Supremasi
Agama dan Produksi Ketakutan Politik
Silvian M Mongko ; Pengamat Politik
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Maret 2017
CARA
beragama kita belakangan ini telah mengobrak-abrik rasa kebangsaan dan
harmoni sosial sebagai bangsa. Itu terjadi karena tidak ada batas demarkasi
yang jelas antara agama dan negara. Dua tendensi spekulasi berkembang di
ranah publik. Agama secara berlebihan sedang mencampuri urusan politik, atau
agama sedang dimanfaatkan untuk kepentingan kekuasaan. Keduanya sama berbahaya
untuk kedaulatan negara dan masa depan demokrasi kita. Alat kekuasaan
Pada
titik yang amat memperihatinkan, perilaku keberagamaan telah mengacak-acak
logika dan rasionalitas politik yang sudah diterima dan dihayati tanpa
prasangka. Bahwasanya Indonesia itu merupakan kohesi sosial, politik, dan
kultural yang dibangun atas pilar-pilar kemajemukan suku, agama, ras,
antargolongan (SARA), bukan lagi fakta yang diperdebatkan, apalagi dinistakan
atau disangkal begitu saja demi hasrat kekuasaan. Pada hemat saya, institusi
agama berperan penting untuk menopang kesatuan politis, menanamkan kesadaran
nation-state, dan membangun keadaban publik.
Tantangan
bagi agama-agama, apalagi agama mayoritas, selalu terkait erat dengan peran
agama untuk meletakkan dasar yang kukuh bagi kesadaran warga akan pentingnya
komunitas politik, demi mengatur kehidupan bersama. Maka agama yang
menciptakan ketakutan dan keresahan sosial tentu saja kontraproduktif dengan
cita-cita kolektif negara kita yang berbasis filosofi Pancasila dan
konstitusi yang berlaku.
Panorama
politik nasional, terutama menyambut Pilkada DKI 2017, sedang mempertontonkan
sebuah intervensi patologis agama yang meresahkan. Agama mengobok-obok
tatanan politik.
Agama
yang sedang menunjukkan identitasnya menuju puncak piramida kekuasaan justru
menciptakan kekacauan politik dan mengancam kedaulatan. Dari sudut tafsir
lain, perilaku agama demikian juga terjadi karena agama mayoritas sedang
dimanfaatkan sebagai alat politik. Sebab, mayoritas selalu memendam potensi diktator.
Jika dipakai untuk kepentingan kekuasaan, frame mayoritas dapat menjadi
kekuatan yang patut diperhitungkan. Jika mayoritas dipakai sebagai alat untuk
melakukan pressure politik, akan memproduksi kecemasan yang pada gilirannya
membatasi hak memilih warga. Patut disayangkan, sebab perilaku semacam itu
entah itu supremasi agama mayoritas maupun agama yang diperalat sama-sama
mengancam kohesi sosial dan menyulut api kebencian politik.
Parade
gejolak ormas keagamaan sejak deretan demonstrasi hingga iklan-iklan
kebencian politik beraroma agama belakangan ini, membuktikan bahwa agama
mayoritas masih ditunggangi kepentingan politik jangka pendek. Agama
dimanfaatkan untuk melayani hasrat kekuasaan kelompok yang ingin mendasarkan
politik atas isu-isu sektarian-primordial. Pada titik lain, kondisi patologis
keberagamaan ini sekaligus menegaskan suasana kritis perihal ketokohan atau
figur-figur agama yang bisa memberikan sumbangan konstruktif bagi bangunan
politik bangsa.
Patut
disayangkan, ulah para kuli kekuasaan yang memakai pendekatan agama dalam
berpolitik justru membusukkan citra agama tertentu. Tebaran spanduk
provokatif bermuatan SARA hingga pelarangan menyolatkan orang meninggal
lantaran mendukung pasangan calon nonmuslim di Pilkada DKI, tentu saja sebuah
panorama politik yang menggambarkan tensi kebencian politik, serentak pula
melemahnya kontrol politik di berbagai level kekuasaan.
Perilaku
beragama semacam ini, selain menebarkan ketakutan juga mempertajam sentimen
politik terbelah. Tak salah jika Editorial Media Indonesia (14/3) menyebut
aktor-aktornya sebagai 'teroris politik' justru karena agama memecah belah
persatuan dan memicu sentimen politik berbasis SARA. Ada semacam 'politisasi
ketakutan' yang diproduksi agama demi melayani nafsu kekuasaan kelompok
tertentu. Pada inti terdalam, tebaran kebencian yang marak terjadi merupakan
penistaan sesungguhnya, karena merusak sekaligus citra agama dan mencoreng
realitas kemajemukan berbangsa dan bernegara. Menyangkal pluralisme berarti
pula menolak inti berdemokrasi.
Demokrasi
tak bisa tidak berdiri di atas fondasi pluralisme. Pluralisme menunjukkan
perbedaan alam pikiran keindonesiaan, cara pandang, pendekatan, dan aneka
realitas politik bernegara. Hal-hal semacam itu memperkaya isi dan kualitas
berdemokrasi. Hadiah multikulturalisme bangsa kita menjadi basis yang kuat
untuk bangunan politik demokrasi yang mesti dijaga dan dirawat semua elemen
bangsa. Realitas kemajemukan menjadi pintu masuk bagi demokrasi yang tumbuh
dan berkembang di republik ini. Maka, celakalah mereka yang berusaha dengan
segala cara menolaknya hanya demi pertimbangan pragmatisme politik kelompok.
Peran tokoh agama
Sebetulnya,
kondisi semacam itu dapat diantisipasi jika kontrol sosial dan politik
berjalan secara optimal, dan figur-figur agama juga tak mau dimanfaatkan
dengan begitu gampang oleh mereka yang memelihara hasrat untuk berkuasa.
Kita
mengharapkan suara tokoh-tokoh agama yang diperalat agar warga tidak
terprovokasi dan penyebaran kebencian dapat diantisipasi. Bukan sebaliknya,
kaum elite agama terlibat 'tenang-tenang mendayung' mengecap kekuasaan di
tengah gemuruh ke-chaos-an. Agama yang sesungguhnya berperan penting
menyiapkan kader-kader politik yang menghargai perbedaan sosial-kultural.
Pola
asuh agama berperan dalam menanamkan nilai-nilai yang menunjang perwujudan
politik beradab. Agama membentuk tatanan sosial-politik di dalamnya warga dan
elite politik sanggup menghargai kemajemukan sosial, politik, dan kultural
bangsa. Agama demikian turut menciptakan keadaban publik karena warganya
menghargai prinsip-prinsip dan filosofi politik demokrasi. Masa depan
keindonesiaan sangat ditentukan juga oleh kemampuan agama-agama untuk
mendorong pemeluk masing-masing memiliki paham dan pandangan yang jernih
tentang realitas multikulturalitas bangsa kita.
Agama-agama
yang ada dan berkembang di Indonesia mesti mampu membangkitkan kesadaran
pemeluk akan kekayaan budaya, suku, dan agama. Indonesia tidak dibangun atas
suatu imajinasi yang sempit, tetapi suatu imajinasi yang melampaui setiap
identitas primordial. Jelaslah, agama mempunyai peran politis sejauh elite
agama mampu memengaruhi pemeluk masing-masing agar memiliki wawasan
kebangsaan dan menghargai proses demokrasi sebagai sebuah mekanisme politik
demi perwujudan kemanusiaan yang adil dan bermartabat. Agama mengajak pemeluk
untuk memakai kesempatan memilih pemimpin secara rasional, yakni pemimpin
yang menghagai pluralisme dan bisa diandalkan untuk mewujudkan masyarakat
yang sejahtera lahir-batin.
Ajaran
agama mesti mampu menjernihkan pandangan pemeluknya agar mempunyai visi
emansipasi dalam perwujudan hak-hak politik warga. Agama sejati tidak bisa
didefinisikan dengan menebarkan ketakutan publik, mengancam, dan menolak
realitas perbedaan sosial-politik. Agama semacam itu hanya akan menjadi
'pembunuh berdarah dingin' paling sukses bagi demokrasi. Di pihak lain,
jadilah warga negara yang tidak sekadar beragama, tapi memiliki kepekaan
religius, yakni warga negara yang menghargai kekayaan ciptaan termasuk dalam
hal perbedaan pilihan politik.
Perbedaan
pilihan politik merupakan keniscayaan dalam demokrasi yang tak pernah
dikutuki oleh agama 'rekayasa' manusia, apalagi oleh Tuhan, asal dan tujuan
segala keadilan dan kebaikan. Di tengah tebaran ancaman politik berbau agama,
marilah kita menjaga kemurnian rasionalitas politik. Rasionalitas publik
dapat menjadi filter yang menentukan kualitas politik elektoral babak kedua
Pilkada DKI 2017. Ia dapat menjadi kekuatan yang bisa diandalkan di tengah
ancaman supremasi dan instrumentalisasi agama sebagai alat untuk meraih
kekuasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar