Kemelut
Inggris di Brexit
Dinna Wisnu ; Political Economist; Chair Graduate School
of Business, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
|
KORAN
SINDO, 15
Maret 2017
Keluar dari Eropa bagi Inggris ternyata tidak semudah yang
diucapkan pada masa kampanye. Hal ini berlaku bukan hanya bagi Inggris,
melainkan juga Uni Eropa secara menyeluruh.
Sikap masing-masing pihak yang keras mungkin akan
menyulitkan proses perceraian yang bisa menguntungkan keduanya. Selain itu,
Inggris sendiri tidak berkurang masalahnya setelah referendum Brexit tahun
lalu. Para pihak yang dulu menentang masih melakukan kampanye untuk menolak
hasil referendum terutama melalui jalur parlemen.
Apabila proses perceraian ini berlangsung tidak harmonis,
langsung atau tidak langsung, pemulihan ekonomi dunia, terutama ditambah
dengan persoalan proteksionis oleh Presiden AS Donald Trump, akan semakin
mengalami perlambatan. Apa rasanya keluar dari Uni Eropa? Sekitar satu tahun
lalu, Inggris merasa lebih banyak untungnya daripada ruginya bila keluar dari
keanggotaan Uni Eropa. Rasa optimistis mayoritas rakyat Inggris bahwa Brexit
akan membawa kesejahteraan bagi Inggris tecermin dalam referendum.
Namun dengan semakin terbukanya perekonomian Inggris,
makin banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk bisa cerai dengan
Uni Eropa. Masyarakat Inggris tampaknya mulai menyadari bahaya yang
menghadang di depan mata, terutama ketidakpastian tentang apa bentuk Inggris
pasca-Brexit. Ketidak pastian memiliki dampak langsung, terutama sejumlah
investasi yang tidak jadi ditanamkan ke Inggris atau beberapa perusahaan
besar yang mulai menyusun rencana untuk relokasi.
Media Belanda NRC Next mengatakan bahwa sudah terjadi
banyak pembicaraan antara perusahaan-perusahaan Inggris dan Otoritas Pasar
Keuangan Belanda tentang prosedur relokasi dan potensi yang dimanfaatkan oleh
perusahaan Inggris pasca- Brexit. Relokasi bukan saja perusahaan Inggris,
beberapa investor pun mengalihkan investasinya dari Inggris ke Belanda
seperti dua bank Jepang, Mitsubishi UFJ dan Mizuho. Bank HSBC juga telah
merelokasi kurang lebih 1.000 pekerjaan dari London ke Paris.
Perdana Menteri Inggris Theresa May juga tengah melakukan
pendekatan kepada perusahaan mobil Ford untuk tetap tinggal di Kota Bridgend.
Dampak yang paling jelas terutama adalah nilai tukar mata uang poundsterling
yang turun 23% setelah referendum. Penurunan juga terjadi kepada pasar saham.
Harga pasar saham turun 18% dan belum beranjak naik secara signifikan.
Ketidak pastian yang paling krusial dan menjadi sumber
perdebatan adalah apakah Inggris memilih ”soft Brexit” atau ”hard Brexit”.
Tidak ada definisi baku tentang dua istilah tersebut kecuali untuk merujuk
pilihan-pilihan yang tersedia bagi Inggris. ”Soft Brexit” adalah istilah yang
digunakan untuk merujuk pada kemungkinan Inggris untuk melakukan
kompromi-kompromi dengan Uni Eropa.
Sementara ”Hard Brexit” adalah pilihan non kompromi
terutama tentang kebebasan orang bergerak (bekerja dan tinggal) di sesama
negara Uni Eropa dan juga masalah pengungsi. Dari pidato Theresa May beberapa
waktu lalu, tampaknya pemerintahan Inggris saat ini akan menempuh ”Hard
Brexit” atau dalam frase yang digunakan, Brexit is Brexit.
May bahkan menyiratkan bahwa Inggris tidak hanya akan
melonggarkan hubungan dengan Eropa, bahkan akan berusaha untuk tidak
tergantung dengan pasar Eropa. Tidak semua rakyat Inggris menyukai pilihan
itu. Survei yang dilakukan oleh ICM pada Februari menunjukkan hanya 35% yang
setuju Inggris untuk mengambil langkah ”Hard Brexit” (Guardian, 2017). Dari
54% yang menolak posisi pemerintah, 34% di antaranya menghendaki ”Soft
Brexit”.
Hasil ini memperlihatkan bahwa popularitas partai
konservatif bakal terancam turun apabila melawankehendakdarisuararakyat.
Sikap sama-sama keras juga diperlihatkan oleh perwakilan Uni Eropa. Josep
Muscat, perdana menteri Malta, dengan nada provokatif mengatakan bahwa tidak
pernah dalam sejarahnya 26 negara anggota Uni Eropa kompak menghadapi Inggris
(walaupun dalam kenyataannya, tetap ada perbedaan).
Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Jucker menegaskan bahwa
tim negosiator Uni Eropa perlu menegaskan kepada Inggris bahwa akan ada
banyak keuntungan apabila Inggris tetap berada di dalam Uni Eropa; tetapi
kalau Inggris tetap mau keluar maka akan ada biaya yang ditimbulkan. Biaya
yang dimaksud mulai dari hilangnya keringanan pajak termasuk kewajiban yang
harus dibayar oleh Inggris sebesar 12, 4 juta poundsterling di tahun 2019
untuk masa tujuh tahun Anggaran Belanja Uni Eropa yang telah disepakati oleh
Perdana Menteri Inggris sebelumnya, David Cameron, pada 2013.
Biaya yang sangat besar dan juga sia-sia karena Inggris
tidak akan dapat memanfaatkannya. Oleh sebab itu, tidak heran bila majalah
The Economist menggambarkan Perdana Menteri Theresa May menunggangi keledai
yang kurus kelelahan dengan beban sangat berat di punggungnya dan didorong-dorong
untuk terus berjalan menuju kuburan. Suram. Galau. Biaya keuangan yang
dibutuhkan untuk keluar dari Uni Eropa dan melangkah sendiri di belantara
dunia internasional ternyata sangatlah besar.
Di dalam negeri Inggris, layanan publik merasakan gerakan
penghematan ini sehingga kualitas layanan publik menurun. Singkat kata,
karena proses Brexit masih dua tahun lagi, secara umum Inggris dalam kondisi
tidak pasti. Yang berkembang adalah antisipasi terburuk dari krisis di
Inggris menyusul Brexit. Bagi kita yang berada jauh dari Inggris,
perkembangan Brexit perlu diikuti karena yang dihadapi Inggris bukanlah sekadar
gambaran situasi domestik di Inggris, melainkan juga tantangan umum yang
dihadapi negara-negara yang ingin berkembang lebih cepat dibandingkan negara-negara
tetangganya.
Dalam sejarah, kita juga masih ingat betapa Inggris selalu
menjadi bagian penting dari titik balik sejarah hubungan antar bangsa,
misalnya dari revolusi industri, perluasan sistem kolonialisme, pembentukan
standar nilai tukar barang dan mata uang, bahkan perang dunia. Artinya,
kemelut di Inggris dalam konteks kekinian juga perlu diantisipasi dengan
baik.
Aspek pertama yang patut dicermati adalah bahwa kondisi
ekonomi yang relatif baik, berkembanglah kepercayaan diri untuk suatu negara
lebih mandiri menentukan nasib bangsa. Namun dalam kondisi dunia yang sudah
saling tergantung di tataran kerja sama ekonomi dan kontak antarmanusia,
apalagi telah terbangun ragam kerja sama politik keamanan kawasan, pilihan
suatu bangsa untuk memperbaiki nasibnya tidaklah sebebas yang diharapkan.
Aspek kedua, bahwa kondisi ekonomi yang relatif baik adalah
hasil dari dinamika beragam variabel kebijakan dengan reaksi pasar dan
konsumen. Hal ini berarti bahwa ketika pasar dan konsumen memilih untuk
mengubah pola interaksi dengan suatu ekonomi, maka berubah pula kondisi
ekonomi pada suatu waktu. Inggris hari ini punya karakter kerja sama
kemitraan (dan konsumen) yang berbeda dengan abad lalu atau bahkan 20 tahun
yang lalu.
Contohnya dengan ASEAN, ada keengganan dari negaranegara
anggota ASEAN untuk merespons Inggris dengan keaktifan yang sama dengan
ketika merespons Uni Eropa. Level manfaat dari kerja sama tunggal dengan
kerja sama antarkawasan tidak bisa disamakan.
Ketika ASEAN memilih untuk bekerja sama dengan Amerika
Serikat misalnya, ada mapping manfaat dari beragam aspek kerja sama, termasuk
aspek politik keamanan kawasan, sehingga ASEAN juga membuka kerja sama dengan
China, Australia, India, Jepang, Kanada, dan masih banyak lagi. Jadi kecuali
Inggris punya tawaran manfaat kerja sama yang signifikan, mustahil
membayangkan intensitas kerja sama dari negaranegara lain sehangat yang
diidamkan Inggris. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar