduduki jabatan publik. Namun definisi dan ukuran jabatan publik juga harus
jelas dan terukur. Apakah jabatan publik itu diperoleh melalui mekanisme pemilihan
umum, seperti anggota DPR, bupati, gubernur, dan presiden? Ataukah melalui
jalur karier, seperti jabatan struktural di pemerintah, hakim, jaksa, dan
polisi? Ataukah juga jabatan yang termasuk sebagai jabatan yang diperoleh
lewat keputusan politik, seperti jabatan menteri dan pimpinan lembaga negara?
Pasal 25 Kovenan Hak Sipil jelas menyatakan bahwa
pencabutan hak politik "hanya" terkait dengan jabatan politik yang
diperoleh melalui pemilihan umum, seperti jabatan sebagai anggota parlemen,
bupati, gubernur, dan presiden. Tapi pencabutan hak politik tidak bisa
dilakukan secara permanen. Harus ada batasan yang jelas seberapa lama hak
politik itu dicabut. Ini sesuai dengan Komentar Umum Nomor 24 yang dirumuskan
Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa pembatasan hak
politik harus jelas dan transparan.
Dalam kasus korupsi mantan anggota DPR, Dewi Yasin Limpo,
majelis hakim kasasi Mahkamah Agung memutuskan untuk memulihkan haknya dalam
memilih yang dicabut oleh pengadilan sebelumnya dan memperpendek pencabutan
hak untuk dipilih dari 12 tahun menjadi 5 tahun. Belajar dari vonis
pencabutan hak politik yang berbeda antara satu hakim dan hakim lain serta
rendahnya vonis berupa pencabutan hak politik, Mahkamah Agung perlu
merumuskan peraturan MA sebagai basis untuk memadukan dan menyelaraskan
putusan hakim atas vonis pencabutan hak politik.
Dalam hal pencabutan hak untuk memegang jabatan publik,
yang termasuk dalam ranah hak sipil, Pasal 35 ayat 1 KUHP hanya mengatur
bahwa hakim bisa mencabut "hak memegang jabatan tertentu".
Klasifikasi jabatan tertentu itu harus jelas dan transparan agar tidak
multitafsir dalam penerapannya. Pemerintah perlu menerbitkan peraturan untuk
mendefinisikan jenis jabatan tertentu itu.
Pencabutan hak politik terhadap koruptor adalah tindakan
yang patut didukung supaya memberikan efek jera dalam pemberantasan korupsi
di tengah rendahnya vonis kasus korupsi. Namun, agar efektif dan berefek
jera, diperlukan instrumen hukum tambahan agar mekanisme pencabutan hak
politik terhadap koruptor tetap selaras dengan hak asasi manusia dan menjadi
gerakan hukum progresif dalam pemberantasan korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar