Di
Balik Vonis Bebas Hosni Mubarak
Faisal Ismail ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 16
Maret 2017
Menyusul tragedi asasinasi Presiden Anwar Sadat oleh
kelompok radikal Ikhwanul Muslimin pada 6 Oktober 1981, Hosni Mubarak secara
resmi diangkat menjadi presiden Mesir yang baru menggantikan pendahulunya.
Sebelumnya, Hosni Mubarak menjabat sebagai wakil presiden
sejak 1975, suatu posisi penting dan jabatan strategis yang dia raih setelah
dia menjabat sebagai petinggi Angkatan Udara Mesir selama dua dekade. Hosni
Mubarak pernah pula berkarier dan menjabat sebagai deputi menteri pertahanan.
Jadi, rekam jejak karier Hosni Mubarak berlatar belakang militer, suatu
karier dan jabatan yang tentunya sangat bergengsi.
Selama pemerintahannya yang berlangsung selama hampir 30
tahun (1981-2011), Presiden Hosni Mubarak secara sangat terbatas dan ketat
melakukan reformasi politik. Misalnya Ikhwanul Muslimin (didirikan pada tahun
1928), tetap dianggap sebagai organisasi ilegal dan anggotanya boleh
mengikuti Pemilu 2005 hanya sebagai perseorangan dan tidak diperbolehkan
mengatasnamakan kelompok atau organisasi.
Pada masa pemerintahan Presiden Hosni Mubarak,
Undang-Undang Keadaan Darurat masih terus diberlakukan secara ketat di Mesir.
Berdasarkan Undang-Undang Darurat ini, pemerintah dapat sewenang- wenang
menahan dan menyeret orang-orang yang dianggap melanggar UU Darurat tadi ke
pengadilan tanpa proses hukum yang adil, jujur, dan fair. Pada 2009,
International Human Right Watch (HRW) memperkirakan antara 5.000- 10.000
orang ditahan tanpa proses hukum.
Polisi dan pasukan keamanan Mesir, menurut catatan dan
laporan HRW, secara reguler melakukan tindakan penyekapan, penahanan, dan
penyiksaan sewenang-wenang dan brutal terhadap orangorang yang dianggap
melanggar UU Darurat. Di bawah pemerintahan represif Presiden Mubarak,
kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkumpul sangat dibatasi.
Kritik terhadap Presiden Mubarak dan jajaran
pemerintahannya sangat dilarang dan tabu dilakukan. Hosni Mubarak adalah tipe
sosok pemimpin yang represif, otoriter, dan (semi) diktator. Lord Acton
(1834-1902) sudah lama memperingatkan kepada para penguasa (negara) agar
mereka berhati-hati dalam menjalankan kekuasaan.
Lord Acton secara tegas mewantiwanti dan memperingatkan,
”all power tends to corrupt and absolute power corrupts abolutely ” (semua
kekuasaan cenderung merusak dan kekuasaan absolut benar-benar sangat
merusak). Pesan moral dan peringatan keras Lord Acton ini tampaknya tidak
meresap dalam kesadaran moralitas politik pada sebagian para penguasa
negara-negara Arab di era modern ini sekali pun.
Berawal tahun 2011, Arab Spring (Musim Semi Arab)
mengguncang keras dunia Arab. Gerakan-gerakan massa yang secara lantang dan
keras menyuarakan tuntutan proreformasi, prodemokrasi, prokebebasan, dan
prokeadilan muncul secara serentak dan simultan di kalangan negara-negara
Arab dan arus gelombangnya tidak bisa dibendung. Angin segar bagi terjadinya
fenomena perubahan tatanan pemerintahan dan politik mulai berembus di dunia
Arab.
Para penguasa negara-negara Arab yang represif dan
otoriter merasa sangat khawatir dan takut menghadapi gerakan-gerakan massa
yang secara masif dan eksplosif menggelorakan tuntutan proreformasi,
prodemokrasi, prokebebasan, dan prokeadilan di negara masing-masing.
Sebagai akibat guncangan keras dan dahsyat gerakangerakan
massa proreformasi, prodemokrasi, prokebebasan, dan prokeadilan ini, Presiden
Ben Ali di Tunisia yang bertengger selama lebih dari 23 tahun di pusat
pemerintahan terguling secara tragis dari takhta mahligai kekuasaannya pada
semester pertama tahun 2011. Pemimpin Libya Muammar Khadafi yang bercokol di
tampuk pemerintahan selama 42 tahun terjungkal dari singgasana kekuasaannya,
juga pada semester pertama tahun 2011.
Secara tragis dan mengenaskan, Khadafi tewas terbunuh dan
jenazahnya dikubur di suatu gurun yang dirahasiakan sehingga tidak diketahui
pusaranya. Arab Spring yang mengembuskan tuntutan proreformasi, prodemokrasi,
prokebebasan, dan prokeadilan juga menyebabkan tampuk kekuasaan Presiden
Hosni Mubarak di Mesir mulai goyah dan oleng tanpa arah.
Puluhan ribu massa melancarkan serangkaian demonstrasi
secara masif dan eksplosif terutama di Lapangan Tahrir, Kairo, Mesir,
menuntut Presiden Hosni Mubarak mundur. Tuntutan tegas para demonstran sama:
Hosni Mubarak harus mundur! Pasukan keamanan Mesir bertindak keras, represif,
dan brutal. Para pengunjuk rasa yang tewas dalam gerakangerakan demonstrasi
anti-Mubarak mencapai 239 orang.
Jumlah ini merupakan jumlah yang sangat besar. Setelah
terjadi demonstrasi secara besar-besaran yangberlangsungselama 18 hari, Hosni
Mubarak terjungkal dari kursi kepresidenan ketika ia secara resmi menyatakan
mengundurkan diri pada 11 Februari 2011 dan menyerahkan kekuasaannya kepada
Dewan Tinggi Angkatan Bersenjata.
Atas perintah kejaksaan Mesir, pada 13 April 2011, Hosni
Mubarak dan anak laki-lakinya ditahan atas tuduhan dugaan korupsi dan
penyalahgunaan kekuasaan yang menyebabkan ratusan orang tewas dan luka dalam
gerakan unjuk rasa anti-Mubarak. Pada 2 Juni 2012, Mubarak dijatuhi hukuman
seumur hidup. Dalam perkembangan selanjutnya, pengadilan banding
memerintahkan agar dilakukan sidang ulang yang mencapai puncaknya pada 2014.
Pada Mei 2015, Mubarak dan anaknya terancam hukuman
penjara atas tuduhan korupsi. Dalam perkembangan selanjutnya, enam tahun
setelah tewasnya 239 orang dalam gerakan demonstrasi massa anti-Mubarak,
mantan Presiden Hosni Mubarak (88 tahun) divonis bebas dan tidak bersalah
serta tidak terlibat dalam kasus tewasnya 239 demonstran itu.
Hakim Ahmed Abdel Qawi memutuskan bahwa mantan Presiden
Hosni Mubarak tidak bersalah dan tidak terlibat dalam kasus paling berdarah
yang menewaskan 239 demonstran yang terjadi pada 25 Januari 2011. Begitu pula
pengadilan secara tegas menolak atau tidak mengabulkan permintaan para
pengacara korban yang menghendaki membuka kembali gugatan perdata. Itu
berarti tidak ada lagi opsi atau pilihan untuk melakukan banding atau sidang
ulang.
Pengacara Osman al-Hefnawy ”mengutuk” keputusan pengadilan
itu dan dia menuduh bahwa keputusan pengadilan itu mendapat tekanan
kepentingan politik dari penguasa (pemerintah). Tanpa mencampuri sistem hukum
dan pengadilan yang berlaku di Mesir, kita berpendapat bahwa keputusan itu
”melukai” rasa keadilan. Bagaimanapun, Hosni Mubarak sebagai orang nomor satu
di Mesir ketika dia memerintah dan menjalankan kekuasaan, diaikutbertanggung
jawab atas tewasnya 239 demonstran dan tentunya patut mendapat hukuman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar